Membaca Kembali Surat-surat Kartini yang Menunjukkan Betapa Melentingnya Pikirannya saat Itu
Moh. Habib Asyhad April 18, 2025 03:34 PM

Dari beberapa surat Kartini kita tahu betapa melentingnya pikiran Kartini saat itu. Sangat cemerlang untuk ukuran pribumi kala itu.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -"Kata teman-teman saya di sini, sebaiknya kami tidur 100 tahun. Kami akan bangun dalam waktu yang tepat untuk kami. Jawa sudah akan demikian majunya seperti yang kami inginkan."

Itulah petikan dari surat R.A. Kartini kepada temannya Stella (Nona E.H. Zeehandelaar) yang ditulis tanggal 6 November 1899. Surat itu sudah seabad lebih usianya, dan sudah menginspirasi begitu banyak kaum perempuan di Indonesia.

Tapi,apakah kita secara pribadi sudah hidup dalam jiwa Kartini?

Kartini memang sudah lama mendahului kita, tetapi warisan spiritual dalam bentuk surat-suratnya masih tetap hidup di antara kita. Bahkan bukan hanya di Indonesia. "Semua wanita muda yang ingin memanfaatkan hidupnya, akan tetap mendapat inspirasi dari surat-surat Kartini," tulis Elisabeth Allard dalam kata pengantar buku Door Duisternis tot Lichtedisi tahun 1976 yang menjadi sumber tulisan ini.

Kita akan menginsafi betapa maju pikiran Kartini waktu itu dan betapa lembut perasaannya melalui beberapa surat Kartini kepada teman-temannya di negara Belanda sana.

* * *

Tak peduli keningratan

(surat 18 Agustus 1899 kepada Stella – teman pena Kartini di Belanda, kedua saling mendapat alamat lewat sebuah majalah Belanda)

Apakah kau tidak akan kecewa setelah berkenalan lebih lanjut dengan saya? Sudah saya katakan, saya tidak tahu apa-apa. Di sampingmu saya tidak ada artinya sama sekali. Kau memang tahu betul mengenai gelar-gelar Jawa.

Sebelum kau menulis, saya tidak pernah memikirkan hal itu. Kaukatakan saya berasal dari "keturunan tinggi". Apakah saya seorang "prinses", putri? Sama sekali bukan. Raja terakhir pada nenek moyang kami, dari pihak ayah langsung, saya kira sudah lewat 25 generasi. Ibu masih ada hubungan dekat dengan keluarga kerajaan Madura. Kakek buyutnya seorang raja yang masih memerintah dan neneknya seorang "putri mahkota" (erf-vorstin).

Namun saya sama sekali tidak peduli mengenai hal ini. Bagi saya hanya ada dua macam aristokrat: aristokrat yang berjiwa mulia dan yang berwatak mulia. Saya anggap tidak ada sesuatu yang lebih menggelikan daripada orang yang membanggakan keturunannya yang tinggi. Apa hebatnya untuk menjadi baron atau graaf? Saya tidak bisa menjangkaunya dengan pikiran saya yang kecil ini.

[...]

Agama dimaksudkan sebagai berkah umat manusia, untuk menjadi tali pengikat antara semua makhluk ciptaan Tuhan. Kita semua saudara. Bukan karena kita mempunyai orang tua manusiawi yang sama tetapi karena kita semua anak dari satu Bapa. Dia yang bertahta di Surga.

Oh Tuhan. Sering saya pikir, alangkah baiknya andaikata tidak pernah ada agama. Karena ini yang sebetulnya harus menyatukan manusia sepanjang masa malahan menjadi sumber pertikaian, perbedaan, pembunuhan yang paling berdarah dan mengerikan. Manusia dari orangtua yang sama, saling bermusuhan karena cara mereka mengabdi kepada Tuhan yang sama, berbeda. Orang yang hatinya terikat karena cinta kasih, saling menjauhi dengan rasa pedih. Perbedaan gereja di mana toh Tuhan yang sama diabdi, menjadi dinding pemisah untuk orang-orang yang sebetulnya hatinya berdetak untuk satu sama lain.

Apakah agama betul kurnia bagi umat manusia, saya sering bertanya-tanya. Agama sebetulnya harus melindungi kita dari dosa, tetapi berapa dosa malahan dilakukan atas nama Dia.

***

Hadiah dan "kanjeng"

Surat kepada Stella, 12 Januari 1900 (tentang tabiat pejabat pribumi)

Tahun yang lalu sebuah desa nelayan kebanjiran selama seminggu. Siang malam ayah tinggal di tempat bencana itu. Dengan dana swasta yang kemudian dibayar kembali oleh pemerintah, beberapa kilometer bendungan yang jebol itu dibangun kembali. Tetapi siapa yang mengembalikan kepada rakyat apa yang dirusakkan oleh air? Dari 100.000 tambak hanya tinggal 15. Beberapa waktu kemudian insinyur-insinyur dari perairan mengatakan kepada ayah bahwa banjir itu disebabkan karena kesalahan mereka. Mereka salah menyalurkan air.

Pemerintah menjaga betul kesejahteraan rakyat Jawa, tetapi mereka masih menderita karena pajak yang tinggi.

Secara resmi rakyat tidak diperas lagi oleh pemimpin-pemimpinnya. Andaikata sekali waktu hal ini terjadi, si pelaku akan dipecat atau diturunkan pangkatnya. Namun yang tetap ada dan merajalela ialah keburukan menerima hadiah, yang saya anggap sama buruknya dengan menyita barang dari rakyat kecil dalam Max Havelaar.

Namun saya tidak boleh menyalahkan begitu saja, berdasarkan fakta yang ada. Saya harus memperhitungkan keadaan mengapa mereka berbuat demikian.

