Ibu Pekerja: Mengurai Perjuangan Perempuan Masa Kini
Kristina Yatini Aldila April 22, 2025 01:40 PM
Di balik senyum hangat seorang ibu, tersembunyi jutaan tugas yang nyaris tak pernah selesai. Senyum itu mungkin terlihat tenang, namun di baliknya ada pagi-pagi yang dimulai sebelum matahari terbit, malam-malam panjang yang dihabiskan dengan pikiran tak kunjung henti, dan hari-hari penuh agenda yang terus bertumpuk. Terlebih bagi mereka yang menyandang dua gelar mulia sekaligus: sebagai ibu dan sebagai pekerja.
Perempuan masa kini tak lagi dibatasi oleh dinding rumah. Mereka melangkah keluar, menembus batasan tradisi, dan mengambil peran penting dalam berbagai sektor kehidupan—menjadi penggerak ekonomi keluarga, pemegang peran strategis dalam dunia kerja, serta agen perubahan di tengah masyarakat. Dalam balutan profesionalisme, mereka tetap menyalakan api kasih sayang di rumah tangga.
Namun di balik kiprah luar biasa itu, tersimpan kisah perjuangan yang kerap tak terlihat. Mereka menghadapi tekanan ganda—baik dari dalam dirinya sendiri maupun dari sistem yang belum sepenuhnya berpihak pada perempuan. Ada dilema batin, ada ekspektasi sosial, dan ada struktur kerja yang kadang belum ramah bagi ibu pekerja. Perjuangan mereka bukan sekadar soal membagi waktu, tapi juga tentang menjaga kesehatan mental, merawat cinta, dan mempertahankan jati diri di tengah tuntutan yang datang dari berbagai arah.
Inilah narasi besar yang jarang dibicarakan dengan serius: bahwa di balik keberhasilan seorang perempuan modern, terselip perjuangan senyap yang penuh daya juang dan ketulusan.
Evolusi Peran Perempuan dalam Dunia Kerja
Dulu, peran perempuan sangat identik dengan ranah domestik. Mereka diposisikan sebagai penjaga rumah, pengasuh anak, dan pelayan keluarga—sebuah peran yang meski mulia, kerap dibingkai secara sempit oleh norma sosial dan budaya patriarkis. Namun, seiring berjalannya waktu dan semakin terbukanya akses terhadap pendidikan, teknologi, serta perubahan nilai-nilai masyarakat, perempuan mulai menunjukkan eksistensinya di luar ruang privat. Kesetaraan gender yang diperjuangkan selama bertahun-tahun, berpadu dengan realitas kebutuhan ekonomi keluarga, mendorong semakin banyak perempuan untuk berkiprah di dunia kerja.
Tidak sekadar bekerja sambilan atau menjalankan usaha kecil-kecilan, kini perempuan mengambil peran sebagai profesional, manajer, wirausaha, bahkan pemimpin di berbagai sektor strategis. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), terjadi tren kenaikan yang konsisten dalam partisipasi angkatan kerja perempuan setiap tahunnya. Yang menarik, banyak di antara mereka adalah ibu—yang tetap mengemban tanggung jawab rumah tangga sambil membagi energi dan waktunya untuk dunia kerja. Ini menunjukkan bahwa kontribusi perempuan tidak lagi bersifat simbolik, tetapi nyata dan substansial dalam menggerakkan roda ekonomi bangsa.
Mereka bekerja bukan hanya untuk mencari nafkah, tapi juga sebagai bentuk aktualisasi diri—memenuhi potensi intelektual, mengembangkan kapasitas pribadi, dan meraih prestasi profesional. Lebih dari itu, mereka menjadi pilar penting dalam ketahanan ekonomi keluarga, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi yang semakin kompleks. Tak sedikit ibu yang kini menjadi tulang punggung utama keluarga, baik karena situasi sosial-ekonomi, pilihan pribadi, atau kondisi tertentu seperti menjadi orang tua tunggal.
