Oleh: Dr.dr. Pribakti B, SpOG(K)
Dokter di RSUD Ulin Banjarmasin
BANJARMASINPOST.CO.ID - HARUS diakui pekerjaan dokter yang seharusnya sarat dengan pesan moral kini telah banyak bergeser. Saat ini dokter tidak mungkin lagi bekerja tanpa teknologi. Dan Rumah Sakit (RS)-- si pemilik teknologi, yang umumnya berperangai industri, lebih sebagai penentu.
Coba lihat, RS - RS baru yang kini bermunculan, mayoritas milik pedagang. Lantas, bagaimanakah kita akan memulai berbicara tentang etik? Padahal berbicara tentang RS tidak bisa lepas kita harus berbicara tentang dokter. Dalam urusan pekerjaan dokter, soal etik tak dapat dihindarkan.
Etik berasal dari kata benda: Ethos. Artinya, sesuatu yang berkaitan dengan karakter. Bagaimana mengobati adalah bagian dari ilmu kedokteran. Sedangkan mengapa diobati adalah isu etika kedokteran. Seharusnya, satu-satunya alasan mengapa Anda dilayani sebagai pasien adalah karena Anda manusia. Tanpa embel-embel lain! Ras, bangsa, agama, kaya miskin, semua mempunyai hak sama.
Etika adalah tentang moral. Moral itu tidak dapat diraba tapi dapat dirasakan. Dan yang kita bisa rasakan adalah refleksinya, yaitu tindakan atau performa dan keputusan dokter dalam melayani pasien. Inilah yang menentukan nasib pasien dan ongkos yang harus dipikul.
Harus diakui jarak pengetahuan pasien dan dokter sering membuat pasien tidak berdaya . Disinilah rasa ketidakwajaran mudah terjadi. Dalam situasi seperti ini, kehadiran kendali internal etika dan moral menjadi mutlak untuk menjaga kepentingan pasien.
Itulah mengapa, sejak lahirnya ilmu kedokteran , sumpah Hipocrates selalu mendampingi. Semua ajaran agama terus mengingatkan tentang pentingnya menjaga moral profesi dokter. Benarkah hanya etika moral yang menjadi penentu performa dokter? Tidak! Lompatan teknologi kedokteran membuat semua berubah secara fundamental. Jelas diperlukan prasyarat lain untuk selalu menjaga performa dokter. Dalam bidang medis jelas, keselamatan pasien menjadi yang utama. Artinya, kompetensi dokter sebagai pengguna teknologi harus senantiasa terukur. Disini peran audit medik menjadi mutlak!
Teknologi adalah ujung tombak persaingan bisnis. Jelas, teknologi itu milik industri. Lomba teknologi di bidang kedokteran hadir bukan dari dorongan rasa iba tetapi gairah persaingan dalam memburu laba. Ciri khas bisnis adalah sikap komersial, artinya mencari untung. Bisnis bukan seperti amal. Bila tidak membawa profit, bisnis tidak diteruskan.
Bisnis tidak dilakukan untuk tujuan kemanusiaan tetapi dorongan kepentingan pribadi. Jadi tidak heran bila bisnis akrab dengan persaingan. Memang tidak ada yang salah dengan bisnis, tetapi wajah RS jadi berubah. Dan, terjadilah benturan nilai.
Dokter dengan sumpahnya yang luhur – selalu mengutamakan kepentingan penderita - harus bekerja di rumah sakit yang spiritnya mungkin berbeda. Situasi jadi kian rumit karena saat ini bila ingin tetap bekerja alias survive, dokter harus menyanyikan lagu yang telah ditentukan oleh korporasi. CEO perusahaanlah yang jadi dirigen orkestra. Masalahnya, negeri ini sepenuhnya mengikuti paham pasar bebas. Kita lihat arena kompetisi semakin tak terkendali dan etika kian terbenam. Gejala itulah yang kita rasakan kini.
Namun bagaimanapun masyarakat patut berterima kasih atas kemajuan teknologi. Banyak masalah kesehatan yang terjawab, harapan hidup umat manusia semakin panjang, Sayang semua itu tidak diimbangi dengan pemerataan. Biaya kesehatan semakin meroket dan jarak kualitas pelayanan semakin lebar. Kini, biaya kesehatan menjadi masalah utama di seluruh dunia.
Banyak negara yang terbukti tidak mampu lagi menyangga beban pelayanan kesehatan warganya. Tetapi perkembangan teknologi seakan tanpa batas, terus menggiring masyarakat ke arah kebutuhan baru.
Nano teknologi telah sampai pada manipulasi di level atom DNA. Apa artinya? Rekayasa genetika untuk melahirkan generasi unggul sudah bukan mustahil. Kini penuaan dapat dihambat dengan ditemukan nucleoprotein complex di ujung telomere yang diketahui berpengaruh mengatur keuzuran usia dan keremajaan fisik. Bisa jadi di tahun 2030 , manusia mencapai usia lebih dari 100 tahun dengan kebugaran layaknya usia 30 tahun akan meningkat tajam.
Mengapa semua bisa terjadi? Pasarnya ada dan besar sekali. Orang yang datang mencari pelayanan kesehatan pun berubah. Bukan hanya orang sakit yang berharap sembuh, tetapi orang berduit yang ingin lebih cantik, umur panjang, tidak pikun, punya anak secerdas Einstein dan setampan Brad Pitt. Teknologi tersedia dan ongkosnya jelas. Industri akan terus bergerak mengikuti arah uang.
Dan ketika etika bukan lagi dilihat sebagai moral garis benar-salah maka saat itu kompetensi dokter lebih penting ketimbang etik. Tak dapat dielakkan lagi, dimasa itu audit medik akan menggantikan peran etik. Selamat tinggal ilmu kedokteran primitif dan selamat tinggal pula etik tradisional yang kian usang.
Lomba teknologi kian beringas, mesin bisnis terus berpacu mencipta dan memburu laba. Dan, dunia medis menjadi belantara! Sialnya, tidak bisa dielakkan lagi, dokter adalah bagian dari satu entitas industri jasa yang produknya disiapkan untuk dijual. Lantas, dimanakah dokter harus berdiri?
Hadirnya keinginan menuju kemuliaan dengan meraih nilai-nilai immaterial membuat manusia menjadi berbeda. Tentu dokter tidak sama dengan tukang batu, ada sumpah yang senantiasa harus dipegang. Sesungguhnya , RS bukan sekadar tempat bekerja, tetapi lebih merupakan tempat ibadah. Dengan demikian etik tradisional tidak akan pernah usang. Semoga bermanfaat. (*)