Pertama orang pribumi menganggap memberi hadiah kepada atasan sebagai suatu pernyataan hormat. Pegawai pemerintah menerima hadiah, tetapi pemimpin gajinya demikian rendah sehingga hampir suatu mukjizat bahwa mereka bisa hidup dengan uang itu.

Seorang jurutulis kawedanan misalnya yang sehari suntuk menulis terus, gajinya hanya f 25. Dari jumlah itu ia harus menghidupi keluarga, membayar sewa rumah, membeli pakaian yang layak, pamer agar tidak turun martabat terhadap bawaannya. (Jangan terlalu keras menilai bagian terakhir ini. Kasihanilah anak-anak besar itu, karena banyak di antara rekan-rekan senegara saya masih demikian).

Kalau jurutulis ini diberi setandan pisang atau sejenisnya oleh seorang desa ia akan menolaknya. Untuk kedua kalinya ia tetap menolak, tetapi untuk ketiga kalinya tolakan itu sudah agak ragu-ragu. Dan untuk keempat kalinya ia akan menerima hadiah itu. Yang saya lakukan tidak salah, pikirnya. Saya tidak minta, saya diberi dan saya gila kalau menolak sesuatu yang bisa saya manfaatkan.

Memberi hadiah bukan hanya sebagai cara menunjukkan kehormatan tetapi juga sebagai cara untuk mencegah kesulitan yang mungkin bisa dialami pemberi dari atasan di kemudian hari. Andaikata ia pada suatu hari ditangkap oleh Wedono karena sesuatu, ia masih dapat mengharapkan bantuan dari jurutulis.

Pegawai negeri gajinya rendah. Seorang asisten wedono kelas II gajinya f85. Dari jumlah itu ia harus membayar juru-tulis sendiri, bendi atau sado dengan kuda selain kuda tunggang untuk turne di hutan, membeli rumah, mebel, membiayai rumah tangga. Selain itu ia juga harus menjamu kontrolir, bupati dan kadang-kadang asisten residen kalau mereka harus melakukan perjalanan di daerahnya. Kalau asisten wedono tinggalnya jauh dari kota, mereka menginap di pasanggrahan dan asisten wedono mendapat kehormatan untuk menyediakan makanan untuk orang-orang terkemuka ini. Cerutu, air Belanda, alkohol dan barang-barang dalam kaleng. Percayalah itu pengeluaran yang besar bagi seorang kepala asistenan.

Kau juga bisa mengerti bahwa ia tidak akan menyuguhkan sajian biasa kepada tamu-tamu agungnya. Ia akan mengambil barang-barang dari kota. Namun untungnya kalau ayah turne dan terus menginap ia selalu membawa makanan sendiri. Kontrolir dan asisten residen juga berbuat demikian. Secangkir teh yang disajikan kepala daerah dalam perjalanan itu, tidak akan membuat mereka bangkrut.

Andaikata ada suatu kejahatan yang dilakukan di daerahnya kepala daerah harus berusaha untuk memecahkan persoalan itu. Ini kewajibannya. Dan untuk mencari biang keladinya ia sering harus menguras kantong. Sering terjadi pemimpin pribumi harus menggadaikan perhiasan anak-istri agar mendapat uang yang diperlukan untuk penyidikan. Tetapi uang itu toh akan dikembalikan oleh pemerintah, demikian pasti kau katakan.

Tidak benar. Ada pangrehpraja yang bangkrut karena hal itu. Apa yang harus dilakukan pegawai negeri yang tidak cukup penghasilannya, tidak mempunyai keluarga atau orangtua yang bisa menyokongnya? Dia melihat anak istrinya mengenakan pakaian compang-camping padahal rakyat membawa hadiah-hadiah. Jangan menilai terlalu keras Stella.

Stella, saya kenal seorang residen yang berbahasa Melayu dengan seorang bupati biarpun ia tahu bahwa bupati itu pandai berbahasa Belanda. Lagipula setiap orang bicara dalam bahasa Belanda dengan pemimpin pribumi itu kecuali asisten residen itu.

Saudara-saudara saya yang laki-laki berbahasa Jawa tinggi dengan atasannya dan mereka sebaliknya menjawab dengan bahasa Belanda atau Melayu. Yang berbahasa Belanda ialah mereka. yang sudah berteman dengan kami dan beberapa di antara mereka minta kepada kakak-kakak saya untuk berbahasa Belanda saja. Tetapi kakak-kakak saya tidak mau dan ayah juga melarang. Kakak-kakak dan ayah juga tahu keharusan yang patut. Orang terlalu banyak menggunakan kata gengsi (prestige). Kata gengsi terlalu banyak digunakan oleh ambtenar-ambtenar yang menganggap dirinya dewa.

Saya tidak peduli mereka mengolok-olok kami. Saya malah geli melihat cara mereka menjaga gengsi terhadap kami, orang Jawa. Dengan beberapa pegawai negeri BB yang berteman dengan saya, saya membicarakan hal ini. Saya tidak dibantah atau dibenarkan biarpun saya yakin mereka membenarkan saya dalam hati. Ini juga demi gengsi.

Sekarang kami bisa mengerti mengapa dalam hal seperti itu saya tidak bisa menahan senyum saya. Geli melihat cara tuan-tuan besar itu berusaha menunjukkan kekuasaannya terhadap kami. Saya harus menggigit bibir saya supaya jangan tertawa terbahak-bahak ketika baru-baru ini saya melihat seorang residen berjalan di bawah payung ke emas-emasan yang dipegang oleh seorang opas di atas kepala yang mulia. Waktu itu saya sedang dalam perjalanan. Pemandangan yang lucu.

O, dewa, andaikata Anda tahu bagaimana khalayak yang menyingkir untuk payung yang berkilau-kilauan itu akan menertawakan Anda di belakang Anda, pikir saya. Bagaimana pendapatmu mengenai banyaknya ambtenar-ambtenar yang membiarkan lutut dan kakinya dicium oleh pemimpin-pemimpin pribumi? Cium kaki merupakan tanda penghormatan tertinggi yang hanya diberikan orang Jawa kepada orang tua, kerabat yang lebih tua dan pemimpin-pemimpin sendiri. Kami tidak suka berbuat demikian terhadap orang asing. Dan kalau dipaksa hanya dilakukan dengan enggan.

