TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA –>Pemerintah terus menggenjot hilirisasi ekspor sarang burung walet (SBW) guna mendorong industrialisasi sektor unggulan dan meningkatkan nilai tambah bagi perekonomian nasional. Langkah ini diyakini akan membawa dampak langsung bagi kesejahteraan masyarakat di berbagai lini.
Hal tersebut ditegaskan Kepala Badan Karantina Indonesia, Dr. Sahat Manaor Panggabean, dalam Lokakarya Nasional bertajuk Memperkuat Hilirisasi Ekspor Sarang Burung Walet (SBW) yang berlangsung di Auditorium Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (Fapet UGM), Sabtu (26/4/2025).
Menurut Sahat, hilirisasi bukan sekadar proses awal pengolahan, tetapi merupakan jembatan menuju pembangunan industri berbasis komoditas lokal.
“Kami ingin masyarakat terlibat aktif, mulai dari petani tambak, pelaku usaha kecil, hingga komunitas lokal. Dengan begitu, dampak ekonominya bisa dirasakan luas oleh berbagai lapisan,” ujarnya.
Hingga saat ini, ekspor SBW Indonesia didominasi oleh permintaan dari Hongkong, diikuti China dan Vietnam. Ia menyebutkan, 49 perusahaan pengolahan SBW yang aktif mengekspor ke China telah membuka peluang kerja bagi sekitar 24.400 orang, belum termasuk tenaga kerja tidak langsung.
Senada, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, Dr. Drh. Agung Suganda, M.Si., menekankan besarnya potensi Indonesia dalam industri SBW.
“Lebih dari 75 persen produksi SBW dunia berasal dari Indonesia. Namun, permintaan pasar global masih belum sepenuhnya terpenuhi. Ini peluang besar yang harus kita manfaatkan,” jelasnya.
Ia memaparkan, ekspor SBW periode 2020–2024 mencatat pertumbuhan nilai sebesar 4,24 persen, meski dari sisi volume hanya naik 0,63 persen. Sayangnya, pada tahun 2024, terjadi penurunan ekspor akibat turunnya permintaan dari China hingga 12,7 persen.
Untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah telah menggulirkan sejumlah strategi, seperti diplomasi perdagangan dengan Tiongkok, penguatan sistem registrasi rumah walet, regulasi ekspor yang lebih ketat, serta insentif fiskal berupa pemangkasan pajak daerah bagi pelaku usaha ekspor SBW.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Peternak Pedagang Sarang Walet Indonesia, Dr. Ach Wahyuddin Husein, menyampaikan keluhan terkait regulasi ekspor SBW yang dinilai belum cukup mendukung pelaku UMKM.
“Sesuai protokol impor China, hanya SBW premium yang bisa masuk. Padahal dari produksi nasional sekitar 1.500 ton, hanya 500 ton yang bisa memenuhi standar. Ini harus jadi perhatian bersama,” tegasnya.
Dekan Fapet UGM, Prof. Ir. Budi Guntoro, S.Pt., M.Sc., Ph.D., IPU., ASEAN Eng., menegaskan kesiapan akademisi untuk mendukung hilirisasi SBW. Menurutnya, perguruan tinggi memiliki sumber daya manusia dan infrastruktur untuk mendorong pengembangan produk turunan SBW yang berdaya saing.
“Dengan hilirisasi yang optimal, kita berharap lebih banyak produk turunan SBW tidak hanya diekspor, tetapi juga dinikmati masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Dalam forum tersebut juga, dilakukan penandatanganan nota kesepahaman antara Fapet UGM dan Asosiasi Peternak Pedagang Sarang Walet Indonesia sebagai bentuk sinergi akademisi dan pelaku usaha dalam mengembangkan industri SBW ke arah yang lebih maju. (*)