Sukses Haruskah Ikut Edan?
Edi Nugroho April 28, 2025 08:31 AM

Mujiburrahman

Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin

KETIKA masih usia kanak-kanak dan belajar di madrasah, salah satu pepatah Arab yang kita pelajari adalah man jadda wajada (siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan mendapatkan apa yang dicita-citakannya). Setelah usia kita memasuki 30, apalagi 50 tahun, kita dapat melihat bukti kebenaran pepatah ini dalam hidup kita sendiri dan orang-orang yang kita kenal. Yang malas, yang suka jalan pintas, umumnya gagal dalam hidupnya. Sebaliknya, yang rajin dan bekerja keras, hidupnya sukses.

Semakin tua, semakin banyak pula kita menyaksikan orang yang sungguh-sungguh berjuang meraih sesuatu yang diinginkannya hingga berhasil, tetapi dengan menghalalkan segala cara. Ada yang menyogok untuk bisa mendapatkan pekerjaan atau jabatan. Ada yang tak segan memfitnah, mengadu-domba, menipu, hingga mencelakai orang lain demi mendapatkan yang diinginkannya. Dalam dunia kita yang dipimpin oleh “keuangan yang maha kuasa”, cukup banyak orang berhasil meraih apa yang diinginkan karena mereka sanggup membelinya dengan uang.

Orang baik, yang ingin berjalan di jalan yang lurus, sesuai garis hukum dan moral agama, mungkin akan diterpa keraguan, saat menyaksikan mereka yang tampak sukses dengan cara-cara tidak baik itu. “Tidakkah sebaiknya aku ikut dalam permainan ini agar berhasil seperti mereka?” katanya dalam hati. Apalagi, gemerlap dunia saat ini memang semakin menggoda. Kita semakin didorong untuk menambah keinginan demi keinginan yang dibungkus dalam kemasan kebutuhan. Nafsu ingin memiliki dan menggunakan rupa-rupa barang dan jasa semakin dikobarkan. Sungguh berat!

Di sinilah pepatah lain, yang juga kita pelajari sejak belia, yaitu “siapa yang menabur, akan menuai” menjadi relevan sekaligus menuntut untuk dibuktikan. Adakah bukti bahwa kebaikan yang ditabur memang akan menumbuhkan kebaikan, dan kejahatan yang ditabur akan melahirkan penderitaan? Jika rumus ini ternyata tidak terbukti dalam kenyataan, atau kita meragukannya, maka kita akan mudah ikut-ikutan menjadi edan. Sebaliknya, jika kita berhasil menemukan bukti-bukti nyata dalam pengalaman hidup, maka keyakinan kita akan kebenaran hukum moral ini akan semakin mantap.

Bagi kaum ateis dan agnostik, bukti kebenaran dan kepalsuan hukum moral itu harus hadir di dunia ini, karena mereka tidak percaya atau sangat ragu akan adanya kehidupan sesudah mati. Karena itu, bagi mereka, hukum moral itu lebih nyata dan terbukti kebenarannya pada kehidupan publik, yakni kehidupan bermasyarakat ketimbang pribadi. Jika yang dominan dalam satu masyarakat adalah orang-orang jujur dan baik, maka masyarakat itu akan makmur dan sejahtera. Sebaliknya, jika yang dominan adalah orang-orang culas dan jahat, maka masyarakat itu akan timpang dan sengsara.

Sebaliknya, kaum beriman percaya bahwa kebaikan akan berbuah kebahagiaan, dan kejahatan akan berbuah penderitaan, baik pada level individu ataupun masyarakat, di dunia ini ataupun sesudah mati. Keimanan ini memberikan sudut pandang yang lebih luas, sehingga dapat menjawab sejumlah misteri hidup manusia. Mengapa ada orang baik, jujur, bertanggung jawab, dan bekerja keras, tetapi tampak kariernya tidak lancar, penghasilannya tidak melimpah, sementara ada orang yang culas dan jahat tampak berhasil dan berjaya? Apakah keadilan hanyalah impian kosong belaka?