Orang Eropa hanya membuat dirinya bahan tertawaan di mata kami kalau ia meminta dari kami penghormatan yang hanya bisa diminta oleh pemimpin-pemimpin kami sendiri.

Bahwa residen dan asisten residen meminta dirinya disebut "kanjeng" memang sepatutnya, tetapi bahwa juga mandor kebun, pegawai jembatan timbangan dan besok mungkin juga kepala stasiun minta dipanggil demikian oleh bawahannya, memang lucu. Tahukah mereka apa yang dimaksud dengan Kanjeng? Saya kira hanya orang Jawa yang bodoh yang suka dirayu, tetapi saya melihat bahwa orang Barat yang terpelajar pun tidak enggan dengan rayuan, malah menyukainya.

*****

Belajar hemat

(Tidak disebutkan ini surat kepada siapa dan tanggal berapa -- tentang bagaimana bisa belajar hemat jika tidak ada pendidikan keuangan untuk perempuan?)

Anda tahu betapa kami ingin ke Eropa. Tetapi akhirnya kami sudah puas bisa belajar di sini, karena Eropah tidak terjangkau oleh kami. Tahun yang lalu kami sudah akan bahagia sekali kalau bisa ke Batavia, walaupun pikiran kami sudah terbang ke Eropah.

Kepada pemerintah Hindia Belanda kami akan minta agar kami bisa dikirim ke Eropah atas biaya negara. Roekmini untuk belajar seni dan kemudian mengembangkan kembali seni Indonesia, salah satu cara untuk membuat rakyat sejahtera.

Si kecil (Kardinah-Red) akan ke sekolah rumah tangga untuk mengajar calon ibu dan ibu rumah tangga perihal nilai uang dan kehematan, yaitu hal yang sangat diperlukan rakyat Jawa yang santai dan suka kemewahan. Saya untuk pendidikan, untuk mengajar ilmu pengetahuan dan juga pengertian cinta kasih dan keadilan kepada calon ibu, seperti yang kami pelajari dari orang Eropah.

Pemerintah ingin mengembangkan pulau Jawa, mengajar rakyat berhemat dan ini harus dimulai dari pegawai negeri. Apa artinya kaum pria dipaksa untuk menyisihkan duit, kalau kaum wanita yang memegang uang rumah tangga, tidak mengenal nilai uang. Pemerintah ingin mengembangkan orang Jawa, membudayakannya dan memaksa golongan atas, yakni kaum ningrat, belajar bahasa Belanda. Pada pengangkatan selalu diperhatikan pendidikan sang calon. Namun apakah pengembangan intelek sudah segala-galanya?

Kalau orang betul-betul ingin membudayakan, pengembangan intelek dan pengembangan akhlak harus dilaksanakan sejalan. Siapa yang paling banyak membantu dalam hal terakhir ini, meningkatkan akhlak umat manusia? Kaum wanita, ibu, karena di pangkuan ibu orang mendapat pendidikan pertama. Di situ anak belajar merasa berpikir, berbicara, sedangkan pendidikan pertama penting untuk seumur hidupnya.

Salah satu keburukan dari orang Jawa yang harus ditindas ialah kepongahan (ijdelheid). Ini akan sangat membantu kesejahteraan Jawa dan ini bisa kami capai dengan pendidikan moral.

Banyak potensi yang bisa dimanfaatkan negara dan rakyat tidak dimanfaatkan, hanya karena kepongahan pemiliknya. Kaum ningrat lebih suka miskin daripada makmur tetapi harus bekerja tanpa payung berwarna keemas-emasan di atas kepalanya. Kaum ningrat menganggap rendah segala sesuatu yang tidak ditutupi barang yang paling didambakan, payung keemasan.

[...]

Saya pernah mendengar seorang pamong tinggi menyatakan bahwa istri yang terdidik dan berbudaya merupakan tunjangan besar bagi kaum pria.

[...]

Yang penting contoh

(Surat kepada Ny. M.C.E. Ovink-Soer pada permulaan 1900 – berisi keinginan untuk sekolah ke Belanda/Eropa)

Bangsa kami tidak terlalu peka terhadap cita-cita tinggi; kami harus membuat mereka kagum (verbazen) dengan contoh yang jelas dan memaksanya untuk meniru kalau kami ingin menjadi pelopor dan memberi penyuluhan. Karena itu sebaiknya kami pergi ke negeri Belanda terutama untuk belajar. Moedertje bantulah kami pergi.

Kalau kami sudah lulus dan kembali ke Jawa, kami akan membuka asrama untuk anak-anak perempuan kaum ningrat. Kalau bisa asrama pemerintah, kalau tidak kami akan berusaha mencapainya dengan bantuan swasta. Dengan lotere uang misalnya.

Pokoknya nanti ada jalan kalau sudah sampai di situ. Sementara ini kami harus memperjuangkan hal ini di rumah. Dengan izin ayah, kami akan lebih kaya daripada seorang raja. Semoga kami akan mendapatkannya.

* * *

(Surat kepada Stella 23 Agustus 1900, tentang hukum perkawinan yang terlalu merendahkan perempuan, termasuk menyinggung perihal poligami – sepertinya ini surat tentang dia tak mungkin menolak keinginan ayahnya supaya dia menikah)

Tuhan telah menciptakan wanita sebagai teman kaum pria. Dan tujuan seorang wanita ialah pernikahan. Ini sudah jelas dan tidak akan saya bantah bahwa kebahagiaan wanita tertinggi, sekarang dan berabad-abad setelah ini ialah hidup harmonis dengan pria. Namun bagaimana orang bisa hidup harmonis kalau hukum perkawinan masih seperti yang pernah saya beri contohnya. Apakah saya tidak harus membencinya dan meremehkan perkawinan kalau kaum wanita direndahkan seperti itu?

