TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Kebijakan ekonomi era Donald Trump, yang dikenal sebagai tariff, selama ini lekat dengan perang dagang dan peningkatan tarif impor. Namun, pendekatan proteksionis Trump ternyata tidak berhenti di sektor perdagangan barang semata, melainkan juga merambah sektor jasa dan teknologi, termasuk sistem pembayaran digital lintas negara.
Indonesia tak luput dari sasaran kebijakan ini, sebagaimana tercermin dalam National Trade Estimate Report (NTE) 2025 yang dirilis oleh United States Trade Representative (USTR), yang secara spesifik menyoroti sistem pembayaran digital terintegrasi nasional Indonesia, yakni QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard).
QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2020 dan berlaku untuk berbagai jenis pembayaran melalui aplikasi uang elektronik berbasis server, dompet elektronik, maupun mobile banking.
Sistem ini memungkinkan pengguna untuk cukup melakukan pemindaian QR Code di merchant yang telah bekerja sama dengan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP), dan pembayaran akan langsung terproses. Pertanyaannya, sejauhmana perkembangan QRIS? Apakah QRIS menyumbang pendapatan fee-based income bagi perbankan? Bagaimana nasib QRIS pasca ini?
Berdasarkan data Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (APSI) hingga Februari 2023, QRIS telah digunakan oleh 24,9 juta merchant dengan volume transaksi 12,81 juta dan nilai transaksi sebesar Rp122,8 triliun.
Data ini menunjukkan bahwa QRIS mengalami pertumbuhan yang sangat pesat baik dari sisi adopsi oleh merchant maupun aktivitas transaksi, mencerminkan penerimaan yang luas oleh masyarakat serta peran pentingnya dalam digitalisasi ekonomi nasional.
Bahkan, kalau lihat datanya sampai Oktober 2024 transaksi QRIS meningkat 183,9% secara tahunan dengan jumlah pengguna mencapai 54,1 juta, dan jumlah merchant sebanyak 34,7 juta.
Bagi dunia perbankan, kehadiran QRIS jadi sumber pemasukan tambahan yang cukup menjanjikan, khususnya dari sisi fee-based income. Soalnya, tiap transaksi lewat QRIS dikenakan biaya yang disebut merchant discount rate (MDR), dan ini jadi ladang pendapatan baru buat bank maupun penyedia layanan pembayaran. Contohnya, Bank BTN mencatat pertumbuhan pendapatan dari QRIS yang melonjak lebih dari 285% sampai Oktober 2024.
Sementara itu, BNI juga mengalami lonjakan volume transaksi QRIS sebesar 208% secara tahunan di periode yang sama. Ini menandakan bahwa QRIS bukan hanya mempermudah konsumen, tapi juga memberikan nilai tambah besar bagi sektor perbankan.
Lalu, bagaimana nasib QRIS pasca ini? Tantangannya adalah menjaga keseimbangan antara tekanan eksternal dan kepentingan nasional. Indonesia perlu mempertahankan QRIS sebagai standar domestik yang terbuka untuk interoperabilitas, namun tetap menjaga prinsip perlindungan data dan dominasi domestik dalam sistem pembayaran.
Diplomasi ekonomi yang cerdas dan penguatan regulasi domestik menjadi kunci agar QRIS tidak dianggap sebagai hambatan, melainkan sebagai inovasi lokal yang dapat diadopsi atau diintegrasikan dengan sistem global.
***
*) Oleh : Rofiul Wahyudi, Dosen Perbankan Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
_________
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.