Dalam naskah kuno La Galigo, epos Nusantara terbesar tentang penciptaan manusia, perempuan digambarkan punya dua sisi yang saling bertentangan. Seperti apa penjelasannya?
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -"Setiap lembar naskah kuno adalah cermin dari perjalanan hidup manusia. Meski naskah kuno sudah berusia puluhan, bahkan ratusan, dia bisa menjadi refleksi atas suara dan suara keberadaan manusia, termasuk perempuan."
Begitu ujar Yosua Victor Purba dalam sambutannya mewakili Kepala Pusat Jasa Informasi Perpustakaan dan Pengelolaan Naskah Nusantara Suharyanto dalam acara Kelas Literasi Naskah Nusantara #2: Citra Perempuan dalam Naskah Kuno, Selasa (22/4) kemarin.
Acara tersebut menghadirkan pakar filologi sekaligus dosen FIB Universitas Hasanuddin, Basiah, S.S.,M.A. dan Kurator Keraton Yogyakarta Fajar Wijanarko, S.S. sebagai pembicara. Masing-masing pembicara membawakan tema "Citra Perempuan dalam Naskah La Galigo" dan "Parama Iswari, Perempuan di Keraton Yogyakarta".
Selain membahas tentang asal-usul penciptaan alam semesta dan kehidupan manusia, La Galigo juga banyak membahas tentang perempuan. Banyak tokoh perempuan yang muncul dalam epos Nusantara dari Bugis itu.
Kompas.ID menyebut La Galigo sebagai epos terpanjang di dunia. Epos yang ditulis dalam askara Lontara itu, "Menjadibukti penciptaan dan peradaban Bugis di Sulawesi Selatan sejak ratusan tahun lampau. Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) juga mengakui karya sastra ini dan mencatatnya sebagai bagian ingatan kolektif dunia pada 2011 lalu," tulis mereka.
Tokoh utama dalam La Galigo adalah Sawerigading. Sebelumnya, naskah ini terserak di berbagai tempat dalam bentuk nyanyian, mantra, doa, dongeng, dan lagu pengantar tidur hingga lagu pada sejumlah ritual dan tradisi. Naskah ini terus direproduksi dalam tradisi lisan dari generasi ke generasi.
Dalam berbagai catatan disebutkan, naskah-naskah yang terserak ini dikumpulkan oleh sastrawan Bugis Colliq Pujie bersama seorang Belanda, BF Matthes, pada pertengahan abad ke-19. Masih menurut Kompas.ID, ada 6.000 halaman atau 300.000 baris teks yang berhasil diselamatkan dan diawetkan dan terdiri atas 12 jilid. Ini pula yang membuat La Galigo kemudian menggeser karya sastra dunia, seperti Mahabarata, sebagai naskah sastra terpanjang.
Secara garis besar, La Galigo berkisah tentang penciptaan manusia. Ketika bumi masih kosong, Raja di Langit, La Patiganna,mengadakan rapat keluarga untuk mengutus putra tertuanya, La Toge'langi menjadi raja di bumi dengan gelar Batara Guru.
Sebelum turun ke Batara Guru dinikahkan dengan sepupunya sendiri, putri dari Raja Alam Gaib, dan harus melalui ujian selama 40 hari 40 malam. Setelah itu turun ke bumi di tempat yang dikenal sebagai Ussu', sebuah daerah di Luwu', yang sekarang masuk wilayah Luwu Timur.
Dari pernikahan itu, Batara Guru punya anak bernama La Tiuleng yang kemudian menggantikannya sebagai raja di bumi denga gelar Batara Lattu'. Batara Lattu' kemudian punya anak kembar putra-putri bernama Sawerigading dan We Tenriyabeng yang tidak dibesarkan bersama-sama.
Setelah dewasa, Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng tapi ditolak karena dia adalah kembarannya sendiri. Menurut Basiah, dalam sebuah dialog, We Tenriyabeng memerintahkan Sawerigading berlayar ke Cina untuk menemukan wanita yang mirip dirinya tapi berbeda warna kulitnya.
Sawerigading kemudian meninggalkan Luwu' dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya, Sawerigading, yang digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tangguh, diceritakan mengalahkan beberapa tokoh penting. Dia juga singgah di beberapa tempat di wilayah seperti Taranate, Gima, Jawa Rilau', dan lain sebagainya.
Sesampainya di Cina, Sawerigading menikah dengan seorang putri bernama We Cudai.
Sawerigading kemudian punya anak bernama I La Galigo yang bergelar Datunna Kelling. Seperti ayahnya, I La Galigo juga digambarkan sebagai seorang perantau, kapten kapal, dan perwira yang pilih tanding. Dia punya empat orang istri yang berasal dari berbagai negeri.