Untung tidak setiap pria Islam mempunyai empat istri, tetapi setiap wanita yang menikah dalam dunia kami, tahu bahwa dia bukan satu-satunya dan bahwa pada suatu hari sang suami bisa membawa wanita lain yang mempunyai hak yang sama seperti dia.

Saya ingin mempunyai anak, pria dan wanita, dan mendidik mereka menjadi manusia seperti yang saya kehendaki. Pertama saya ingin menghilangkan kebiasaan untuk mendahulukan anak laki-laki dari anak perempuan. Kita tidak usah heran terhadap egoisme pria kalau kita pikirkan bahwa sejak kecil ia sudah mempunyai hak lebih banyak dari saudara perempuannya.

[...]

Saya sudah menceritakan sebelumnya kepadamu bahwa Ny. Terhorst telah menyediakan majalahnya untuk memperjuangkan kepentingan wanita pribumi. Ia berjanji akan merahasiakannya dan bahkan menyarankan suatu bentuk di mana saya bisa membicarakan hal itu: "suatu 'causerie' dua putri bupati." Dia akan melakukan segala sesuatu untuk membantu kelancarannya, asal saya menyebutkan caranya. Saya sudah mendapat izin dari ayah.

Untuk melatih diri saya menulis karangan-karangan pendek tentang hal-hal biasa dalam kehidupan kami. Salah satu sudah dimuat dalam de "Echo".

Sebagai nama samaran saya memilih "Tiga Soedara" karena kami bertiga, bersatu. Mereka segera mengetahui siapa "tiga Soedara" itu dan saya dipuji dalam harian de Locomotief (koran di Semarang). Saya tidak begitu suka, karena saya ingin merahasiakan bahwa sebetulnya saya suka menulis. Mungkin kau menganggap saya genit, tetapi saya memang tidak suka pujian.

[...]

Betapa banyak yang saya alami beberapa hari ini. Semula saya putus asa karena saya bisa menarik kesimpulan bahwa impian kebebasan saya akan lenyap sama sekali dan saya harus melakukan sesuatu yang bertentangan dengan jiwa saya. Lalu teman-teman dari Batavia datang. Saya senang sekali. Saya seperti dibangunkan dari rasa pedih yang amat sangat. Demikian hebatnya sampai saya kira tidak bisa bernafas lagi. Ini bukan menyangkut diri pribadi saya.

Mengapa kebahagiaan dan kepedihan silih berganti. Saya tidak bisa berpikir, hanya merasa, kepedihan hebat dalam hati. Sekarang sudah tenang dan saya bisa memberi pertanggungan jawab dengan tenang.

Ayahku sayang. Dia telah banyak menderita dan kehidupan membawa kekecewaan baru dan kepedihan setiap kali. Stella, ayah tidak mempunyai siapa-siapa kecuali anak-anaknya, yang merupakan segala miliknya. Saya cinta kepada kebebasan, ini segala-galanya bagi saya dan saya sangat memikirkan nasib saudara-saudara saya. Saya bersedia mengorbankan apa pun juga demi kebaikan mereka. Namun lebih tinggi dari semuanya itu ialah ayah. Stella, katakanlah saya pengecut, tidak teguh, tetapi saya tidak bisa berbuat lain. Kalau ayah tidak setuju pada apa yang saya perjuangkan, biarpun hati saya menangis, saya akan menyerah. Saya tidak berani menyakitkan, hati begitu cinta kepada saya. Hati itu sudah cukup menderita biarpun bukan karena saya. Kau berkata bahwa kau tidak mengerti mengapa wanita harus menikah. Perintah "harus " kauhadapkan dengan "Saya mau". Kalau mengenai orang lain mungkin bisa tetapi bukan terhadap ayah saya. Lebih-lebih setelah saya tahu kesulitan apa yang menimpanya. Apa yang saya lakukan jangan dianggap suatu "keharusan" tetapi sesuatu yang saya lakukan sukarela demi "dia".

Saya melukis dan melakukan segala sesuatu karena ayah senang. Saya akan bekerja keras dan melakukan segalanya dengan sebaik-baiknya karena saya ingin berbuat baik, karena saya ingin menyenangkan. Stella kau anggap ini berlebih-lebihan, tetapi saya tidak bisa berbuat lain. Ayah bukan main baik hatinya. Saya akan sangat sedih kalau ayah menentang rencana kebebasan saya, tetapi saya akan lebih sedih kalau keinginan saya terkabul tetapi harus kehilangan cinta kasih ayah.

***

(Surat kepada tuan dan nyonya Prof. Dr. F.K. Anton di Jena pada 10 Juni 1901)

Saya harap sekali waktu mendapat kesempatan mempelajari bahasa Anda yang indah. Saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Percayalah. Saya ingin belajar bahasa Anda secara serius. Biarpun kemampuan itu akan terbatas pada membaca dan menulis, saya akan senang sekali. Dan kalau saya beruntung sekali waktu bisa bicara Jerman, saya akan mengunjungi Anda. Setuju? Pada waktu itu pesawat terbang pasti sudah ditemukan dan pada suatu hari Anda akan melihat benda tersebut di angkasa Jena yang membawa tamu Anda dari jauh. (KLM pertama terbang tahun 1920-Red).

[...]

