SURYA.CO.ID - Setelah disegel Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, UD Sentosa Seal, nasib usaha milik Jan Hwa Diana berada di ujung tanduk.
Wakil Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur (Jatim), Jairi Irawan, meminta pemerintah provinsi setempat memidanakan perusahaan yang menahan ijazah milik pekerja.
Sebab, UD Sentosa Seal melanggar Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan.
"Momen ini menjadi ujian efektivitas regulasi daerah. Saatnya menguji kesaktian perda, apakah memiliki taji atau hanya menjadi berkas seperti lainnya," katanya, dikutip SURYA.CO.ID dari Kompas.com.
Jairi mengatakan, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Timur sudah memiliki dasar hukum kuat untuk menindak kasus perusahaan UD Sentoso Seal di Surabaya yang menahan ijazah karyawannya.
Pada pasal 42 dalam perda tersebut, sudah jelas melarang pengusaha menahan dokumen asli yang bersifat pribadi milik pekerja, termasuk ijazah.
Selain itu, lanjut Jairi, perusahaan yang bersangkutan juga diduga melakukan pelanggaran lain, berupa pembatasan waktu ibadah bagi pekerja dan mengenakan sanksi berupa pemotongan gaji.
Tindakan itu bertentangan dengan Pasal 72 perda yang sama.
"Perusahaan tidak boleh menghalangi pekerja menjalankan ibadah. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi menyangkut hak asasi pekerja," ujarnya.
Ia meminta Pemprov Jatim fokus pada aspek pidana dalam kasus tersebut dan tidak mengalihkan perhatian ke upaya penerbitan Surat Keterangan Pengganti Ijazah (SKPI).
"Fokus kita adalah pada pelanggaran hukum yang dilakukan, bukan pada solusi darurat seperti SKPI," ujarnya.
Meski demikian, Jairi mengapresiasi langkah Gubernur Jawa Timur yang menawarkan penerbitan SKPI bagi pekerja yang kehilangan ijazahnya sebagai bentuk kepedulian terhadap kelangsungan karier mereka.
"Itikad baik Bu Gubernur perlu diapresiasi karena ini menyangkut masa depan para pekerja," katanya.
Ia menegaskan ketentuan sanksi dalam Pasal 79 Perda Penyelenggaraan Ketenagakerjaan harus ditegakkan.
Yaitu, kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak Rp 50 juta bagi pelanggar.
"Ini peringatan bagi semua perusahaan di Jatim agar tidak lagi melakukan pelanggaran serupa," tuturnya.
Polisi Periksa Saksi dan Manajemen UD Sentosa Seal
Di sisi lain, Polda Jatim mulai melakukan pemeriksaan saksi atas kasus penahanan ijazah eks karyawan UD Sentosa Seal.
Sudah lebih dari dua mantan karyawan yang sedang berproses untuk dimintai keterangan sebagai saksi.
"Sejauh ini kita masih melakukan klarifikasi. Informasi terakhir lebih dari 2 orang korban, artinya bisa 4-5 dan seterusnya, artinya tidak sebanyak informasi yang beredar simpang siur sebelumnya," kata Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Jules Abraham Abast, saat ditemui di Lobby Gedung Bidang Humas Mapolda Jatim, pada Kamis (24/4/2025).
Bahkan, selain para pelapor atau korban, dalam waktu dekat penyidik bakal memeriksa sejumlah terlapor, dari pihak manajemen perusahaan tersebut.
"Ada informasi yang kami terima, direncanakan yang bersangkutan sendiri JHD maupun yang akan datang, suami yang bersangkutan, dalam tahap penyelidikan dan penyidikan, ini masih kembangkan terkait dengan kasusnya," pungkasnya.
Diberitakan, Satrio Ambasakti (20) yang baru bekerja lima bulan sejak 15 November 2024.
Satrio akhirnya memilih ke luar pada Senin, 14 April 2025 lalu, setelah kasus penahanan ijazah ini viral.
