Fraksi Partai Demokrat di DPR RI mendorong pemerintah untuk tetap tegas menegakkan kedaulatan digital demi melindungi kepentingan nasional, di tengah kritik Amerika Serikat terhadap kebijakan sistem pembayaran domestik Indonesia seperti QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).
Anggota Komisi XI sekaligus Sekretaris Fraksi Demokrat, Marwan Cik Asan, menyebut kebijakan tersebut adalah langkah strategis untuk memperkuat kemandirian ekonomi digital dan melindungi data transaksi keuangan nasional.
“Kami mendorong pemerintah tetap berdiri tegak pada prinsip kedaulatan digital. QRIS dan GPN bukan hambatan, melainkan bagian dari transformasi sistem pembayaran yang inklusif, aman, dan efisien,” kata Marwan, Kamis (24/4/2025).
Kritik AS tertuang dalam National Trade Estimate Report 2025, yang menyebut QRIS dan GPN berpotensi menghambat akses perusahaan keuangan asing di Indonesia. Namun Marwan menilai tudingan itu perlu disikapi proporsional dan kritis.
“Justru sistem ini membantu UMKM dan masyarakat kecil. Sebelum ada GPN dan QRIS, pelaku usaha kecil dikenai biaya tinggi akibat ketergantungan pada jaringan internasional,” jelasnya.
Marwan juga mendorong agar QRIS dipromosikan sebagai model interoperabilitas regional dan global, serupa dengan integrasi sistem dengan SGQR (Singapura) dan PromptPay (Thailand).
“Ini bisa jadi pijakan awal untuk kolaborasi sistem pembayaran di Asia Tenggara, sebelum masuk ke skema global,” tutup Marwan.
Buka Dialog, Tetap TegasMeski demikian, Fraksi Demokrat mendorong pemerintah tetap membuka ruang dialog terbatas dan diplomasi ekonomi dengan AS dan mitra internasional lainnya.
“Komunikasi terbuka perlu dilakukan agar mereka paham bahwa ini bukan proteksi pasar, tapi bentuk reformasi digital yang mendukung inklusi keuangan,” ujarnya.
AS Kritik QRIS dan GPNPemerintah Amerika Serikat (AS) menyoroti kebijakan layanan keuangan Indonesia, khususnya implementasi QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), sebagai hambatan perdagangan luar negeri bagi perusahaan AS.
Dalam Laporan National Trade Estimate (NTE) 2025, AS menyatakan kebijakan Bank Indonesia yang mewajibkan semua transaksi ritel domestik diproses melalui sistem GPN dan membatasi partisipasi asing, menciptakan hambatan pasar digital.
Aturan ini termasuk pembatasan kepemilikan asing maksimal 20 persen pada perusahaan switching, larangan layanan lintas batas, dan keharusan bagi perusahaan asing untuk bermitra dengan entitas lokal.
Kebijakan tersebut dianggap berpotensi membatasi akses perusahaan pembayaran dan bank AS, terutama setelah BI mewajibkan penggunaan GPN untuk kartu kredit pemerintah sejak Mei 2023.
Meski begitu, Namun, pemerintah Indonesia menilai langkah ini penting untuk melindungi kedaulatan digital serta memastikan data keuangan nasional tidak dikuasai pihak asing.