Namun demikian, keberhasilan perempuan dalam dunia kerja tidak serta-merta menghapus peran tradisional yang selama ini dilekatkan pada mereka. Sebaliknya, peran sebagai pengasuh utama anak dan pengelola rumah tangga tetap menempel kuat, seakan menjadi tugas kodrati yang tak boleh ditinggalkan. Inilah yang melahirkan beban ganda—perempuan dituntut untuk tampil prima di ruang profesional, sekaligus tetap hadir penuh cinta di ruang domestik.
Beban Ganda: Ketika Waktu dan Energi Terbagi Dua
Istilah double burden atau beban ganda menjadi kata kunci utama dalam memahami kompleksitas kehidupan ibu pekerja. Konsep ini bukan sekadar teori sosiologis, melainkan realitas yang dijalani setiap hari oleh jutaan perempuan di seluruh dunia. Di tempat kerja, mereka dituntut untuk tampil profesional, hadir tepat waktu, menyelesaikan target, dan bersikap rasional dalam menghadapi tekanan. Namun begitu langkah kaki kembali memasuki rumah, tuntutan berubah—mereka harus menjadi pribadi yang lembut, penuh perhatian, hangat secara emosional, dan sigap memenuhi kebutuhan keluarga.
Keseimbangan antara dua dunia ini bukan hal yang mudah. Sering kali, waktu tidur menjadi korban pertama. Waktu untuk diri sendiri—sekadar menikmati secangkir teh hangat tanpa gangguan, membaca buku, atau bahkan hanya berdiam diri tanpa tuntutan—berubah menjadi kemewahan yang langka. Rutinitas yang dijalani terasa seperti maraton tanpa garis akhir. Bahkan dalam keheningan malam, pikiran mereka masih sibuk merancang daftar pekerjaan esok hari, mengingat jadwal vaksin anak, atau menimbang apakah gaji bulan ini cukup untuk menutupi semua kebutuhan keluarga.
Tak sedikit ibu pekerja yang memulai harinya saat langit masih gelap. Mereka bangun lebih pagi dari semua anggota keluarga—menyiapkan sarapan, menata bekal anak, merapikan rumah, memastikan semua berjalan dengan baik sebelum akhirnya mengenakan pakaian kerja dan menyusuri jalanan kota. Sepulangnya, mereka tak langsung beristirahat. Alih-alih berbaring, mereka kembali menjalani peran domestik: memasak, mencuci, mendampingi anak belajar, hingga memastikan seluruh keluarga dalam kondisi baik sebelum akhirnya beranjak tidur larut malam.
Semua dilakukan dengan cinta, meski lelah tak jarang menyelinap di antara tumpukan tugas. Dalam diam, mereka menahan letih dan menyimpan tangis. Dalam senyum, mereka memeluk anak dengan hati yang penuh harap agar kelak semua ini bermakna. Karena bagi ibu pekerja, hari tak pernah benar-benar berakhir—ia hanya berganti bentuk dari profesional menjadi pengasuh, dari pejuang di kantor menjadi pahlawan tanpa jubah di rumah.
Tantangan Emosional: Rasa Bersalah yang Tak Kasat Mata
Salah satu dilema emosional yang paling sering dirasakan oleh ibu pekerja adalah apa yang disebut sebagai "mom guilt"—sebuah rasa bersalah yang menghantui karena merasa tidak cukup hadir untuk anak-anak mereka. Perasaan ini muncul bukan karena kurangnya cinta, melainkan justru karena cinta yang begitu besar, yang membuat seorang ibu selalu merasa belum melakukan cukup, meski telah berkorban banyak. Di satu sisi, mereka menyadari bahwa bekerja adalah bagian dari tanggung jawab, bahkan pilihan hidup yang membawa manfaat jangka panjang—bagi diri sendiri, keluarga, dan anak-anak. Namun di sisi lain, ada suara batin yang bertanya: “Apakah aku cukup hadir? Apakah anakku merasa dicintai?”
Konflik ini tidak lahir dari ruang hampa. Ia diperkuat oleh tekanan sosial dan ekspektasi budaya yang secara halus, tapi konsisten, menempatkan perempuan pada standar ganda. Seorang ayah yang bekerja keras seringkali dipuji sebagai penyayang dan bertanggung jawab. Namun seorang ibu yang melakukan hal serupa kerap dinilai "terlalu sibuk", "kurang mengasuh", atau bahkan "mementingkan karier daripada keluarga". Tak jarang, komentar-komentar bernada penghakiman datang dari lingkungan sekitar—tetangga, saudara, bahkan dari sesama perempuan—yang secara tidak sadar memperkuat beban psikologis tersebut.