Ada lebih banyak wanita pribumi yang lebih terdidik dan berbakat dari kami, yang memiliki segala sesuatu. Mereka tidak kekurangan kesempatan untuk memperkaya jiwa dengan ilmu pengetahuan. Mereka tidak mengalami hambatan dalam mengembangkan kekuatan jiwanya. Mereka dapat menjadi apa saja yang mereka kehendaki. Tetapi mereka tidak berbuat sesuatu atau mencapai sesuatu yang dapat mengangkat kaumnya, rakyatnya. Mereka kembali ke kehidupan lama atau terserap ke dalam dunia Eropah. Dalam kedua hal mereka ini mubazir untuk rakyatnya, padahal mereka sebetulnya bisa menjadi suatu anugerah bagi rakyat, menjadi suatu bintang pembimbing.

Apakah bukan tugas dari setiap orang yang berakhlak dan lebih intelektual dari yang lain untuk membantu dan memberi penerangan kepada mereka yang kurang pengetahuannya? Tidak ada undang-undang yang mengharuskannya, tetapi mereka berkewajiban moral untuk berbuat demikian.

***

Kerja memuliakan manusia

(Surat kepada Ny N. van Kol, pada Agustus 1901 – tentang keinginannya menjadi guru)

Karena saya demikian yakin bahwa wanita mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat, saya ingin sekali masuk dalam bidang pendidikan. Agar saya kelak bisa ikut mendidik anak-anak pemimpin-pemimpin pribumi. Alangkah inginnya saya membimbing hati anak-anak kecil, membentuk watak, mengembangkan otak muda, membentuk wanita untuk masa depan pendidikan, yang bisa disebarluaskan dan dikembangkan.

Bagi masyarakat pribumi akan merupakan karunia besar kalau kaum wanita dididik dengan baik. Demikian pula bagi kaum wanita sendiri. Ajarkanlah mereka suatu keterampilan agar mereka tidak menjadi mangsa empuk bagi pelindung-pelindungnya yang memaksa mereka menikah dan agar anak-anaknya kelak tidak usah hidup dalam kesulitan.

Satu-satunya jalan untuk menghindari kehidupan seperti itu ialah kalau gadis-gadis bisa berdiri sendiri.

[...]

Bukan maksud kami untuk mengubah orang Jawa menjadi Jawa Eropah dengan pendidikan bebas itu. Ide kami ialah agar sifat-sifat baik yang masih mereka miliki ditambah dengan kebaikan bangsa-bangsa lain. Bukan untuk menyisihkan miliknya sendiri tetapi untuk memuliakannya.

* * *

Suaminya baik (yang dimaksud ialah suami kakak sulungnya-Red). Baru-baru ini saya berkenalan dengan dia. Kami bertiga hanya melihatnya beberapa kali dan saya kira kakak menarik lotere dengan perkawinan ini. Ia juga pernah sekolah HBS dan beberapa tahun kemudian masuk BB. Ipar saya tidak mempunyai ayah lagi. Semua saudara laki-laki dan perempuannya masuk ELS (Europese Lagere School). Saudara laki-lakinya masih duduk di HBS. Ia duduk di kelas empat dan tahun ini akan naik ke kelas lima. Orangnya cekatan. Kemenakannya, seorang bupati, menyarankan kepada ipar saya untuk mengeluarkan anak itu dari sekolah.

Kemenakan akan mengusahakan agar dia mendapat jabatan. Setiap kali sang kemenakan berbicara tentang hal itu, ipar saya tidak mengacuhkannya. "Apa" , katanya. "Mengeluarkan dia dari sekolah? Lalu ia akan menjadi juru tulis Asisten Wedono dengan gaji f15 atau 20? Tidak. Ia harus menyelesaikan HBS dulu dan setelah itu menjadi pedagang atau bekerja di perkeretaapian."

Hebat ipar itu. Ia tidak mengagungkan payung bergaris emas atau kancing berhuruf W. Ibunya juga hebat karena memberi kesempatan anak itu belajar terus padahal ia masih mempunyai empat anak di rumah.

***

(Surat kepada Ny Abendanon-Mandri, 3 Januari 1902)

[...]

Saya kenal seorang gadis yang pernah belajar di sekolah biarawati di Semarang tetapi sekarang menderita. Ia terbiasa dengan kehidupan lain. Sebagai putri wedono ia tidak melihat atau berbicara dengan orang (luar). Andaikata ia pernah belajar sesuatu sehingga ia bisa mencari nafkahnya sendiri, apakah nasibnya juga begitu? Kasus seperti itu harus dijadikan contoh bahwa "arbeid adelt" (kerja memuliakan manusia) dan seorang gadis pribumi tidak usah tergantung dari keluarganya kalau bukan kemauan sendiri.

* * *

(Surat kepada Ny. Abendanon-Mandri, 8 April 1902)

Sore tadi saya terkesan melihat suatu contoh perjuangan hidup. Seorang anak berusia 6 tahun menjual rumput. Anak itu tidak lebih besar dari kemenakan kami. Anak itu sendiri tidak kelihatan. Seakanakan dua onggokan rumput bergerak di jalan. Ayah memanggil dia, lalu kami mendengar ceritanya, sama seperti ratusan atau ribuan anak lain. Anak itu tidak mempunyai ayah. Ibunya bekerja dan di rumah ia masih mempunyai dua adik laki-laki.

Dia anak sulung. Kami bertanya apakah dia sudah makan. Ia menggelengkan kepala. Mereka hanya sekali sehari makan nasi kalau ibunya pulang malam hari. Sore mereka makan kue tepung aren seharga setengah sen.

Setelah melihat anak ini saya memandang kemenakan saya. Besarnya sama, saya ingat pada makanan kami, tiga kali sehari. Rasanya aneh. Kami memberinya makanan, tetapi tidak dimakannya melainkan dibawa pulang.

Saya memandang anak yang membawa tongkat penyandang dan pisau rumput, sampai ia tidak kelihatan lagi. Pikiran dan hati saya bergejolak.

* * *

(Surat kepada Ny. H.G. de Booij-Boissevain tanggal 17 Juni 1902 — menyinggung soal Cina yang sangat kuat tradisinya toh memperbolehkan kaum perempuannya ikut ujian guru.)

