TRIBUNNEWS.COM - Dokter kandungan cabul Syafril Firdaus alias MSF di Garut, Jawa Barat jadi tersangka atas kasus pencabulan.
Ia disangkakan Pasal 6 B dan C dan atau Pasal 15 Ayat 1 Huruf B UU RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
"Dengan ancaman hukumannya 12 tahun penjara dan denda Rp 300 juta," ujar Kabid Humas Polda Jawa Barat, Kombes Hendra Rochmawan.
Meski terancam 12 tahun penjara, namun Syafril bisa mendapatkan hukuman lebih berat apabila makin banyak korban yang bersedia melapor secara resmi.
Mengutip TribunJabar.id, menurut Hendra, laporan dari para korban sangat dibutuhkan supaya pihak kepolisian bisa menjerat tersangka dengan hukuman yang maksimal.
"Maka kami membuka layanan aduan. Keamanan dan identitas pelapor akan kami jamin rahasianya," ungkapnya.
AKBP Fajar m Gemilang selaku Kapolres Garut mengatakan, hingga saat ini baru ada satu orang yang melapor.
Pelapor yakni seorang wanita berinisial AED (24).
Kasus AED ini bermula ketika korban berkonsultasi mengenai suntik vaksin gonore.
"Awalnya memang korban ini berkonsultasi ke klinik tempat tersangka bekerja, kemudian tersangka memberikan resep obat dan menjadwalkan suntik vaksin gonore," ujarnya, Kamis (17/4/2025).
Dikutip dari TribunJabar.id, tiga hari berselang, tersangka mendatangi rumah orang tua korban untuk menyuntikkan vaksin.
Syafril, lanjut Fajar datang menggunakan layanan ojek online.
Setelah menyuntikkan vaksin tersebut, tersangka meminta korban untuk mengantarnya ke kos.
"Saat sampai korban menyerahkan uang pembayaran vaksin kemudian ditolak oleh tersangka, tersangka meminta korban menyerahkannya di dalam kos."
"Keduanya kemudian masuk, tersangka lalu mengunci kamar kos dan melakukan perbuatannya dengan mendorong korban ke kasur," jelasnya.
Korban pun berhasil melawan dan melarikan diri dari kos tersebut.
Tak terima, korban pun melaporkan tindakan tersangka ke polisi.
Pihak kepolisian lantas memeriksa 10 saksi hingga akhirnya tersangka ditangkap.
Sebagai langkah lanjutan, pihak Polda Jabar juga menghubungi sejumlah influencer yang berkaitan dengan informasi jumlah korban.
Namun, langkah Polda Jabar masih belum mendapat jawaban.
"Kami menyampaikan kepada seluruh masyarakat untuk bisa menjaga privasi korban, karena di sini ketika dia sudah menjadi korban kekerasan seksual, juga menjadi korban sosial di media sosial," ujar Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Hendra, Kamis (14/4/2025).
Hendra mengatakan bahwa hukum dalam kasus ini bergantung pada keberanian korban untuk melapor secara resmi.
"Bagi masyarakat yang merasa menjadi korban, kami harap bisa melapor," ungkapnya.
Ia menuturkan, tim Polda Jabar juga sudah menghubungi sejumlah akun media sosial yang berkaitan dengan kasus kekerasan seksual ini.
"Terkait hal ini, tim kami sudah melakukan profiling dan menghubungi pemilik akun melalui pesan langsung. Unit PPA dan tim siber Polda juga telah mencoba menjalin komunikasi, tapi sampai sekarang belum ada tanggapan atau timbal balik dari mereka," ucap Hendra, dikutip dari TribunJabar.id.
(Tribunnews.com, Muhammad Renald Shiftanto)(TribunJabar.id, Sidqi Al Ghifari)