Stigma bahwa ibu yang baik adalah ibu yang selalu berada di rumah, selalu mendampingi setiap momen tumbuh kembang anak, masih begitu kuat di banyak lapisan masyarakat. Seolah kehadiran fisik menjadi satu-satunya bukti cinta, padahal kehadiran emosional dan kualitas hubungan jauh lebih penting dan mendalam. Seorang ibu bisa saja tidak selalu berada di sisi anaknya secara fisik, tetapi tetap menjadi figur yang hangat, suportif, dan penuh cinta—dengan caranya sendiri.
Rasa bersalah itu mungkin tak akan pernah benar-benar hilang. Namun dengan pemahaman yang tepat, dukungan lingkungan yang sehat, dan penerimaan diri yang kuat, "mom guilt" bukan lagi menjadi belenggu, melainkan cambuk yang membentuk ibu menjadi pribadi yang semakin bijaksana dan tangguh. Karena pada akhirnya, cinta seorang ibu tidak diukur dari waktu yang ia habiskan di rumah semata, tetapi dari ketulusan, kehadiran hati, dan perjuangan yang dilakukan setiap hari—baik di dalam maupun di luar rumah.
Sistem Pendukung: Kunci Keberhasilan Ibu Pekerja
Keberhasilan seorang ibu dalam menjalankan dua peran—sebagai pengasuh utama di rumah dan profesional di dunia kerja—tidak bisa berdiri sendiri. Ia sangat bergantung pada dukungan dari lingkungan sekitar, baik dari lingkup paling dekat seperti pasangan dan keluarga besar, hingga dukungan struktural dari institusi tempat kerja dan kebijakan negara. Dalam ekosistem yang sehat, seorang ibu tidak dipaksa untuk memilih antara karier atau keluarga, melainkan diberi ruang untuk menyeimbangkan keduanya tanpa harus mengorbankan kesehatan fisik maupun mentalnya.
Di berbagai negara maju, kesadaran ini telah tumbuh menjadi kebijakan nyata. Pemerintah dan sektor swasta menyediakan fasilitas yang berpihak pada ibu pekerja, seperti cuti melahirkan yang layak dan berbayar, ruang laktasi yang nyaman di tempat kerja, fleksibilitas jam kerja, hingga subsidi atau layanan pengasuhan anak yang terjangkau. Semua ini bukan semata bentuk kebaikan hati institusi, tetapi merupakan strategi jangka panjang dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas, karena ketika ibu merasa didukung, anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang lebih stabil dan positif.
Di Indonesia, sinyal perubahan mulai terlihat. Beberapa perusahaan mulai mengadopsi kebijakan progresif seperti opsi work-from-home, jam kerja fleksibel, hingga fasilitas daycare internal. Namun kenyataannya, kesetaraan belum merata. Banyak ibu masih menghadapi dilema antara mempertahankan pekerjaan atau mengurus anak karena minimnya dukungan sistemik. Bahkan, di sektor informal dan usaha kecil, perempuan sering kali harus bekerja sambil menggendong anak karena tidak ada pilihan lain.
Perusahaan yang memiliki perspektif gender dan keluarga cenderung mampu menciptakan iklim kerja yang tidak hanya produktif, tetapi juga humanis. Mereka menyadari bahwa keberlanjutan bisnis tidak hanya ditentukan oleh angka keuntungan, tapi juga oleh kesejahteraan manusia di baliknya. Kebijakan yang ramah keluarga, pelatihan untuk kepemimpinan perempuan, serta budaya kerja yang menghargai keseimbangan hidup, menjadi kunci dalam mendorong partisipasi perempuan tanpa mengorbankan sisi keibuannya.
Sudah saatnya dukungan terhadap ibu pekerja tidak hanya menjadi tanggung jawab pribadi atau beban moral keluarga, melainkan tanggung jawab kolektif. Karena ketika ibu diberi ruang untuk bertumbuh, seluruh masyarakat akan ikut bergerak maju.