Satrio memutuskan ke luar setelah perusahaan milik Jan Hwa Diana itu berpolemik di mesdos dan membuat marah kementerian ketenagakerjaan, dinas ketenagakerjaan dan Pemkot Surabaya.
“Karena saya tahu kasusnya semakin besar. Jadi saya malu juga karena di situ dan untungnya buat saya juga apa,” kata Satrio di Mapolda Jatim, Selasa (22/4/2025).
Sama dengan eks karyawan lain, Satrio juga belum mendapatkan ijazahnya setelah memutuskan keluar.
Dia akhirnya bergabung dengan 43 mantan karyawan lain membuat laporan ke Subdit IV Renakta Ditreskrimum Polda Jatim, pada Selasa (22/4/2025).
"Yang saya dapat selama kerja di sana, cuma gaji Rp85 per hari. Ya gimana ya, saya niatnya bekerja di sana buat bayar hutang malah nambah hutang. 1 bulan gaji gak sampai Rp3 jutaan, gak sampai," ujarnya saat ditemui di depan halaman Gedung SPKT Mapolda Jatim, Selasa (22/4/2025).
Sejak awal, Korban Satrio mengakui tidak ada klausul dalam klasifikasi pekerjaan yang diminta perusahaan tersebut dalam tampilan informasi lowongan pekerjaan melalui Aplikasi KitaLulus.
Ternyata, klausul penyitaan dan penjaminan ijazah asli tersebut, muncul saat dirinya menjalani proses interview dan wawancara seleksi lamaran pekerjaan di perusahaan tersebut.
Alasannya juga tak terlalu jelas dipahami oleh Satrio.
Penjaminan ijazah asli tersebut, setahu dia, dipakai sebagai antisipasi adanya aksi kriminalitas yang dilakukan oleh karyawan.
Namun, belakang diketahui, penjaminan ijazah tersebut cuma akal-akalan dalam rangka mengekang pihak karyawan yang bekerja dengan beban pekerjaan tak masuk akal.
Dan manakala si karyawan itu hendak keluar atau resign dari tempat perusahaan tersebut, maka pihak manajemen dapat memintai uang senilai sekitar dua juta rupiah kepada si karyawan tersebut.
"Tapi kalau saya resign mendadak, saya harus nebus ijazah seharga Rp2 juta. Saya engga ada kontrak. Pokoknya kalau saya tiba-tiba mau resign," katanya.
Sebenarnya Korban Satrio sudah pernah menanyakan langsung melalui sambungan telepon mengenai alasan ijazahnya masih saja disita dan tak kunjung dikembalikan kepada Jan Hwa Diana.
Responsnya, tetap tidak sesuai dengan yang dikehendaki.
Bahkan, sang bos, malah memintanya untuk mempercakapkan permasalahan tersebut di kantor secara langsung bukan melalui sambungan telepon.
"Soal permintaan ijazah. Kemarin saya sempat telpon ke Bu Diana. Saya tanya sekalian. Dia mintanya omong-omongan secara 4 mata. Enggak mau langsung lewat telpon. Tiba-tiba dia matikan telponnya," jelasnya.
Diana juga berusaha membujuk dirinya untuk mengurungkan niat, dan tetap bekerja di perusahaan tersebut.
"Bu Diana bilang; 'kamu engga kasihan ta sama Ce Diana'. Saya bilang; 'ya gimana lagi ce, keadaannya juga seperti ini'. Saya sudah terusan minta ijazah, jawabannya iya iya, tapi gak ada kejelasan," terangnya.
Mengenai adanya larangan dan pembatasan aktivitas beribadah Salat Jumat di perusahaan tersebut, Satrio tak menampiknya.
Dia juga berulang kali terkena aturan tersebut, yakni pemotongan uang makan Rp10 ribu jika terlambat masuk kerja setelah menunaikan salat.