Saya baru membaca di koran bahwa beberapa gadis Cina telah mengajukan permintaan untuk diperbolehkan ikut ujian guru. Ini suatu kemajuan. Saya sangat senang. Orang Cina sangat ketat dalam hal tradisi kuno. Ternyata tradisi yang ketat dan kuno itu toh bisa dipatahkan. Ini memberi harapan dan kekuatan kepada saya.

Saya ingin berkenalan dengan gadis-gadis Cina ini. Saya ingin mengenal pikiran, ide dan perasaannya. Pokoknya "jiwanya".

***

(Surat kepada Ny van Kol, 20 Agustus 1902)

Hari-hari ini kami berdebat mengenai pengaruh buku. Lawan kami menganggap semua ini nonsense, cita-cita, puisi omong kosong. Buku sama sekali tidak ada artinya. Alangkah terharunya kami ketika keesokan harinya kami membuka majalah Amsterdammer dan membaca artikel Anda mengenai pengaruh buku. Kami hanya awam yang tidak tahu apa-apa, pendapat kami nol. Namun sekarang ada otoritas yang bicara. Lawan kami orangnya aneh dan karena itu menarik untuk memperhatikannya dan menarik kesimpulan. Dia mempunyai banyak sifat baik tetapi lemah.

Bagi kami dia merupakan contoh jelas bahwa kemauan anak harus dikembangkan. Tanpa ini sifat baik lain tidak ada atau sedikit artinya.

***

Tidak mau menjadi priyayi

(Surat kepada tuan J.H. Abendanon, 14 Januari 1903 – menyinggung juga seorang gadis Minahasa yang meletik, yang punya pemikiran seperti Kartini, sepertinya Maria Walanda Maramis)

Adik laki-laki saya tidak mau menjadi priyayi atau masuk BB. Seperti pernah diceritakan istri Anda, saya sama sekali tidak menyesal. Sebaliknya saya mendukung rencana dan keinginannya. Kami senang adik tidak mempunyai ideal yang didambakan oleh ribuan rekan sebangsa yang menganggap puncak kebahagiaan ialah kalau orang sudah menjadi raja kecil, dengan kancing mengkilat dan payung bergaris emas. Kami sangat bahagia ia tidak tertarik pada kemegahan itu. Kami senang bahwa dia sudah sampai pada kesimpulan itu ketika ia masih muda dan berani mengambil jalannya sendiri, tidak mengikuti jejak yang sudah diikuti ribuan orang.

Saya lebih suka andaikata ia tertarik pada penderitaan manusia dan masuk sekolah dokter. Ini mungkin sebagian karena saya memikirkan diri sendiri. Saya ingin dia menjadi dokter, karena dalam bidang ini masih bisa banyak dilakukan dan dengan demikian ia bisa mewujudkan ide-ide kami. Alangkah banyaknya ia bisa berbuat untuk menciptakan saling penghargaan. Ia bisa memperkenalkan cara penyembuhan Eropah kepada rakyat dan sebaliknya meminta perhatian dunia Eropah untuk obat-obatan tradisional yang terbukti mujarab.

Saya bicara dengan adik saya tentang sekolah dokter Jawa, tetapi ia tidak mau dan kami tidak mau mendesak.

[...]

Saya sering ingin memiliki sebuah alat foto untuk mengabadikan hal-hal aneh pada masyarakat kami, yang tidak bisa dijangkau orang Eropah. Banyak yang bisa diabadikan dalam kata dan gambar sehingga orang Eropah bisa mempunyai gambaran yang jelas mengenai kami, orang Jawa.

Betapa bahagianya waktu kami mendapat berita bahwa di Minahasa juga ada gadis pribumi yang mempunyai "ide-ide gila" seperti kami. Kami bukan satu-satunya yang "gila", bukan? Dan kalau ningrat di sini tidak mau menerima kami, kami akan melarikan diri ke jiwa saudara jauh, untuk mencari pekerjaan jauh dari hiruk pikuk, di suatu tempat yang dilupakan. Dan akan menemukan pekerjaan untuk kepala, hati dan tangan. Dalam dunia yang luas ini pasti ada tempat yang mau menerima kami.

***

Resep kebahagiaan

(Surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri, 9 Maret 1903)

Kami mendapat berita bahwa kura-kura dalam beberapa hari lagi akan tiba di sini dan setelah itu akan dibawa pandai emas ke Solo. Sekarang sudah tiga cabang kerajinan dari kota kelahiran saya yang hidup kembali. Kami sedang mencari cabang-cabang lain dan menghidupkannya kembali. Mereka sekarang sudah tahu bahwa tujuan kami ialah untuk memajukan kesejahteraannya sendiri. Mereka mengerti manfaatnya dan menghargai pekerjaan kami dengan bekerja lebih gairah dan penuh semangat. Segala sesuatu yang kami lakukan percuma saja kalau mereka tidak mengerti bahwa kami mempunyai tujuan baik dan memikirkan kesejahteraan mereka. Saya berterima kasih bahwa mereka mengerti.

Sungguh membahagiakan betapa cabang-cabang kerajinan itu mulai berkembang. Pekerja ingin mulai bekerja secara besar-besaran dan bahkan di kampung sekitar kampung Melayu orang pribumi juga ikut. Semua berjalan baik. Tukang emas sudah mengambil lebih banyak murid dan pembantu. Anak-anak laki-laki belajar memahat kayu. Satu hal yang sangat menyenangkan saya. Di antara murid-murid itu ada anak dari kota, jadi bukan dari Blakang Gunung, desa pemahat kayu. Murid-murid lain, kami yang mencari tetapi satu dari kota ini datang sendiri. Ini, suatu pertanda baik. Saya sangat berterima kasih.

[...]

