Grid.ID- Kasus kekerasan yang dilakukan debt collector dalam proses penagihan utang kembali mencuat ke permukaan. Padahal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menetapkan aturan ketat untuk mencegah praktik intimidasi dan tindakan tidak manusiawi.
Namun, kenyataannya di lapangan, pelanggaran masih sering terjadi.Keluhan dari konsumen tentang penagihan utang yang tidak sesuai aturan hukum pun semakin banyak ditemukan, baik di media sosial maupun media massa.
Oleh karena itu, masyarakat perlu memahami bahwa setiap tindakan kekerasan yang dilakukan debt collector bisa berujung pidana dan wajib dilaporkan. OJK sendiri telah menetapkan berbagai ketentuan yang harus dipatuhi oleh pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) dan pihak ketiga yang melakukan penagihan, termasuk larangan penggunaan kekerasan.
Sebagai bentuk perlindungan bagi konsumen, Pasal 7 Peraturan OJK Nomor 6/POJK.07/2022 dengan tegas menyatakan bahwa PUJK wajib mencegah tindakan kekerasan atau penyalahgunaan wewenang oleh pihak-pihak yang bekerja untuk atau mewakili kepentingan mereka. Ketentuan ini mencakup debt collector yang dipekerjakan oleh bank, perusahaan leasing, maupun platform pinjaman online, sehingga semua pihak harus mematuhi aturan demi terciptanya proses penagihan utang yang lebih adil dan transparan.
Dalam unggahan resminya, OJK menyebutkan bahwa penggunaan kekerasan fisik, verbal, maupun tindakan mempermalukan konsumen saat penagihan utang merupakan pelanggaran serius. Bahkan, tindakan seperti ancaman, tekanan psikis, atau penggunaan intimidasi bisa dikenakan sanksi pidana bagi individu debt collector, dan sanksi administratif bagi perusahaan yang mempekerjakan mereka.
Mengutip Hukumonline, Selasa (22/4/2025), sanksi administratif yang dimaksud meliputi peringatan tertulis, denda, pembatasan kegiatan usaha, hingga pencabutan izin usaha. Bagi individu debt collector yang melakukan tindak kekerasan, pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait penganiayaan atau perbuatan tidak menyenangkan bisa dikenakan, bergantung pada tingkat kekerasan yang dilakukan.
Pakar hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, dikutip dari Kompas.com, menjelaskan bahwa tindakan penganiayaan bisa dijerat dengan Pasal 351 KUHP. Dalam pasal tersebut, pelaku dapat mendapatkan hukuman penjara maksimal dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Jika perbuatan tersebut menyebabkan luka berat, hukuman dapat meningkat hingga lima tahun penjara. Sementara itu, jika berakibat pada kematian, pelaku bisa dijatuhi hukuman hingga tujuh tahun penjara.
Selain itu, terdapat kategori penganiayaan ringan, yang diatur dalam Pasal 352 KUHP. Penganiayaan ini berlaku jika tidak dilakukan dengan perencanaan, tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu seperti keluarga, dan tidak menyebabkan korban sakit atau terganggu dalam pekerjaannya.
Ada pula penganiayaan berencana, sebagaimana tercantum dalam Pasal 353 KUHP. Jika seseorang melakukan penganiayaan dengan rencana lebih dulu, ia dapat dikenakan hukuman hingga empat tahun penjara. Jika korban mengalami luka berat, hukuman bisa meningkat menjadi tujuh tahun, dan jika berujung pada kematian, ancaman hukuman maksimal sembilan tahun penjara.
Sementara itu, penganiayaan berat diatur dalam Pasal 354 KUHP, yang berlaku bagi pelaku yang sengaja menyebabkan luka berat pada orang lain. Hukuman bagi pelaku bisa mencapai delapan tahun penjara, dan jika korban meninggal akibat perbuatan tersebut, hukuman bisa bertambah menjadi sembilan tahun. Luka berat yang dimaksud dalam pasal ini bukan hanya sekadar nyeri, tetapi luka yang membahayakan nyawa atau menyebabkan kerusakan serius pada tubuh.
Etika Penagihan
Tak hanya itu, dalam Peraturan OJK Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan, Pasal 48 mengatur bahwa setiap pihak ketiga yang ditugaskan melakukan penagihan harus memiliki dokumen resmi kerja sama dan identitas yang sah. Penagihan juga hanya boleh dilakukan di tempat dan jam tertentu, yakni antara pukul 08.00 hingga 20.00 sesuai domisili nasabah, dan tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan nasabah di luar ketentuan tersebut.
Etika dalam penagihan utang juga diatur dengan ketat. Debt collector wajib mendapat pelatihan dan harus menggunakan kartu identitas resmi lengkap dengan foto. Dalam penagihan, mereka tidak boleh menyasar pihak lain selain debitur, tidak boleh mengganggu lewat komunikasi berulang-ulang, dan tidak boleh melakukan tindakan mempermalukan dalam bentuk apapun.
Jika masyarakat menemukan praktik penagihan utang yang melibatkan kekerasan atau intimidasi, terdapat sejumlah lembaga yang siap menerima laporan. Di antaranya adalah Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan tentu saja kantor kepolisian terdekat. Pengaduan bisa dilakukan melalui telepon, email, atau datang langsung ke kantor lembaga terkait.
Keberadaan debt collector dalam ekosistem jasa keuangan memang tidak bisa dihindari. Namun, praktiknya harus dijalankan sesuai aturan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Kekerasan dalam bentuk apapun tidak boleh ditoleransi. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk mengetahui hak-haknya, agar tidak menjadi korban perlakuan sewenang-wenang dari oknum yang mengatasnamakan penagihan utang.
Akhirnya, transparansi dan etika dalam dunia penagihan menjadi keharusan mutlak. Debt collector harus menjalankan tugasnya sesuai ketentuan hukum, bukan sebagai alat tekanan atau kekerasan. Jika tidak, hukum pidana siap menanti mereka yang melanggar.