SURYAMALANG.COM, MALANG - Di tengah dinamika harga komoditas global, harga kedelai di Kota Malang terpantau stabil.
Kepala Bidang Perdagangan Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan (Diskopindag) Kota Malang, Putu Eka Wulantari memastikan bahwa tidak ada gejolak signifikan terkait harga kedelai di pasaran.
“Jadi, harga di Kota Malang, dari beberapa sumber Rp 13.500 per kilogram. Kalau kedelai banyaknya di Sanan. Kalau di pasar tidak terlalu. Artinya, konsumsi kedelai di pasar tidak begitu besar,” ungkap Putu saat dikonfirmasi, Rabu (24/4/2025).
Ia menjelaskan, sebagian besar kedelai yang beredar di pasaran Kota Malang masih berasal dari impor, terutama dari Amerika Serikat.
Hal ini membuat harga kedelai lokal ikut terpengaruh oleh fluktuasi biaya impor.
“Itu tergantung jenis kedelai juga. Impor paling banyak dari Amerika Serikat. Kenaikan biaya impor, bisa saja,” ujarnya.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa kondisi pasar masih terkendali. Di pasar tidak ada gejolak. Landai-landai saja.
Untuk jenis kedelai merek tertentu seperti “Bola”, harganya tercatat di kisaran Rp 9.700 per kilogram.
Putu menambahkan, peran pemerintah daerah dalam pengendalian harga kedelai impor memang terbatas.
“Karena ini impor, ya tindakan kami hanya sebatas memantau saja. Beda kalau penghasilan dalam negeri,” jelasnya.
Dari segi kualitas, kedelai impor dinilai lebih sesuai untuk kebutuhan olahan seperti kripik tempe.
“Karena memang kalau dari sisi mutu kedelai, kalau untuk kripik tempe bagus yang impor,” kata Putu.
Hingga saat ini, pihaknya memastikan stok kedelai di Kota Malang masih aman dan mencukupi.
Sebelumnya, pedagang di Pasar Klojen, Tono, mengaku belum menaikkan harga jual tempenya.
Ia menambahkan, ukuran dan stok tempe yang dijualnya juga masih seperti biasa karena pasokan dari produsen belum terganggu.
“Sampai sekarang masih jual dengan harga normal, belum ada kenaikan. Saya juga belum terlalu terasa dampaknya,” ujar Tono.
Meski demikian, para produsen tempe mengaku sulit menaikkan harga karena khawatir kehilangan pembeli. Sebagai gantinya, mereka memperkecil ukuran tempe.
“Kenaikan ini sejak sebelum lebaran Idul Fitri 2025 atau awal puasa. Dulu harga kedelai Rp 9.100 per kilogram dan terus naik hingga sekarang Rp 9.950 per kilogram,” terang Dice Saputro, salah satu perajin tempe di Sanan, Kota Malang.
Dice mengaku harus mengurangi ketebalan tempe yang ia produksi. Tempe yang ia produksi semakin menipis seiring tingginya harga.
“Semakin lama, semakin menipis, hampir setengah centi kami kurangi. Ya mau bagaimana lagi, mau menaikkan harga tempe takut pelanggan mengeluh,” tambahnya.
Meski ukuran dikurangi, Dice menekankan bahwa kualitas tempe tetap dijaga.
Selain memperkecil ukuran, di tempat produksinya, jumlah tempe yang dibuat pun ikut dikurangi.
Sementara itu, Mustofa, pedagang tempe lain, juga tetap berjualan meski ukuran tempe dari produsen semakin mengecil.
“Kami tetap jualan tapi ukuran tempe yang semakin mengecil banyak. Pelanggan memang protes, tapi mereka tahu kok kalau harga kedelai naik, jadi tetap dibeli,” ujarnya.
(Benni/Purwanto)