Ada orang yang mengeluh kepada kami mengenai rasa kurang terima kasih dan tentang kebencian di antara orang-orang sendiri. Kami berkata kepadanya, kalau dia sedih karena orang tidak berterima kasih itu salahnya sendiri.

Ia tertegun dan bertanya: "Salah sayakah kalau orang tidak berterima kasih kepada saya?"

"Ya, salah Anda, karena Anda sedih. Kita sekali-sekali jangan berbuat baik untuk mendapatkan terima kasih, tetapi berbuatlah baik, hanya karena memang baik. Dan kita pun akan puas sendiri dalam mencapai hal itu.

Saya pikir dan saya kira, cara terbaik untuk membahagiakan diri ialah dengan membuat indah kehidupan orang lain dan mencoba mengerti sebanyak mungkin. Lebih banyak kita mengerti lebih sedikit rasa kepahitan dalam diri kita, lebih penuh cinta kasih dan keadilan kita dalam menilai orang. Yang terakhir ini membuat kehidupan orang lain indah dan yang pertama hidup kita sendiri indah. Tidak pahit berarti bahagia.

***

Surat kepada Ny. N van Kol, 1 Agustus 1903, tentang pertunangan Kartini dan rencana menikah dengan Raden Adipati Djojo Adiningrat, Bupati dari Rembang

Sepatah kata untuk memberitahu bahwa hidup saya telah mengalami perubahan baru. Saya akan menunaikan tugas saya bukan sebagai wanita yang bebas. Seorang pria gagah perkasa dan mulia (flink en nobel) akan mendampingi saya dalam cita-cita, untuk bisa bermanfaat untuk bangsa saya. Anda belum tahu siapa tunangan saya: Raden Adipati Djojo Adiningrat, Bupati dari Rembang.

***

Surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri, 8 Agustus 1903, tentang Kartini dilamar Bupati Rembang

Bupati dari Rembang datang tanggal 17 bulan ini. Saya telah meminta agar ia membawa anak-anaknya. Saya ingin berkenalan dengan mereka, masa depan saya. Saya akan hidup, bekerja, berjuang dan menderita untuk mereka, masa depan saya. Saya harap mereka bisa mencintai saya. Cita-cita saya ialah membuat banyak anak menjadi anak saya sendiri, lebih mendekati kenyataan.

***

Surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri, 25 Agustus 1903

Di Rembang saya akan menemukan lapangan kerja yang luas dan saya tidak akan berdiri sendiri. Ia berjanji akan membantu saya sekuat tenaga. Keinginan dan harapannya ialah membantu saya untuk bekerja bagi kesejahteraan rakyat. Dia sendiri sudah sejak beberapa tahun bekerja ke arah itu.

Rembang untung kota yang tenang. Dan yang menyenangkan ialah bahwa dia juga tidak suka keluar rumah.

Saya senang bahwa residen juga tertarik pada pekerjaan kami. Jadi saya tidak akan datang sebagai orang asing. Ada sesuatu yang juga hadir di sana, teman saya yang baik: laut yang letaknya hanya 100 langkah dari rumah.

Ketika orang menceritakan kepadanya bahwa saya tertarik pada kerajinan dan industri rakyat ia mengatakan bahwa di sana juga ada pandai emas dan pemahat. Mereka hanya menantikan bimbingan. Dan mungkin pemahat kayu kami Singowirno dari Blakang Gunung juga akan ikut.

Untuk memajukan industri perlu modal dan bimbingan. Mendirikan tempat kerja besar, dengan banyak pembantu dan mendidik yang lain dan membiarkan mereka bekerja di bawah pendidikan teratur dan di bawah pengawasan kami.

Asal ada uang untuk membuat tempat kerja membeli material, menghidupi banyak pembantu dan mendidik banyak murid. Singo, akan mengepalai tempat kerja itu.

Saya kira modal yang ditanamkan di situ akan kembali dalam setahun. Paling lama dua tahun.

Baru-baru ini kami pergi bersama tuan Brandes, saudara Dr. Brandes (seorang ahli dalam bahasa dan kebudayaan Jawa kuno). Dia tertarik pada hasil negara kami. Ketika saya berbicara mengenai kemungkinan membuka toko untuk hasil seni pribumi di Semarang ia segera tertarik. Soalnya masyarakat Semarang enggan untuk memesan dari Jakarta barang yang sebetulnya berasal dari dekat saja. Beberapa orang ingin berbicara dengan kami mengenai hal ini, tetapi kami bersikeras bahwa mereka harus berbicara dengan perkumpulan Oost en West (Perkumpulan di Nederland ini ialah cabang dari pameran hasil karya wanita yang terutama memperhatikan kepentingan orang dari Hindia Belanda-Red). Saya sendiri berusaha untuk mencari jalan untuk memenuhi keinginan masyarakat itu. Cara itu rupanya ditemukan. Oost en West akan membuka toko di Semarang. Namun untuk itu perlu uang dan Oost en West belum mempunyainya. Ketika saya menyatakan hal itu kepada tuan Brandes ia menjawab: "Jangan pusing. Uang itu akan diadakan asal Anda mengurus yang lain." Saya katakan: "Tetapi harus ada orang yang mempunyai selera di Semarang." "Beres, asal Anda membuat barang bagus," katanya.

* * *

Hidup baru

8 November 1903 R.A. Kartini menikah dan Rabu tanggal 11 November mereka berangkat ke Rembang.

***

Surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri, 11 Desember 1903

Hari ini sudah sebulan lewat setelah suami saya membawa saya ke sini, ke rumahnya yang sekarang rumah kami.

Hari Rabu kami disongsong sangat meriah. Seluruh Rembang berpesta pora dari perbatasan sampai ke rumah, setiap rumah mengibarkan bendera. Bahkan bendera ada di atas dokar-dokar. Kebahagiaan rakyat demikian spontan. Rakyat senang karena pemimpin yang dicintainya bahagia. Setiap kali suami saya membawa saya ke balkon. Rakyat harus melihat Gusti Putrinya yang baru.

