Gaya Hidup Berkelanjutan: dari Tren ke Transformasi
GH News April 19, 2025 03:05 PM

Gaya hidup berkelanjutan atau sustainable living telah menjadi salah satu tren yang berkembang pesat dalam dekade terakhir, terutama di kalangan Generasi Z (lahir 1997-2012) dan Milenial (lahir 1981-1996). Tren ini adalah respons terhadap tantangan global seperti perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan ketimpangan sosial.

Di Indonesia, di mana populasi anak muda mendominasi—dengan Gen Z dan Milenial mencakup lebih dari separuh penduduk—tren ini memiliki potensi besar untuk mengubah pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat secara keseluruhan. Namun, apakah tren ini benar-benar bisa menciptakan perubahan nyata, atau hanya menjadi fenomena permukaan di tengah budaya konsumtif yang masih kuat? Mari kita telaah lebih jauh.

Mengapa Gaya Hidup Berkelanjutan Penting?

Secara global, kesadaran terhadap dampak lingkungan dari aktivitas manusia semakin meningkat. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2023 menyebutkan bahwa emisi gas rumah kaca global harus dikurangi hingga 45% dari level 2010 pada 2030 untuk mencegah kenaikan suhu bumi melebihi 1,5 derajat Celsius. Konsumsi berlebihan, terutama di sektor fesyen cepat (fast fashion), makanan, dan transportasi, menjadi penyumbang utama emisi karbon.

Di sisi lain, laporan Global Footprint Network menunjukkan bahwa manusia saat ini menggunakan sumber daya setara dengan 1,75 planet Bumi setiap tahunnya—angka yang jelas tidak berkelanjutan.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2021, Indonesia menghasilkan sekitar 68 juta ton sampah per tahun, dengan 12% di antaranya berasal dari limbah tekstil seperti pakaian bekas. Selain itu, polusi udara di kota-kota besar seperti Jakarta sering berada di level tidak sehat, sebagian besar akibat emisi kendaraan dan aktivitas industri.

Di tengah konteks ini, Gen Z dan Milenial menjadi motor penggerak perubahan, karena mereka lebih terpapar informasi melalui media sosial dan lebih peka terhadap isu lingkungan dibandingkan generasi sebelumnya.

Adopsi Gaya Hidup Berkelanjutan di Kalangan Anak Muda

Sejumlah survei dan penelitian menunjukkan bahwa Gen Z dan Milenial memiliki kecenderungan kuat untuk mengadopsi gaya hidup berkelanjutan. Sebuah survei global oleh Nielsen pada 2020 menemukan bahwa 73% Milenial bersedia membayar lebih untuk produk yang ramah lingkungan, sementara 66% Gen Z mengatakan mereka mempertimbangkan dampak lingkungan saat membuat keputusan pembelian.

Di Indonesia, survei serupa yang dilakukan oleh Jakpat pada 2023 mengungkapkan bahwa 78% anak muda (usia 18-35 tahun) tertarik pada gerakan zero waste, dengan 55% di antaranya secara aktif membawa tas belanja sendiri atau menggunakan tumbler untuk mengurangi plastik sekali pakai.

Selain itu, tren thrifting atau membeli pakaian bekas juga meningkat pesat. Menurut laporan dari platform e-commerce lokal seperti Tokopedia dan Shopee pada 2024, penjualan pakaian bekas di kategori pre-loved fashion naik hingga 40% dibandingkan tahun sebelumnya.

Tentu saja, hal ini menunjukkan bahwa banyak anak muda mulai beralih dari pola konsumsi fast fashion ke opsi yang lebih berkelanjutan. Namun, meski angka-angka ini terlihat menjanjikan, tantangan seperti harga produk ramah lingkungan yang relatif lebih mahal dan kurangnya infrastruktur pendukung (misalnya, fasilitas daur ulang yang memadai) masih menjadi hambatan.

Bentuk-Bentuk Gaya Hidup Berkelanjutan yang Populer

Ada beberapa bentuk konkret dari gaya hidup berkelanjutan yang banyak diadopsi oleh Gen Z dan Milenial, baik di dunia maupun di Indonesia:

1. Thrifting dan Slow Fashion

Industri fast fashion sering dikritik karena limbahnya yang besar dan eksploitasi tenaga kerja. Sebagai respons, banyak anak muda beralih ke thrifting atau membeli pakaian dari merek lokal yang menerapkan prinsip slow fashion. Di Indonesia, pasar thrifting seperti Pasar Senen di Jakarta atau Pasar Gedebage di Bandung menjadi destinasi populer. Selain itu, merek lokal seperti Cotton Ink dan SukkhaCitta mulai dikenal karena menggunakan bahan organik dan pewarna alami.

