TRIBUNNEWS.com - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ponorogo, Jawa Timur, langsung mengambil langkah setelah video yang memperlihatkan pengantar jenazah di Kecamatan Slahung, harus melewati sungai.
Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko, turun tangan secara langsung memerintahkan Camat Slahung, Nur Huda Rifai, untuk membeli lahan pemakaman baru di Dukuh Bungkul, Desa Wates.
Huda mengatakan pihaknya dan penjual lahan sudah mencapai kesepakatan mengenai harga.
Rencananya, Selasa (22/4/2025) hari ini, Huda akan meninjau ulang lahan tersebut.
"Pak Bupati akan membantu ketersediaan lahan makam, dibelikan tanah sendiri untuk warga Dukuh Bungkul."
"Tadi kita sudah kita tinjau dan harganya juga sudah deal, dan besok (hari ini) rencananya akan kita tinjau ulang," jelas Huda, Senin (21/4/2025), kepada Kompas.com.
Huda membenarkan, Dukuh Bungkul yang terdiri dari 5 RT, memang selama ini belum memiliki tanah pemakaman sendiri.
Warga Dukuh Bungkul yang meninggal menumpang di tanah pemakaman Desa Tugurejo.
"Karena warga ini sulit dan sudah bertahun-tahun, makanya Bupati memerintahkan untuk membeli lahan pemakaman di Dukuh Bungkul," kata dia.
Selain untuk warga Dukuh Bungkul, lanjut Huda, pemakaman baru nanti juga bisa digunakan oleh warga yang kesulitan mengakses pemakaman di Desa Tugurejo.
"Tanah makam nanti untuk semua warga yang tidak bisa menuju pemakaman Desa Tugurejo karena larangan itu, nantinya bisa dimakamkan di pemakaman baru yang dibeli pemerintah daerah," pungkasnya.
Baru-baru ini, viral video yang memperlihatkan pengantar jenazah harus melewati sungai saat hendak menuju pemakaman di Desa Tugurejo, Kecamatan Slahung.
Insiden itu terjadi saat pengantaran jenazah Mulyadi (38), warga Desa Wates, Kecamatan Slahung, Kabupaten Ponorogo, Sabtu (19/4/2025).
Kepala Desa Tugurejo, Siswanto, menjelaskan duduk perkara mengapa pengantar jenazah harus melewati sungai.
Ia mengatakan, sebenarnya sudah dibangun jembatan secara swadaya oleh warga setempat untuk memudahkan akses menuju pemakaman.
Tetapi, ada seorang warga yang tak mengizinkan jalan depan rumahnya dilintasi pengantar jenazah.
Alasannya, karena warga tersebut menganut kepercayaan kuno.
"Akses jalan sebenarnya sudah dibangun jembatan oleh warga secara gotong royong."
"Tapi, ada salah satu keluarga yang tidak mengizinkan jalannya dilintasi saat ada pengantaran jenazah," jelas Siswanto, Minggu (20/4/2025), dilansir TribunJatim-Timur.com.
"Alasannya itu pemahaman Jawa yang tua-tua, katanya jika dilewati jenazah menjadi kurang bagus," imbuh dia.
Siswanto menuturkan, pihaknya sudah berulang kali mengupayakan mediasi dengan warga dan keluarga yang menolak tersebut.
Namun, hingga saat ini belum mencapai kesepakatan. Bahkan, menurut Siswanto, proses pengantaran jenazah warga yang meninggal kerap diwarnai perseteruan karena penolakan itu.
"Setiap kejadian selalu geger (bertengkar)" kata Siswanto.
"Sampai sekarang mereka (warga yang menolak) tidak mau dilewati untuk membawa jenazah," lanjutnya.
Terkait warga Desa Wates yang dikuburkan di pemakan Desa Tugurejo, Siswanto juga memberi penjelasan.
Ia mengatakan, dua dukuh Desa Wates berbatasan langsung dengan Desa Tugurejo.
Selain itu, di Desa Wates, kata dia, tidak memiliki tempat pemakaman. Sehingga, warga Desa Wates biasanya menggunakan pemakaman di Desa Tugurejo.
(Pravitri Retno W, TribunJatim-Timur.com/Pramita, Kompas.com/Sukoco)