WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Revisi Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP) turut menuai sorotan publik.
Pasalnya, draf revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP dinilai mengerdilkan peran kejaksaan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi (Tipikor).
Dalam rancangan tersebut, kewenangan Jaksa hanya dibatasi sebagai penyidik dalam kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, sementara kewenangan penyidikan Tipikor dihilangkan.
Sekretaris Pimpinan Indonesia Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus mengatakan, mengacu pada prinsip-prinsip dasar sejak zaman kemerdekaan puluhan tahun lalu, sudah dikenal penyidik Tipikor itu dari hanya polisi. Kemudian, masuk pada era polisi dan kejaksaan.
Selanjutnya, pada masa saat ini ada tiga lembaga yang dapat menangani Tipikor, yakni polisi, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.
"Kalau melalui revisi KUHAP ini peran kejaksaan akan didistorsi maka akan menjadi kerugian besar," ujar Iskandar dari keterangannya pada Kamis (17/5/2025).
Iskandar menilai, dengan adanya tiga lembaga yang dapat menangani kasus Tipikor maka akan lebih menguatkan upaya pemberantasan korupsi.
"Ini seperti pukat harimau untuk menjaring para koruptor," ucapnya.
Dia menjelaskan, persoalan yang terjadi saat ini adalah ketiga lembaga dengan kewenangan Penanganan Tipikor itu belum menggunakan metodologi penghitungan keuangan negara yang sama sesuai dengan perintah Undang-Undang.
"Kami melihat bahwa polisi masih konsisten menggunakan Undang-Undang BPK. Kejakasaan kadang iya, kadang tidak. Sementara, KPK masih ansich menggunakan walau terkadang juga lari-lari dari beleid itu," tegasnya.
Menurutnya, penindakan Tipikor tindak hanya terbatas pada penyidikan, tapi juga penghitungan kerugian negara.
"Supaya mudah dilakukan penuntutan dan Jaksa dapat memberikan hukuman dengan semestinya. Perlu dipastikan secara benar nilai kerugian negara. Sehingga, jangan sampai saat penuntutan terjadi nilai kerugian negara itu tidak terbukti," imbuhnya.
Iskandar menambahkan, penyidikan Tipikor harus tetap bisa dilakukan pada ketiga lembaga itu. Pemberantasan korupsi ini cukup berwarna, misalnya polisi hanya terkait penyidikan.
Sementara, kejaksaan itu pendidikan dan penuntutan. Kemudian, KPK bisa melakukan penyidikan dan memutuskan.
"Ini bukan berarti salah, tetapi menjadi pengkayaan terhadap upaya pemberantasan Tipikor. Saya minta DPR RI memperhatikan aspirasi ini. Jangan sampai didistorsi, tapi justru harus semakin dikuatkan. Kalau kejaksaan didistorsi maka saya khawatir nanti KPK juga akan mengalami nasib sama," jelasnya.
Sebagai catatan penting, lanjut Iskandar, ketiga lembaga yang menangani kasus maksimal harus hati-hati dalam menghitung kerugian negara dan harus juga tunduk pada Undang-Undang BPK.
Sebab, BPK menjadi institusi auditor keuangan negara yang diakui oleh Perundangan-undangan, bahkan UUD 1945.
"Untuk itu, jangan mencoba-coba menghindar dari aturan main ini agar para koruptor dapat dijatuhi hukuman maksimal," pungkasnya. (faf)