Saya berdiri atau duduk di sampingnya tanpa mengatakan sepatah kata dengan mata berkaca-kaca dan hati penuh perasaan, campuran kebahagiaan, rasa terima kasih dan kebanggaan. Saya bangga pada dia karena dia berhasil mendapatkan tempat yang besar dalam hati rakyatnya. Rasa terima kasih bahwa ilusi yang besar saya telah menjadi kenyataan dan bahagia karena saya bisa mendampinginya.

Dan anak-anak kami. Bagaimana saya bisa menceritakan kekayaan itu. Mereka anak-anak manis, yang saya cintai. Ayahnya telah mendidik mereka seperti yang saya inginkan: sederhana dan rendah hati. Mereka tidak merasa lebih tinggi dari siapa pun di rumah ini. Mereka merasa semua sama.

Saya tinggal meneruskannya. Bulan Januari saya mengharapkan sudah dapat membuka sekolah. Kami sedang mencari guru yang baik. Selama belum ada saya akan memberi pelajaran. Kalau saya tidak bisa mengajar karena keadaan, adik-adik saya yang mengambil alih tugas itu sampai saya bisa meneruskannya lagi.

Saya menulis surat ini pukul lima pagi. Anak-anak sudah bangun dan bermain-main sekitar kursi saya. Ibu harus memberi susu dan roti.

Anda harus melihat si kecil. Umurnya belum dua tahun, tetapi cerdas sekali. Kalau saya duduk ia segera mengambil bangku kecil. Kalau bangku itu terlalu berat diseret ke ibu. Pokoknya kaki ibu tidak boleh bergantung. Setelah itu ia naik ke pangkuan saya. Kalau saya sedang mempersiapkan sesuatu anak-anak berebut siapa yang boleh mengambilkan sesuatu. Sis membawakan banyak sendok dan garpu.

***

Surat kepada Ny Prof. Dr. G.K. Anton di Jena, 10 April 1904 — sementara dalam suratnya kepada Ny. Abendanon-Mandri bertanggal 6 Maret 1904 Kartini menulis bahwa dia sedang mengandung

Sekarang saya akan menceritakan kepada Anda mengenai kehidupan baru saya yang kaya. Anda toh suka mendengarnya. Anda selalu menaruh perhatian penuh pada teman Jawa Anda yang pernah Anda risaukan masa depannya.

Untung apa yang Anda takutkan tidak menjadi kenyataan. Wanita muda yang menulis kata-kata ini tidak mempunyai cukup kata-kata untuk mengungkapkan kebahagiaannya.

Suami saya bukan hanya sekedar suami tetapi juga teman sejiwa seperjuangan. Kalau tidak, mengapa ia mengambil saya yang sudah terkenal di seluruh Jawa bahwa saya lain dari yang lain dan saya juga tidak akan mengikat diri dengannya.

Saya tahu Anda akan senang mendengar bahwa kedua teman Jawa Anda dengan jiwa yang bergolak kini sampai di pelabuhan yang aman. Saya ingin Anda bisa melihat saya di lingkungan yang baru ini.

Anda tahu bahwa saya tidak peduli kemewahan dan posisi sosial. Semuanya tidak akan ada nilainya kalau bukan suami saya yang memberinya. Sekarang ini akan menjadi alat untuk mencapai tujuan saya.

Rakyat Jawa dekat dengan ningratnya. Apa yang keluar dari atasannya lebih mudah diterima. Karena itu di samping suami saya, saya lebih mudah mencapai hati rakyat kami. Rencana untuk pendidikan dan pelajaran akan terus berlangsung biarpun saya menikah.

Di rumah di mana kami sudah mulai, pekerjaan diteruskan oleh adik-adik saya. Sekolah kami di Jepara sudah mempunyai 22 murid, puteri-puteri pemimpin pribumi. Adik-adik saya yang memberi pelajaran. Juga di sini saya sudah mulai dan putri-putri saya yang menjadi murid pertama. Dengan demikian anak-anak Jawa ini telah membuat mimpi gadisnya menjadi kenyataan.

***

Firasat

Surat kepada Ny. Abendanon-Mandri, 10 Agustus 1904 dia seolah sudah punya firasat. Ia antara lain mengakhiri suratnya dengan kata-kata "mungkin ini surat terakhir untuk Anda.”

Mungkin ini surat terakhir untuk Anda. Ingatlah kepada putri Anda yang sangat mencintai Anda berdua. Salam kepada suami Anda dari kami berdua.

***

Ternyata itu bukan surat terakhir. Setelah itu masih ada dua surat. Yang betul-betul terakhir ditulis tanggal 7 September 1904. Dalam surat itu antara lain Kartini mengucapkan terima kasih untuk kiriman rok bagi bayinya nanti.

"Kemarin ketika menerima kado Anda suami saya berkata kepada saya: Cepat tulis surat kepada Moedertje, nanti bisa terlambat." Saya turuti sarannya dan suara hati saya.

Anak kami belum ada, tetapi ia bisa tiba setiap saat. Saya merasa bahwa saatnya sudah dekat.

Ibu saya sejak dua minggu berada di tempat saya dengan seorang nenek lain yang akan mendampingi saya pada saat-saat yang sulit, yang akan datang.

Keranjang popok, ranjang kecil semua sudah siap di kamar kami, siap untuk menunggu kedatangan anak kami.

Rok Anda telah saya masukkan ke dalam kotak bersama pakaian lain supaya baunya enak. Alangkah harumnya sayangku nanti.

***

Itulah surat terakhir Kartini. Tak lama kemudian tanggal 13 September 1904 ia meninggal secara tiba-tiba, empat hari setelah melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Mas Singgih. Anak ini kemudian kehilangan ayahnya yang meninggal 23 Mei 1912.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.