Anggota Komisi I DPRRI, Abraham Sridjaja, menegaskan pentingnya penghormatan terhadap supremasi hukum terkait penggerebekan komplotan penipu online (Passobis) di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, pada 24 April 2025.
Penggerebekan yang dilakukan oleh Timsus Gabungan dari Sinteldam XIV/Hasanuddin, Deninteldam XIV/Hasanuddin, dan Intelrem 141/Toddopuli itu berhasil mengamankan 40 orang tersangka serta sejumlah barang bukti.
Abraham mengatakan bahwa menjaga kehormatan dan nama baik institusi negara adalah kewajiban bersama.
Namun, dalam negara hukum, ia menekankan bahwa pemberantasan kejahatan, khususnya yang melibatkan warga sipil, harus tetap berjalan dalam koridor hukum yang berlaku.
“Dalam kasus ini, saya menghargai semangat dan kesigapan aparat dalam bertindak. Namun, kita juga harus mengingat bahwa sesuai UndangUndang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI maupun RUU TNI yang kemarin kami sahkan di DPR, tugas TNI bukanlah melakukan penegakan hukum terhadap masyarakat sipil. Fungsi penegakan hukum berada di bawah kewenangan Polri,” kata Abraham Sridjaja dalam keterangannya di Jakarta.
Abraham menyatakan bahwa setiap tindakan terhadap warga sipil, seperti penggerebekan dan penahanan, harus dilakukan melalui aparat yang secara sah memiliki kewenangan dalam sistem peradilan pidana, yaitu Kepolisian.
Ia mengingatkan bahwa keterlibatan langsung TNI tanpa adanya koordinasi resmi dengan Polri berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap prinsip due process of law dan hak asasi manusia.
“TNI adalah kekuatan pertahanan negara yang profesional. Supremasi hukum harus tetap menjadi landasan dalam setiap tindakan, terlebih bila menyangkut warga sipil. Ini bukan semata soal teknis operasi, tetapi soal penghormatan terhadap konstitusi dan demokrasi,” tegas Abraham.
Lebih lanjut, Abraham meminta agar seluruh proses hukum terhadap 40 orang yang diamankan segera dilimpahkan ke Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan untuk diproses sesuai hukum acara pidana.
Ia juga mendorong Panglima TNI untuk melakukan evaluasi internal terkait prosedur operasi intelijen di ranah sipil, agar ke depan keterlibatan TNI tetap dalam kerangka yang sah dan terkoordinasi.
Menurut Abraham, langkah ini penting untuk mencegah tumpang tindih kewenangan antara TNI dan Polri serta menjaga kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Ia menilai bahwa kolaborasi yang tepat antara TNI dan Polri dalam menghadapi kejahatan berbasis siber akan memperkuat keamanan nasional tanpa mengorbankan prinsipprinsip negara hukum.
“Komisi I DPRRI akan mendalami kejadian ini melalui fungsi pengawasan yang melekat. Kami akan meminta klarifikasi resmi dari pihak TNI dalam forum rapat kerja, untuk memastikan seluruh tindakan tetap berjalan dalam koridor hukum yang jelas,” ungkap Abraham.
Selain itu, Abraham menekankan bahwa pemberantasan kejahatan siber memang menjadi tantangan serius di era digital saat ini.
Oleh karena itu, ia mendorong adanya peningkatan kerja sama antarlembaga negara, diiringi dengan penyusunan prosedur operasi standar yang lebih ketat, sehingga penanganan kejahatan siber tetap menghormati batasan konstitusional antara pertahanan dan penegakan hukum.
“Kita semua memiliki komitmen yang sama untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Namun, cara kita menegakkan hukum sama pentingnya dengan tujuan yang ingin dicapai. Dalam negara demokrasi, hukum harus menjadi panglima tertinggi,” tutup Abraham.