Pemakaian Nomenklatur “Kapanewon” seperti Panggilan Nyaring dari Masa Lalu
Mohamad Jokomono April 28, 2025 12:20 PM
Yogyakarta memang sungguh istimewa. Penetapan keistimewaannya berdasarkan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2012. Salah satunya terwujud dalam bidang kelembagaan pemerintah daerah. Wilayah yang dahulu menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Islam itu tak habis-habisnya memantik perhatian.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mempunyai struktur pemerintahan yang lain daripada yang lain. Hal itu tampak nyata teraksentuasi dengan keberadaan Paniradya. Ia merupakan Badan Pembantu Gubernur dalam urusan keistimewaan itu. Dengan demikian, potensi keistimewaan itu betul-betul terkedapan secara maksimal dan terealisasi dengan bijaksana.
Akar keistimewaan itu berangkat dari panggilan sejarah dan budaya. Tidak lepas dari kedekatan masa lalu DIY dengan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Keterlibatan intens keduanya, menyebabkan tata cara pengangkatan gubernur dan wakilnya berbeda dari provinsi-provinsi lain di Tanah Air.
Begitulah dari Undang Undang Nomor 13 Tahun 2012 kemudian dioperasikan dalam Peraturan Gubernur DIY Nomor 25 Tahun 2019 tentang Perubahan Nomenklatur Pembagian Administratif di DIY. Realisasi Peraturan Gubernur ini di lapangan dimulai pada 2020.
Ilustrasi Jogja dari Shutterstock.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Jogja dari Shutterstock.
Kecamatan Menjadi Kapanewon
Salah satu perubahan nomenklatur yang paling nyaring akan panggilan masa lalunya adalah perubahan nama lembaga pemerintah daerah, dari kecamatan menjadi kapanewon. Sesuai dengan nama kelembagaannya, panewu menjadi pejabat yang menjadi orang nomor satu di kapanewon.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi VI Dalam Jaringan memasukkan entri “pa.ne.wu”. Dan, memberinya keterangan “pejabat administrasi setingkat camat”. Adapun salah satu arti “ad.mi.nis.tra.si” mengacu pada artian “kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan”.
Jabatan panewu sesungguhnya telah ada dan pernah mewarnai sistem pemerintahan di Kerajaan Mataram Islam. Pada masa itu, dalam hierarkinya panewu bertanggung jawab langsung kepada kaliwon sebagai atasan satu tingkat. Terus ke atas bupati wadana, lalu bupati nayaka. Puncaknya patih yang bertanggung jawab langsung kepada sultan.
Hierarki ke bawah setelah panewu, ada mantri. Lalu lurah. Kemudian bekel. Terendah jajar. Kepada merekalah, alur perintah bergerak. Panewu mendapat perintah langsung dari kaliwon. Dan, kaliwon pada substansinya hanya meneruskan instruksi dari pejabat-pejabat yang lebih tinggi darinya. Sumber utama berasal dari instruksi itu dari patih yang menerima langsung titah raja Mataram.
Kemudian, panewu meneruskan amanah perintah itu. Biasanya berupa kebijakan demi peningkatan kesejahteraan para kawula kerajaan. Dia meneruskan instruksi itu kepada para lurah yang berada di wilayah kewenangannya. Para lurah pun meneruskannya kepada para bekel masing-masing. Jabatan bekel ini setara dengan ketua rukun warga (RW) di masa sekarang. Seterusnya, para bekel menginformasikan kepada para lajar (ketua rukun tetangga [RT]) masing-masing. Dan, kebijakan raja pun menemukan ranah implementasi demi kemaslahatan segenap kawula kerajaan.
Di DIY masa kini, jabatan panewu di kapanewon, berlaku di wilayah administrasi kabupaten. Dalam hal ini, berlaku di Pemerintah Kabupaten Bantul, Gunungkidul, Kulonprogo, dan Sleman. Adapun jabatan sekretaris camat disebut panewu anom.