Perempuan Masa Kini: Mandiri, Tangguh, dan Penuh Kasih
Perempuan masa kini—terutama para ibu pekerja—adalah simbol ketangguhan modern yang tak selalu terlihat mata. Di balik langkah cepat mereka menyusuri koridor kantor, di balik senyum hangat saat menyuapi anak, atau dalam diam ketika menyusun strategi keuangan keluarga, tersimpan kecerdasan emosional, kekuatan mental, dan ketulusan hati yang luar biasa. Mereka terus belajar setiap hari: bagaimana membagi waktu dengan bijak, menyelaraskan tenaga yang terbatas dengan tuntutan yang tak pernah habis, merawat impian pribadi sambil menanamkan mimpi pada anak-anak mereka.
Mereka bukan sekadar pencari nafkah tambahan. Mereka adalah penopang kehidupan—baik secara ekonomi, emosional, maupun spiritual. Dari rumah yang hangat mereka bangun, tumbuh harapan akan generasi yang lebih peduli, tangguh, dan penuh nilai. Dari hati mereka yang tabah, mengalir kekuatan yang mampu mengubah luka menjadi pelajaran, dan kelelahan menjadi ketekunan. Mereka adalah arsitek masa depan, bahkan ketika dunia belum sepenuhnya memberi ruang bagi mereka untuk bernapas dengan lapang.
Yang mereka butuhkan bukanlah pujian kosong atau sanjungan sesaat. Tapi pengakuan nyata, penghargaan yang setara, dan sistem yang mendukung. Mereka tak meminta dunia menjadi sempurna—mereka hanya berharap dunia bisa sedikit lebih adil. Dunia yang tidak menuntut mereka menjadi "superwoman" dalam segala hal, tapi dunia yang mengerti bahwa ibu juga manusia—yang bisa lelah, bisa gagal, tapi selalu berusaha.
Dunia yang memberi tempat untuk ibu tumbuh dengan sehat, seimbang, dan bahagia, adalah dunia yang sedang mempersiapkan masa depan terbaik untuk anak-anaknya. Karena ketika seorang ibu dihargai, diberdayakan, dan didukung, maka satu keluarga—bahkan satu bangsa—sedang berjalan menuju kemajuan.
Mengurai perjuangan ibu pekerja bukan sekadar menghadirkan kisah pilu atau melankoli harian, melainkan menjadi panggilan untuk mendorong transformasi nyata. Ini adalah ajakan untuk melihat lebih dalam dan bertindak lebih luas—bahwa keberhasilan seorang ibu tidak hanya menjadi tanggung jawab pribadinya semata, tetapi merupakan hasil dari ekosistem yang berpihak: mulai dari dukungan emosional di rumah, kebijakan yang inklusif di tempat kerja, hingga regulasi negara yang berpihak pada keseimbangan peran gender.
Setiap elemen dalam masyarakat punya peran. Pasangan yang berbagi tugas rumah tangga secara adil. Keluarga besar yang memberi empati, bukan penghakiman. Perusahaan yang memberi ruang fleksibel, bukan beban tambahan. Dan pemerintah yang merumuskan kebijakan berbasis realita, bukan hanya formalitas. Ketika semua bergerak dalam harmoni, maka terciptalah dunia yang tidak hanya memberi ruang bagi perempuan untuk bertumbuh, tapi juga menopang mereka agar tidak tumbang di tengah perjalanan.
Karena sesungguhnya, ketika seorang ibu bahagia, ia mentransfer ketenangan dan rasa aman kepada anak-anaknya. Anak-anak yang tumbuh dengan cinta dan keseimbangan emosional akan menjadi generasi yang lebih kuat, lebih sehat, dan lebih siap menghadapi tantangan dunia. Dan ketika keluarga menjadi tempat bertumbuh yang suportif, masyarakat pun perlahan bergerak menuju arah yang lebih adil dan berdaya.
"Di balik setiap anak yang hebat, ada ibu yang berjuang diam-diam." Kalimat ini bukan sekadar kutipan manis, melainkan cerminan realitas. Dan perjuangan itu pantas dihormati, didengar, dan didukung—bukan hanya dengan kata-kata, tapi juga lewat tindakan nyata dari kita semua.