Sekolah Rakyat di Tengah Ketimpangan Pendidikan di Daerah 3T
KASMAN RENYAAN April 28, 2025 12:20 PM
Peluncuran Program Sekolah Rakyat (SR), gagasan Presiden Prabowo Subianto yang dikelola Kementerian Sosial, digadang-gadang menjadi jawaban atas ketimpangan pendidikan di Indonesia.
Mulai tahun ajaran 2025/2026, SR membuka pendaftaran siswa baru dengan konsep yang menggoda: pendidikan gratis, fasilitas lengkap, sistem berasrama penuh, serta beasiswa untuk memutus rantai kemiskinan. Sebuah cahaya baru yang diharapkan bisa menerobos gelapnya akses pendidikan bagi anak-anak keluarga miskin dan miskin ekstrem.
Namun di balik optimisme itu, jejak ketimpangan baru perlahan menampakkan diri. Seolah berlomba, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) memperkenalkan 12 SMA/MA Unggul Garuda Transformasi di 11 provinsi, dari Sumatra hingga Papua, sebagaimana dilansir Kompas.com (19 April 2025).
Dengan mengadopsi kurikulum International Baccalaureate (IB), sekolah-sekolah ini mengangkat standar pendidikan global. Sayangnya, sekolah-sekolah ungulan seperti sebelumnya, lebih banyak akan dinikmati kalangan terbatas. Alih-alih mempersempit jurang ketimpangan, langkah ini justru berpotensi memperlebar kesenjangan akses pendidikan nasional.
Di sisi lain, lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama memperkenalkan Kurikulum Cinta, sementara SR dan sekolah di bawah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Disasmen) mengusung konsep deep learning. Jika disatukan, pendekatan ini berambisi membentuk model pendidikan “cinta yang mendalam” idealisme luhur yang layak diapresiasi.
Namun, di tengah riuh program-program baru ini, akankah semua anak Indonesia, dari kota hingga pelosok, benar-benar merasakan manfaatnya? Atau ketimpangan justru kian menganga di era baru ini?
Seperti banyak kebijakan berbasis niat baik dari pusat kekuasaan, tantangan terbesar justru terletak pada realitas di lapangan. Apakah SR akan sungguh menyentuh akar persoalan pendidikan di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar)? Ataukah sekadar menjadi proyek prestisius, lebih indah di atas kertas ketimbang di dunia nyata?
Perbesar
Siswa SMA Muhammadiyah Missa, Dusun Missa, Desa Haya, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, mengikuti awal proses belajar mengajar semester genap tahun pelajaran 2024/2025, pada Senin, 13 Januari 2025. Sumber foto : FB SMAMUHAMMADIYAHMISSA
Pemerintah menyatakan bahwa Program SR akan menyasar keluarga dalam desil 1, kategori termiskin, berdasarkan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). Namun, jika kita melihat ke pelosok-pelosok negeri, narasi ini terasa seperti mimpi yang jauh dari kenyataan.
Di banyak daerah 3T, "sekolah rakyat" justru lahir dari perjuangan masyarakat setempat, bukan hasil intervensi negara. Bangunan seadanya, guru tanpa honor tetap, fasilitas yang sangat terbatas—itulah potret pendidikan sehari-hari di sana.
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) memang tersedia, namun jumlahnya sangat bergantung pada jumlah siswa, yang sering kali tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar. Dana BOS tidak diperuntukkan untuk membangun ruang kelas belajar (RKB), dan meskipun digunakan untuk memperbaiki ruang yang ada, jumlahnya tetap tidak mencukupi.
Selain itu, untuk melengkapi fasilitas pembelajaran dan memenuhi kesejahteraan guru, hanya maksimal 60% dari total anggaran yang diterima yang dapat dialokasikan. Jika seluruh dana BOS digunakan untuk honor, tentu saja jumlahnya tidak akan cukup untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut, apalagi jika jumlah siswa sedikit. Dalam kondisi ini, kebutuhan untuk memperbaiki proses pembelajaran semakin mendesak.
Perbesar
SMA Muhammadiyah Missa memiliki enam tenaga pendidik non-PNS (honorer) dan satu kepala sekolah berstatus PNS. Terlihat siswa dan guru sedang melaksanakan proses pembelajaran. Sumber foto: FB SMA Muhammadiyah Missa.
Masa depan guru-guru honorer di sekolah swasta pun semakin suram, dengan harapan untuk menjadi ASN atau P3K yang semakin menjauh. Lebih ironis lagi, tunjangan daerah terpencil di sejumlah wilayah 3T, yang dulunya menjadi penopang kehidupan para guru, kini banyak dicabut akibat perubahan administratif status desa.