Citra perempuan dalam La Galigo
Menurut Basiah, La Galigo menggambarkan perempuan sebagai sosok yang kompleks. "Dia punya citra positif, juga citra negatif," katanya, dalam acara yang dilangsungkan secara daring itu.
Dari empat jilid La Galigo yang sudah terbit, dari 12 jilid, Basiah melihat setidaknya ada tiga citra positif perempuan dalam naskah klasik tersebut. Pertama adalah perempuan sebagai sumber, dia menjadi penyeimbang atau pengendali kekuatan laki-laki. Kedua, perempuan adalah makhluk rasional sehingga apa-apa yang keluar darinya menjadi sesuatu yang bijaksana. Ketiga, perempuan digambarkan melawan stereotipe di mana dia berani menolak jika tidak setuju dan bisa memberi solusi terbaik atas segala masalah yang ada.
Tiga citra positif itu bisa dilihat dari fragmen ketika Patotoe (Sang Pencipta), dalam hal adalah Raja Di Langit La Patiganaa, hendak mengutus Batara Guru sebagai manusia pertama dan raja di bumi.
"Dalam kosmologi Bugis, Patotoe itu berpasangan. Dalam rencananya mengutus Batara Guru sebagai manusia pertama di bumi, Dia berdiskusi dengan istrinya, Datu Palinge, dan tidak mendahulukan egonya sebagai Sang Penguasa. Dia meminta pertimbangan kepada sang istri bagaimana sebaiknya rencana tersebut dilakukan. Dia tidak mau membiarkan bumi kosong melompong tanpa ada yang mengisi. Dia bilang, kebesaran kita di langit tidak akan besar jika tidak ada yang menyembah, maka itu perlu ada yang namanya makhluk di bumi. Dalam hal ini, perempuan dianggap miliki pemahaman dan pemilkiran rasional dan bijaksana dalam mengambil keputusan," jelas Basiah panjang lebar.
Citra positif itu juga tergambar dalam fragmen ketika Sawerigading hendak dan ingin mengawini saudari kembarnya, We Tenribabeng. We Tenriabeng sendiri, dalam naskah La Galigo, dihadirkan sebagai sosok perempuan yang dibekali kecerdasan alami oleh Sang Pencipta, dia juga bijaksana dalam mengambil keputusan, mengimbangi Sawerigading yang cenderung emosional dan egois.
Ketika itu We Tenriabeng memberi nasihat kepada Sawerigading. Begini kira-kira potongan obrolannya:
"Kita tidak boleh melanggar adat, kita tidak boleh melakukan berdasarkan apa yang kita kehendaki ... Jadi bagaimana solusinya, saya ingin mencari istri yang sederajat dengan saya? ... Kalau hanya menginginkan saya karena saya sederajat dan cantik sehingga kamu suka, ada perempuan yang sama denganku di tempat lain, dan itu boleh kamu nikahi karena dia sepupu kamu. Saya tidak ditakdirkan oleh Sang Pencipta untuk menikah denganmu. Yang diinginkan oleh-Nya adalah saudara sepupu di tempat lain, dia bermukim di Cina. Berlayarlah ke sana, dia sama denganku, cuma berbeda warna kulit. [Kami] seperti pinang dibelah dua."
Meski begitu, tambah Basiah, ada juga citra negatif terkait perempuan dalam naskah La Galigo. Basiah juga mencatat ada tiga.
Yang pertama, perempuan sebagai objek seksualitas. "Waktu Batara Guru diturunkan ke bumi, dia disertai oleh para pelayan yang dijadikan selir yang bertugas menghibur Batara Guru supaya betah hidup di bumi, tidak kesepian, sembari menunggu datangnya sang permaisuri dari dunia bawah," ujarnya.
Kedua dan ketiga, perempuan sebagai sosok yang menguasai urusan domestik saja dan sosok yang mudah ditaklukkan. Dalam teks La Galigo, perempuan disebut dengan mutia simpeng alias mutiara bilik.
"Mereka tidak diizinkan keluar dari sekat tengah dalam kesehariannya, cuma pada waktu-waktu tertentu: jika laki-laki tidak ada di rumah atau ketika ada hajatan di mana dia bertindak sebagai pelayan," jelas Basiah.
Basiah kemudian menarik kesimpulan bahwadalam hal ini, dalam konsteks keseteraan, perempuan dicitrakan negatif. Dia digambarkan sebagai sosok yang tidak punya kekuatan dan hanya boleh tundur pada aturan yang berlaku. "Jadi, urusan di luar rumah adalah urusan laki-laki, sedangkan urusan dalam rumah milik perempuan," jelasnya lagi.