2. Gerakan Zero Waste

Gerakan zero waste mendorong individu untuk meminimalkan sampah, terutama plastik sekali pakai. Banyak anak muda kini menggunakan botol minum reusable, sedotan stainless steel, dan wadah makanan sendiri. Di media sosial, komunitas seperti Zero Waste Indonesia memiliki ribuan pengikut yang aktif berbagi tips hidup tanpa sampah.

3. Pola Makan Berbasis Nabati

Konsumsi daging dan produk hewani merupakan salah satu penyumbang emisi karbon terbesar. Akibatnya, semakin banyak anak muda yang beralih ke diet vegetarian, vegan, atau setidaknya fleksitarian (mengurangi konsumsi daging). Data dari Euromonitor International (2022) menunjukkan bahwa pasar makanan berbasis nabati di Asia Pasifik tumbuh 25% dalam lima tahun terakhir, dengan Indonesia sebagai salah satu kontributor utama.

4. Ekowisata dan Konsumsi Lokal

Gen Z dan Milenial juga cenderung memilih wisata yang berkelanjutan, seperti ekowisata, yang mendukung pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Selain itu, mereka lebih suka membeli produk lokal, seperti hasil pertanian organik dari petani setempat, untuk mengurangi jejak karbon dari transportasi barang.

Apakah Tren Ini Benar-Benar Efektif?

Meski tren gaya hidup berkelanjutan terlihat menjanjikan, ada beberapa tantangan yang perlu diperhatikan. Pertama, biaya sering menjadi penghalang utama. Produk ramah lingkungan, seperti pakaian berbahan organik atau makanan organik, biasanya dijual dengan harga lebih tinggi dibandingkan produk konvensional. Hal ini membuat tren ini kerap dianggap sebagai privilege kelas menengah ke atas, terutama di perkotaan seperti Jakarta, Bandung, atau Bali, sementara masyarakat di daerah terpencil sering kali tidak punya akses serupa.

Kedua, fenomena greenwashing—di mana perusahaan mengklaim produknya ramah lingkungan tanpa bukti nyata—juga menjadi masalah. Banyak merek besar yang memanfaatkan tren ini untuk keuntungan komersial tanpa benar-benar berkomitmen pada keberlanjutan. Hal ini membuat konsumen, termasuk Gen Z dan Milenial, perlu lebih kritis dalam memilih produk.

Ketiga, meski anak muda aktif di media sosial untuk mempromosikan gaya hidup berkelanjutan, ada risiko bahwa ini hanya menjadi bagian dari citra atau personal branding, bukan perubahan perilaku yang mendalam. Sebagai contoh, seseorang mungkin sering membagikan foto tumbler reusable di Instagram, tetapi tetap membeli pakaian fast fashion dalam jumlah besar.

Dampak dan Potensi di Masa Depan

Terlepas dari tantangan tersebut, tren gaya hidup berkelanjutan di kalangan Gen Z dan Milenial memiliki potensi besar untuk menciptakan perubahan sistemik. Dengan jumlah populasi yang besar—di Indonesia saja, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, Gen Z dan Milenial mencakup sekitar 53% dari total penduduk—mereka memiliki kekuatan untuk memengaruhi pasar dan kebijakan. Jika tren ini terus berkembang, kita bisa melihat lebih banyak perusahaan yang beralih ke produksi ramah lingkungan, serta pemerintah yang mengeluarkan regulasi lebih ketat terkait emisi karbon dan pengelolaan sampah.

Selain itu, pengaruh media sosial tidak bisa diabaikan. Platform seperti Instagram dan TikTok telah menjadi alat ampuh bagi anak muda untuk menyebarkan kesadaran tentang isu lingkungan. Influencer lokal seperti Gita Savitri atau komunitas seperti Diet Kantong Plastik telah berhasil menginspirasi ribuan orang untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.

Dari Tren ke Transformasi

Tren gaya hidup berkelanjutan di kalangan Gen Z dan Milenial bukan lagi sekadar gaya-gayaan, melainkan sebuah gerakan sosial yang memiliki potensi untuk mengubah cara kita hidup dan berinteraksi dengan lingkungan. Namun, untuk benar-benar efektif, tren ini perlu didukung oleh akses yang lebih merata, edukasi yang lebih baik, dan komitmen nyata dari semua pihak—baik individu, perusahaan, maupun pemerintah.

Bagi anak muda Indonesia, langkah kecil seperti membawa tas belanja sendiri atau memilih produk lokal adalah awal yang baik, tetapi perubahan besar hanya akan terjadi jika kita semua bergerak bersama.

Dengan kata lain, tren ini adalah peluang sekaligus tanggung jawab. Jika dimanfaatkan dengan baik, kita mungkin bisa melihat masa depan di mana keberlanjutan bukan lagi pilihan, melainkan norma. Namun, jika hanya menjadi permukaan tanpa perubahan mendalam, tren ini bisa saja tenggelam di tengah budaya konsumtif yang masih mendominasi.


© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.