"Soal larangan solat ada. Sebenarnya boleh solat, tapi dipotong Rp10 ribu. Untuk mengganti waktu kerja, karena kita pakai solat jumaat. Kita engga protes, ya kita anggap kayak tekanan pekerjaan," pungkasnya.
Sebelumnya, DSP (24) mantan karyawan Jan Hwa Diana lebih dahulu mengadu ke Mapolda Jatim, pada Senin (21/4/2025).
DSP yang sudah keluar dari UD Sentosa Seal sejak 2020 itu hingga kini belum mendapatkan ijazahnya.
Akibatnya, Korban DSP, beberapa tahun belakangan, kesulitan mencari pekerjaan. Apalagi jika tempat perusahaan yang akan dilamar memintanya menunjukkan ijazah pendidikan terakhir.
Untuk sementara waktu, dia terpaksa bekerja membantu bisnis pribadi yang dikelola keluarganya.
Kendati begitu, Korban DSP tetap tak legawa jika ijazah terus terusan ditahan tanpa penjelasan.
"Saya kesulitan melamar kerja lagi. Karena ijazah ditahan. Karena untuk melamar harus bawa ijazah asli. Ya selama ini, akhirnya saya membantu pekerjaan orangtua yang sampingan-sampingan. Iya merasa dirugikan," ujarnya seusai membuat laporan di depan Gedung Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Mapolda Jatim, pada Senin (21/4/2025).
DSP pun menceritakan siasat UD Sentosa Seal untuk menggaet karyawan.
Dikatakan, informasi lowongan pekerjaan itu ada di media sosial Facebook (FB).
Memang, informasi pada postingan lowongan FB tersebut beredar tidak mencantumkan syarat untuk menyerahkan ijazah sebagai jaminan.
Namun, saat proses interview dengan pihak manajemen, peraturan mengenai adanya penyitaan ijazah sebagai jaminan dari pihak pelamar kerja, baru dibahas secara lisan.
Pihak manajemen berdalih, jaminan tersebut diperlukan guna mengantisipasi adanya praktik curang yang dimungkinkan bakal dilakukan si pelamar kerja tatkala sudah diterima sebagai karyawan.
Seperti, kinerja yang tak sesuai target, dan antisipasi manakala si karyawan tersebut melakukan aksi pencurian barang investaris milik perusahaan.
"Penjelasan ijazah bakal ditahan, itu saat waktu interview. Iya, bilangnya cuma buat jaminan, takutnya mungkin kayak masalah keuangan, takut ada yang mencuri," ungkapnya.
Setelah keluar DSP mencoba meminta kembali ijazahnya ke pihak manajemen.
Manajemen tersebut adalah karyawan yang mengaku sebagai petugas personalia atau human resource development (HRD) perusahaan UD. SS, yang berinisial VO dan HS.
Namun, tetap saja, pihak perusahaan tersebut tidak kunjung mengembalikannya. Bahkan, Korban DSP pernah mendatangi langsung perusahaan tersebut bersama orangtuanya.
Saat dia mencoba menelepon pemilik perusahaan tersebut yakni Jan Hwa Diana.
Permintaannya itu ditolak mentah-mentah oleh pihak Diana tanpa alasan yang jelas.
"Saya sudah menagih ijazah agar dikembalikan. Tadinya enggak ada respon. Saya konfirmasi ke bu bosnya langsung. Iya ke Bu JHD yang viral itu. Saya saat itu coba ngomong baik-baik, sudah saya telpon, saya ke sana sama ayah saya, ternyata di sana enggak ada orangnya," katanya.
"Lalu saya telpon, kemudian setelah telpon, malah saya yang dimaki-maki pakai kata-kata kotor. Saya tanya; masalahnya apa kok gak diberikan. Tambah maki maki saya," pungkasnya.
(Luhur Pambudi)
Klik di sini untuk untuk bergabung