Hadapi Gempuran Algoritma Global, IDCI Nilai Indonesia Perlu Kedaulatan Pikiran
Wahyu Aji April 27, 2025 06:09 PM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Laporan Digital 2025 Global Overview Report yang dirilis oleh We Are Social dan Meltwater pada Februari 2025 mencatat bahwa masyarakat Indonesia menghabiskan rata-rata 7 jam 22 menit per hari di internet. 

Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-17 dunia dan termasuk dalam lima besar tertinggi di Asia Tenggara.

Sebagai pembanding, negara-negara maju seperti Amerika Serikat (6 jam 40 menit), Inggris (5 jam 36 menit), Jerman (5 jam 28 menit), Korea Selatan (5 jam 22 menit), dan Jepang (4 jam 09 menit) memiliki durasi paparan internet harian yang jauh lebih rendah.

“Proporsi waktu kita di ruang siber kini hampir seimbang dengan waktu tidur dan hidup di dunia fisik. Ini bukan hanya perubahan gaya hidup, tapi juga pembentukan ruang kesadaran baru, ruang pikir, ruang identitas, dan ruang interaksi,” ujar peneliti Indonesia Digital Cyber Institute (IDCI), Taufiq A Gani, melalui keterangan tertulis, Minggu (27/4/2025).

Menurut IDCI, tingginya keterpaparan digital masyarakat Indonesia tidak diimbangi dengan sistem proteksi kesadaran kolektif. 

Ketika opini publik dibentuk oleh algoritma yang dirancang berdasarkan logika keterlibatan dan keuntungan, maka ruang kesadaran bangsa dapat dengan mudah dikendalikan oleh pihak luar.

"Kita terlalu lama berkutat pada pengamanan data dan infrastruktur. Sementara arsitektur berpikir masyarakat tengah digiring oleh sistem yang tak kita rancang, tak kita kendalikan,” kata Taufiq.

Sejumlah kajian independen, termasuk tulisan Asma Mir di platform Medium (How Social Media Algorithms Shape Our Reality), mengungkap bahwa algoritma media sosial kini telah menjadi arsitek realitas pribadi. 

Dengan menyaring konten berdasarkan preferensi dan emosi pengguna, algoritma menciptakan ruang gema digital (echo chamber) yang memperkuat bias, memicu polarisasi, dan mempercepat penyebaran disinformasi.

"Konten provokatif dan emosional cenderung lebih viral dibandingkan konten faktual. Inilah yang menciptakan ketimpangan informasi dan kesan palsu bahwa semua orang berpikir seperti kita,” tulis Mir.

IDCI menilai bahwa dominasi semacam ini mengancam keragaman berpikir, memperlemah kemampuan masyarakat untuk berdialog lintas pandangan, dan pada akhirnya dapat melemahkan fondasi demokrasi serta kohesi sosial.

IDCI menekankan bahwa pendekatan literasi digital saat ini masih terlalu teknis dan sektoral. 

Literasi bukan sekadar kemampuan mengakses informasi, tetapi kemampuan membangun sistem imun berpikir kolektif. 

Sehingga perlu doktrin kebangsaan yang menempatkan kesadaran publik sebagai wilayah strategis yang harus dijaga.

"Ini bukan sekadar soal literasi, tapi soal kedaulatan. Bangsa yang tidak mampu mengelola cara berpikirnya akan mudah diarahkan oleh narasi yang dibentuk di luar dirinya," kata Taufiq.

IDCI mengusulkan empat pilar utama untuk membangun sistem pertahanan kognitif bangsa yakni kapasitas naratif nasional, infrastruktur konten strategis, regulasi arsitektur algoritma, dan lembaga pemantau kesadaran publik. 

Taufiq mengatakan perlu membangun kemampuan bangsa untuk menyusun dan menyebarluaskan narasi tentang dirinya secara utuh, jujur, dan bermartabat.

Lalu memperkuat ekosistem media, budaya, dan edukasi digital yang mampu membentuk kesadaran kritis dan identitas kebangsaan.

Negara, menurut Taufiq, harus hadir dalam tata kelola sistem distribusi informasi agar tidak sepenuhnya dikendalikan oleh logika pasar dan kepentingan asing.

Serta membangun sistem pemantauan terhadap arah opini publik, polarisasi, dan disinformasi sebagai bagian dari sistem pertahanan nasional.

“Kedaulatan sejati adalah ketika bangsa ini mampu berpikir dengan cara sendiri. Dalam era digital, mempertahankan pikiran adalah bentuk tertinggi dari mempertahankan kemerdekaan,” pungkas Taufiq.

Indonesia Digital Cyber Institute (IDCI) menyerukan agar seluruh elemen bangsa bersatu membangun kesadaran bersama.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.