Djuyamto, Hakim Pengadilan Jakarta Selatan (PN Jaksel) ditetapkan sebagai tersangka bersama dua hakim lainnya dalam kasus suap pemberi vonis onslag atau lepas dalam perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO).
Diketahui dalam kasus itu, Djuyamto bertindak sebagai Ketua Majelis Hakim.
Sementara dua hakim lainnya yakni Ali Muhtarom (AM) sebagai Hakim AdHoc dan Agam Syarif Baharudin (ASB) sebagai Hakim Anggota.
Djuyamto terbukti menerima aliran dana suap untuk pengurusan perkara saat ditunjuk menjadi Ketua Majelis Hakim perkara tersebut oleh Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta yang kini menjabat Ketua PN Jakarta Selatan.
Tak tanggungtanggung, total suap yang diterima Djuyamto paling banyak di antara 2 hakim lainnya.
Djuyamto menerima suap sekitar Rp 7,5 miliar.
Sedangkan hakim Agam Syarif Baharudin (ASB) menerima suap Rp 6 miliar.
Dan Ali Muhtarom (AM) menerima Rp 6,5 miliar.
Rekam Jejak Hakim DjuyamtoNama Hakim Djuyamto sudah tidak asing lagi.
Djuyamto saat ini menjabat sebagai Hakim Pengadilan Jakarta Selatan.
Dia kerap ditunjuk sebagai hakim dalam berbagai kasus yang menyita perhatian publik.
Belum lama ini Djuyamto menjadi sorotan setelah memutuskan menolak praperadilan yang diajukan mantan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto terhadap KPK atas penetapannya sebagai tersangka.
Dalam perkara ini Djuyamto menjadi hakim tunggal.
Saat persidangan di PN Jakarta Selatan, Kamis (13/2/2025), Djuyamto menyatakan seharusnya permohonan praperadilan Sekjen PDIP itu dilakukan secara terpisah.
Hal itu dikarenakan Hasto telah ditetapkan tersangka dugaan tindak pidana perintangan penyidikan dan dugaan tindak pidana memberi janji atau hadiah atau suap kepada penyelenggaran negara oleh KPK.
"Menimbang berdalih alasan tersebut hakim berpendapat permohonan pemohon seharusnya diajukan dalam dua permohonan praperadilan. Bukan dalam satu permohonan," kata Hakim Djuyamto di persidangan PN Jakarta Selatan, Kamis (13/2/2025).
Dengan demikian permohonan pemohon yang menggabungkan tentang sah tidaknya dua surat perintah penyidikan, atau setidaknya penetapan tersangka dalam satu permohonan haruslah dinyatakan tidak memilih syarat formil permohonan praperadilan.
"Maka terhadap eksepsi termohon tersebut berdasarkan hukum dan patut dikabulkan," ucapnya.
Dengan berbagai pertimbangan hukum tersebut hakim berpendapat bahwa oleh karena eksepsi dikabulkan, maka terhadap eksepsi permohonan yang lain dan selebihnya tidak perlu dipertimbangkan dan diberi penilaian hukum.
"Menimbangkan karena eksepsi pemohon dikabulkan maka terhadap pokok perkara ini tidak perlu dipertimbangkan dan diberikan penilaian hukum lagi," kata hakim Djuyamto.
Diketahui, Hasto menggugat KPK usai ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap dan perintangan penyidikan atau obstruction of justice dalam perkara eks calon anggota legislatif dari PDIP, Harun Masiku.
Gugatan tersebut mengenai kasus suap penetapan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 20192024.
Hasto dijadikan tersangka bersama dengan advokat PDIP bernama Donny Tri Istiqomah juga ditetapkan sebagai tersangka.
Kasus yang Pernah Ditangani DjuyamtoDjuyamto sempat pindah ke Pengadilan Negeri Kota Bekasi.
Di sana, Djuyamto sempat menangani kasus pembunuhan satu keluarga di Bekasi dengan terdakwa Harris Simamora.
Pada tahun 2020, Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara menjatuhkan vonis bagi pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.
Saat itu Djuyamto menjadi ketua majelis hakim.
Nama Djuyamto kembali disorot saat dia ditunjuk sebagai humas, sekaligus anggota majelis hakim di sidang obstruction of justice kasus Ferdy Sambo dengan terdakwa Hendra Kurniawan Cs.
Sebagaimana diketahui, Brigjen Hendra Kurniawan Cs diadili terkait perkara obstruction of justice atau perintangan penyidikan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J.