Sementara itu, kecamatan yang berada di Pemerintah Kota Yogyakarta, bukan kapanewon sebutannya melainkan kemantren. Dipimpin oleh mantri pamong praja. Sekretarisnya disebut mantri anom. Istilah-istilah penyebutan ini boleh dikatakan sangat karib kosakata bahasa daerah setempat.
Salah satu adegan dalam seni pertunjukan tradisional ketoprak. (Sumber Foto: Budaya Jogja)
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu adegan dalam seni pertunjukan tradisional ketoprak. (Sumber Foto: Budaya Jogja)
Panewu dalam Lakon Ketoprak
Bukti lain, bahwa jabatan panewu memang datang dari masa lalu, adalah keberadaannya dalam lakon-lakon seni pertunjukan tradisional ketoprak. Adapun ketoprak ini diperkirakan pertama kali dipanggungkan sekitar tahun 1880-an.
Contoh lakon ketoprak yang melibatkan panewu, yaitu Babad Pati Seri Yuyu Rumpung. Lakon ini menceritakan tentang karakter Panewu Sukmayana. Pasukannya terlibat dalam konflik bersenjata dengan Pasukan Paranggaruda di bawah pimpinan Yuyu Rumpung.
Konflik itu terjadi, karena Panewu Sukmayana berusaha melindungi Dalang Sapanyana dan Ruyung Wulan. Sementara itu, Yuyu Rumpung berkepentingan untuk menangkap kedua karakter tersebut. Begitulah Panewu Sukmayana dan Yuyu Rumpung beserta pasukan masing-masing, mengadu kekuatan dalam kancah peperangan.
Sayang sekali, Panewu Sukmayana yang setia dan pemberani itu akhirnya gugur dalam pertempuran yang berlangsung sengit. Perlawanan pun dilanjutkan oleh Kembang Jaya. Dia pun terus meradang dengan senjata andalannya keris Rambut Pinutung dan kuluk Kanigoro guna membuat kocar-kacir pasukan Paranggaruda.
Dalam lakon lain, yakni Patih Gandung Melati, ada pula karakter panewu dengan kualitas kriteria sebagai pengasuh setia dan bijaksana serta berperan penting dalam proses penjagaan seorang putra mahkota. Selain itu, sisi pendidikan yang mengedepan teladan sikap terpuji dan memperkaya aspek pengetahuan calon pewaris takhta, juga tidak luput dari kiprah perannya. Panewu ini adalah kepercayaan dan sahabat Patih Gadung Melati, sehingga mendapat tugas yang sangat penting tersebut.
Desa Menjadi Kalurahan
Belum ada bukti sejarah yang menguatkan penyebutan “kalurahan” itu sudah ada penggunaan secara resmi pada masa Kerajaan Mataram Islam. Akan tetapi, lebih sering dikaitkan dengan masa kolonial. Meski demikian, boleh dibilang masih ada pula panggilan (meski tidak senyaring kapanewon dengan panewunya) dari masa lalu.
Istilah pemerintahan “kalurahan” (huruf kedua vokal /a/) agaknya lebih tua daripada “kelurahan” (huruf kedua vokal /e/). Sebab, sebutan “kelurahan” lebih sering terdengar setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Ia menjadi lebih formal dan konsisten serta lazim penggunaannya. Dalam hal ini terkait dengan sistem administrasi di wilayah pemerintah kota.
Di DIY, mulai tahun 2020 desa-desa di wilayah kabupaten berubah nomenklatur menjadi “kalurahan” (huruf kedua vokal /a/). Kepala desa disebut lurah dan sekretaris desa disebut carik. Dengan catatan, khusus di Kabupaten Kulonprogo, nomenklaturnya tetap “kelurahan” (huruf kedua vokal /e/). Namun, untuk jabatan sekretaris desa disebut carik juga.
Sementara itu, untuk Pemerintah Kota Yogyakarta, penyebutannya tidak berubah. Nomenklatur yang resmi diberlakukan tetap “kelurahan” (huruf kedua dengan vokal /e/). Tidak berlaku istilah “carik”, tetapi yang digunakan adalah sekretaris lurah. ***
Mohamad Jokomono, S.Pd., M.I.Kom, purnatugas pekerja media cetak.
.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.