Grid.ID- Profesi debt collector atau penagih utang seringkali dicap negatif karena metode penagihannya yang dianggap kasar, bahkan intimidatif. Namun, bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap pekerjaan ini?
Dalam sejarah keuangan global, profesi debt collector sebenarnya telah hadir selama beberapa generasi, meskipun asal-usul pastinya sulit ditelusuri. Dalam praktik keuangan modern, terutama di dunia perbankan dan pembiayaan, penggunaan jasa debt collector juga sudah menjadi hal yang lumrah.
Banyak lembaga memanfaatkan peran debt collector sebagai perantara antara pihak kreditur dan debitur dalam menyelesaikan kewajiban utang, termasuk dalam pengambilan aset jaminan. Bank Indonesia sendiri melalui peraturan PBI No. 11/11/PBI/2009 dan SEBI 11/10/DASP, tidak melarang penggunaan jasa debt collector, asalkan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan etika penagihan yang berlaku.
Lantas, kalau ditilik dari kaca mata Islam, apakah debt collector termasuk profesi haram, atau justru diperbolehkan selama sesuai syariat?
Bagaimana Pandangan Islam terhadap Debt Collector?
Dalam Islam, hukum dasar dari segala pekerjaan adalah mubah (boleh), selama tidak mengandung unsur yang diharamkan. Hal ini juga berlaku bagi profesi debt collector.
Berdasarkan jurnal Problematika Profesi Debt Collector Menurut Pandangan Islam karya Chindy Wulandari dan Rozalinda, profesi ini tidak haram dalam Islam. Namun mematuhi etika dan hukum yang berlaku saat bekerja, hukumnya wajib bagi debt collector.
Islam membolehkan seseorang menjadi debt collector selama ia menjalankan tugasnya dengan cara yang adil, manusiawi, dan sesuai syariat. Dalam konteks Islam, debt collector adalah bentuk dari wakalah yakni perwakilan atau kuasa yang diberikan oleh kreditur untuk menagih utang kepada debitur.
“Profesi debt collector dalam Islam bukanlah pekerjaan yang diharamkan, namun harus memegang prinsip etika dan kepatuhan terhadap hukum yang berlaku,” tulis Wulandari dan Rozalinda dalam jurnalnya.
Bolehkah Menggunakan Jasa Debt Collector?
Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta, Roykhatun Nikmah, M.H, mengatakan bahwa penggunaan jasa debt collector diperbolehkan selama mereka menjalankan tugasnya sesuai dengan adab yang baik. Penagihan harus dilakukan dengan cara yang benar dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta etika sosial yang telah disepakati bersama antara pemilik harta dan peminjam.
"Pada dasarnya menggunakan jasa debt collector atau penagih utang ini diperbolehkan. Jadi kita menggunakan jasanya, sebagai perwakilan dari si pemilik harta untuk menagih kepada seseorang yang berhutang," kata Roykhatun Nikmah dikutip dari Tribunnews.com, Kamis (10/4/2025).
"Namun yang perlu digarisbawahi adalah ketika debt collector akan menagih utang kepada seorang yang memiliki utang ini perlu dilihat dalam adab penagihannya tersebut. Dan juga harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku, peraturan perundang-undangan misalnya, etika sosial, dan juga ketentuan yang telah ditetapkan oleh si pemilik harta dan orang yang berhutang tersebut," imbuh Ika.
Lebih jauh, Roykhatun menegaskan bahwa debt collector tidak boleh menggunakan cara kasar atau mengintimidasi dalam menagih utang. Jika peminjam dalam keadaan bangkrut dan tidak bisa membayar sesuai kesepakatan awal, pemberi pinjaman bisa memberikan relaksasi berupa perpanjangan jangka waktu pembayaran.
"Apabila penghutang dalam keadaan bangkrut misalnya dan tidak dapat membayar sesuai dengan kesepakatan awal. Maka pemberi pinjaman bisa memberikan relaksasi berupa restrukturisasi jangka waktu pembayaran dari si penghutang tersebut," ucap Dosen Fakultas Syariah, UIN Raden Mas Said Surakarta ini.
Jika setelah perpanjangan peminjam masih belum dapat melunasi utangnya, maka pemberi utang berhak menjual jaminan yang telah disepakati. Apabila tidak ada jaminan yang dapat dijual, utang tersebut dapat diikhlaskan sesuai dengan hadist Nabi, meskipun hal ini tentu sulit dilakukan.
Titik Lemah Profesi Debt Collector
Di masyarakat, debt collector seringkali dicap negatif bukan karena profesinya, tetapi karena metode penagihan yang melanggar etika dan hukum. Banyak kasus debt collector yang melakukan intimidasi fisik dan verbal, mengambil barang tanpa persetujuan hukum, melibatkan premanisme dalam penagihan, hingga melanggar privasi debitur
Semua tindakan ini bertentangan dengan prinsip Islam. Oleh karena itu, agar tetap mendapatkan rezeki yang halal, debt collector harus selalu menjaga niat, etika, dan mematuhi nilai-nilai Islam.