Anggota DPRD Kabupaten Seram Bagian Barat, Arif Pamana, mengungkapkan dalam wawancara dengan media lokal trenstv45.com pada 23 April 2025, bahwa banyak guru di pulau-pulau kecil seperti Kelang, Manipa, dan Buano kini kehilangan hak mereka atas tunjangan daerah terpencil.
Padahal, medan berat, gelombang laut ganas, serta keterbatasan listrik dan infrastruktur tetap menjadi keseharian mereka. Jalan rusak, sinyal hilang, listrik yang hanya menyala enam jam sehari — semua itu masih nyata, meski di atas kertas desa mereka disebut "berkembang" atau "mandiri." Di mana letak keadilan ketika beban berat tetap dipikul, namun hak atas tunjangan dihapus?
Di kota-kota besar, sekolah-sekolah swasta berasrama dipersepsikan sebagai pesaing negara dalam layanan pendidikan. Atas subjektivitas itulah, lahir gagasan Sekolah Rakyat, dan sekolah Unggulan serta sekolah negeri yang bisasnya mendapat perhatian lebih dari pemerintah.
Namun peluncuran ketiga model sekolah ini sesungguhnya menyimpan ironi tersendiri.
Bahkan hadir justru saat prioritas nasional bergeser: dari janji Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dielu-elukan saat kampanye, kini berganti menjadi pembangunan perumahan rakyat. Pergeseran ini ditegaskan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Fahri Hamzah, dalam acara APERSI (Tempo, 21 April 2025).
Muncul kecurigaan di tengah public, apakah SR dan Sekolah unggulan sungguh menjadi proyek perubahan pendidikan? Atau sekadar bagian dari reposisi politik dan upaya pencitraan di era pemerintahan baru?
Di pelosok negeri, sekolah-sekolah sederhana berdiri di atas panggilan nurani masyarakat. Beratap rumbia, berdinding papan, tanpa dukungan berarti dari negara. Ironisnya, sekolah-sekolah ini justru berhasil: menghasilkan aparat negara, pegawai pemerintahan, hingga pejabat publik. Bukti nyata bahwa keterbatasan fisik tak menghalangi lahirnya generasi emas bangsa.
Perbesar
Tampak siswa SMA Muhammadiyah Missa, sedang melaksanakan senam pagi pada hari Jum'at, 17 Januari 2025. Sumber Foto : BF SMAMUHAMMADIYAHMISSA.
Target pemerintah membangun 53 unit Sekolah Rakyat (SR) dalam tiga bulan memang terdengar ambisius. Namun, siapa yang akan memperjuangkan nasib ribuan sekolah berbilik papan, yang atapnya bocor saat hujan dan jauh dari standar ruang belajar yang layak? Akankah mereka terus menjadi monumen ketidakpedulian, terabaikan di tengah gemuruh proyek-proyek prestisius?
Pendidikan di daerah 3T menuntut perhatian yang lebih serius. Di sana, anak-anak bangsa bermimpi tentang pendidikan yang layak. Tentang jalan yang mulus, listrik yang stabil, akses internet yang memadai, tunjangan guru yang adil, dan distribusi tenaga pendidik yang merata.
Tanpa perbaikan fundamental ini, semua gagasan besar hanya akan menjadi fatamorgana: tampak menjanjikan dari kejauhan, namun menghilang saat didekati.
Tetapi, tanpa pemahaman mendalam terhadap realitas lokal, tanpa kemitraan erat dengan masyarakat, dan tanpa komitmen politik yang tulus, SR hanya akan menjadi narasi indah yang tak pernah benar-benar mengakar di pelosok negeri.
Pendidikan tidak bisa dibangun dengan pola "ganti presiden, ganti sistem; ganti menteri, ganti kebijakan." Pertanyaannya sekarang: Akankah Sekolah Rakyat bertahan dan mengakar, atau hanya menjadi catatan lain dalam sejarah program pendidikan yang redup diterpa politik lima tahunan? Pendidikan harus menjadi hak merata bagi semua anak bangsa, bukan sekadar proyek prestisius yang hanya menjangkau wilayah maju.
"Sebagai simbol harapan, Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan mungkin terlihat menjanjikan. Namun, kenyataannya kebijakan pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah pusat masih terjebak dalam ketimpangan yang mendalam. Di tengah kemajuan yang terjadi di pusat, anak-anak di daerah pelosok 3T masih menghadapi kekurangan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai.
Solusi yang sesungguhnya tidak hanya terletak pada pendirian sekolah baru, melainkan memastikan bahwa setiap anak, di manapun mereka berada, mendapatkan pendidikan yang layak. Tanpa langkah nyata ini, semua inisiatif pendidikan tersebut hanya akan tetap menjadi sebuah ilusi dan sekedar Omon-omon.