Tak Hanya Brigjen Hendra, AKBP Arif Rahman dan Kombes Pol Agus Nurpatria juga akan disidang dalam perkara yang sama.
Dalam sidang tersebut, Ahmad Suhel menjadi Ketua Majelis Hakim.
Sementara Djuyamto menjadi anggota majelis hakim bersama Hendra Yuristiawan.
Cara Ketua PN Jaksel Mengatur Vonis Lepas Kasus Korupsi Ekspor CPOKetua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta mengatur vonis onslag atau lepas dalam perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) saat menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar menyebut setelah Arif menerima uang Rp60 miliar dari Ariyanto Bakri selaku pengacara tersangka korporasi kasus tersebut, dia langsung menunjuk Majelis Hakim untuk menangani perkara tersebut.
Mereka adalah Djuyamto (DJU) sebagai Ketua Majelis Hakim, Ali Muhtarom (AM) sebagai Hakim AdHoc dan Agam Syarif Baharudin (ASB) sebagai Hakim Anggota.
Setelah terbit surat penetapan sidang, Muhamad Arif Nuryanta memanggil DJU selaku Ketua Majelis dan ASB selaku Hakim anggota untuk menemuinya.
"Lalu Muhammad Arif Muryanto memberikan uang dollar bila dikurskan ke dalam rupiah senilai Rp 4 miliar 500 juta, dimana uang tersebut diberikan sebagai uang untuk baca berkas perkara," kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025) dini hari.
Saat penyerahan uang, Arif pun memberikan ucapan terhadap keduanya yakni menyebut jika harus memprioritaskan perkara yang diminta untuk divonis lepas ini.
"Muhamad Arif Nuryanta menyampaikan kepada dua orang tersebut agar perkara diatensi," tuturnya.
Lalu, uang sebesar Rp 4,5 miliar tersebut dibagi secara rata untuk 3 orang Majelis Hakim tersebut.
Lalu, sekitar September atau Oktober 2024, Arif kembali menyerahkan uang sebesar Rp 18 miliar kepada Djuyamto dalam bentuk dollar Amerika untuk kembali dibagi tiga.
"Porsi pembagian sebagai berikut, untuk ASB menerima uang dollar dan bila disetarakan rupiah sebesar Rp 4,5 miliar, kemudian DJU menerima uang dollar jika dirupiahkan sebesar atau setara Rp 6 miliar, dan AM menerima uang berupa dollar Amerika jika disetarakan rupiah sebesar Rp 5 miliar," tuturnya.
"Ketiga hakim mengetahui tujuan dari penerimaan uang agar perkara diputus onslag dan hal ini menjadi nyata ketika tanggal 19 Maret 2025 perkara korporasi minyak goreng telah diputus onslag oleh majelis hakim," sambungnya.
Sosok DjuyamtoMengutip situs resmi PN Jakarata Selatan, Djuyamto merupakan hakim dengan jabatan Pembina Utama Muda (IV/c).
Djuyamto kelahiran 18 Desember 1967.
Pendidikan terakhir Djuyamto adalah S2.
Selain sebagai hakim, Djuyamto pernah menjabat Pejabat Humas di PN Jakarta Selatan.
Djuyamto juga masuk jajaran pengurus pusat Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) periode 20192022.
Dalam situs IKAHI ikahi.or.id, Djuyamto menjadi anggota Komisi IV yakni bagian Kehumasan, Advokasi dan Pengabdian Masyarakat.
Djuyamto pernah menjabat sebagai Humas Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Ia juga pernah menjadi Wakil Ketua Pengadilan Negeri Dompu, Nusa Tenggara Barat.
Djuyamto sempat pindah ke Pengadilan Negeri Kota Bekasi.
Dia kini tengah mengejar gelar Doktor atau Strata 3 (S3) dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.
Djuyamto memproses karya ilmiah disertasi berjudul ‘Model Pengaturan Penetapan Tersangka oleh Hakim Pada Tindak Pidana Korupsi Berbasis Hukum Responsif’.
Disertasinya dipaparkan dalam sidang terbuka promosi di Aula Gedung 3 (Gedung Amiek Sumindriyatmi) UNS Solo, Jumat (31/1/2025).
Djuyamto juga menyebutkan agar majelis hakim bisa menetapkan seseorang sebagai tersangka korupsi jika dalam persidangan terbukti memiliki keterlibatan.