Benarkah Autisme pada Anak Diturunkan dari Genetika?
kumparanMOM April 18, 2025 11:00 AM
Autisme merupakan gangguan perkembangan saraf yang mempengaruhi kemampuan anak dalam berperilaku, berinteraksi, hingga berkomunikasi. Salah satu faktor yang mempengaruhi autisme pada anak adalah genetika.
Siblings atau saudara kandung sama ayah sama ibu dari seorang anak dengan kondisi gangguan spektrum autism (GSA), mempunyai risiko 9 kali lebih besar dibandingkan anak dari populasi umum untuk mengalami autisme.
"Dan kalau saudara kandungnya itu mengalami autisme klasik atau level tiga (berat). Itu lebih tinggi lagi risikonya. Karena kalau dia hanya half sibling artinya sama ayah, beda ibu atau sama ibu, beda ayah tetap saja risiko dia itu meningkat 5 kali hingga 11 kali lipat," ujar Dokter Spesialis Anak, dr. Amanda Soebadi, SpA, Subs Neuro(K), M.Med, dalam webinar bersama IDAI, Selasa (15/4).
Lantas, bagaimana dengan anak yang memiliki sepupu autisme?
Anak yang memiliki sepupu autisme juga memiliki risiko mengalami autisme. Risikonya tetap sekitar 2 kali lipat dibandingkan anak dari populasi umum. Artinya, faktor genetik ini memegang peranan penting.
Perbesar
Ilustrasi ibu dan anak. Foto: 9nong/Shutterstock
"Tetapi, perlu diingat bahwa tidak ada satu pun gen tunggal yang bisa dituding sebagai penyebab autisme. Jadi tetap faktor genetik ini tampaknya adalah interaksi dari beberapa gen," imbuh dr. Amanda.
Pengaruh Lingkungan pada Autisme
Banyak anggapan tentang gaya pengasuhan turut berperan dalam lahirnya autisme. Misalnya seperti orang tua kurang responsif atau karena orang tua kebanyakan kerja. Namun dr. Amanda menilai, hingga saat ini tidak ada penelitian yang mengukur risiko autisme dengan berbagai parenting style.
Kendati demikian, anak dengan parenting style yang lebih direktif memiliki risiko lebih tinggi mengalami autisme. Direktif maksudnya lebih cenderung untuk memberi instruksi dibandingkan merespons inisiatif dari anak.
Perbesar
Ilustrasi ibu dan anak. Foto: Shutter Stock
Misalnya 'Kamu sekarang mandi ya, mandi habis itu cuci kaki abis itu tidur','Nanti kamu pulang sekolah besok kamu bikin PR terus habis itu latihan, terus lapor ya sama mama” Nah itu direktif," kata dr. Amanda.
Berbeda dengan direktif, responsif artinya sang anak memiliki inisiatif, misalnya 'Ma, gimana ya aku nanti kalau pulang sekolah mau main games dulu, baru abis itu jam 9 malem saja aku bikin PR-nya'. Kemudian orang tuanya merespons 'Menurut kamu gimana? Kalau jam 9 malam baru bikin PR kamu sudah ngantuk belum?”
"Tapi tetap ini nggak bisa menyimpulkan apakah si parenting style yang direktif itu yang bikin anaknya jadi autisme, atau anak dengan autisme kan tadi ada gangguan fungsi eksekutif, sehingga mungkin dia inisiatifnya pun tidak sebaik anak lain. Sehingga karakteristik si anak inilah yang seolah memaksa orang tuanya untuk mengambil pendekatan yang lebih direktif. Jadi, tidak bisa semata-mata dituding menjadi penyebab autisme," pungkas dr. Amanda.