Dalam tradisi Hindu-Budha, ada kebercayaan tentang hukum karma, yakni hukum tentang akibat perbuatan yang kita lakukan, baik atau buruk. Tak seorang pun bisa menghindar dari hukum karma ini. Menurut sosiolog klasik, Max Weber, hukum karma itu dipercaya berlaku nyaris mekanik. Akibat perbuatan itu bisa muncul dalam kehidupan sekarang, bisa pula dalam kehidupan berikutnya. Keyakinan akan hukum karma ini memberikan penghiburan bagi orang-orang yang terzalimi, dan membentangkan harapan bagi orang-orang yang ingin konsisten dalam berbuat baik.

Dalam tradisi Islam, prinsip moral bahwa baik dibalas bahagia, dan jahat dibalas siksa, juga sangat kuat. Namun, Al-Qur’an juga menyatakan bahwa satu kebaikan bisa dibalas sepuluh, seratus hingga tujuh ratus kali lipat, sementara kejahatan hanya akan dibalas setimpal. Mengapa? Mungkin karena dalam Islam ada doktrin tentang fitrah, yakni asal mula kejadian manusia yang dibawanya sejak lahir. Fitrah itu aslinya suci dan baik. Ketika berbuat baik, manusia mengikuti fitrahnya yang baik, sehingga kebaikan itu berlipat ganda, tetapi ketika dia berbuat jahat, dia justru menyangkal fitrahnya sendiri.

Bagaimana dengan orang jahat yang tampak jaya dan sukses? Karena kejahatan adalah penyangkalan terhadap hakikat diri sendiri, maka sebelum menimbulkan akibat buruk di masyarakat, kejahatan itu telah melukai diri si pelaku. Rasa sesal, bersalah dan gelisah, adalah tanda psikologis dari dosa. Tuhan biasanya mengirimkan sinyal-sinyal teguran sebagai tanda kasih-Nya. Entah itu musibah atas dirinya atau keluarganya, atau rongrongan dari orang lain. Namun, jika si pelaku tak sadar-sadar juga, maka sinyal-sinyal itu akan lenyap, menjadi bom waktu yang meledak pada saat yang dikehendaki-Nya.

“Tuhan akan menolong hamba-Nya, selama si hamba menolong saudaranya,”  kata Nabi. Ini juga hukum sebab-akibat perbuatan. Jika kita ikhlas berbuat baik pada orang lain, maka Tuhan akan memberikan kebaikan kepada kita, meskipun (biasanya) tidak langsung melalui orang yang menerima kebaikan itu. Jika kita bekerja sangat baik, melebihi tanggungjawab kita, maka Tuhan akan “membayar” kelebihannya. Misalnya, gaji yang kita terima hanya Rp 3 juta, tetapi Tuhan memberi kita rezeki tak disangka, anak kita mendapat beasiswa, kita selalu sehat, atau kebaikan lainnya.

Alhasil, keadilan semesta, yang bagi kaum beriman tiada lain daripada wujud keadilan Tuhan, adalah hukum keseimbangan yang berlaku pada semua sisi kehidupan, yang mencakup jasmani dan ruhani, pribadi dan masyarakat, dunia dan akhirat. Kita kadangkala ragu akan hal ini karena jangankan perihal alam ruhani dan kehidupan sesudah mati, kehidupan nyata-inderawi alam semesta ini saja masih sangat banyak yang belum kita ketahui dan pahami. Di sinilah diperlukan iman, tetapi bukan iman yang buta tanpa nalar dan pembuktian.

Iman harus diiringi dengan amal saleh, yakni perbuatan yang sejalan dengan iman itu sendiri. Iman mungkin bermula dari pemahaman, tetapi keyakinan akan tumbuh melalui pengalaman hidup. Seperti kata pepatah Melayu: “Lama hidup, banyak yang dirasa. Jauh berjalan, banyak yang dilihat”. (*)

 

Orang baik, yang ingin berjalan di jalan yang lurus, sesuai garis hukum dan moral agama, mungkin akan diterpa keraguan, saat menyaksikan mereka yang tampak sukses dengan cara-cara tidak baik itu. “Tidakkah sebaiknya aku ikut dalam permainan ini agar berhasil seperti mereka?” katanya dalam hati. Apalagi, gemerlap dunia saat ini memang semakin menggoda. Kita semakin didorong untuk menambah keinginan demi keinginan yang dibungkus dalam kemasan kebutuhan.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.