TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PAN Farah Puteri Nahlia, mengecam keras dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang mahasiswa Universitas Udayana (Unud) dengan modus penyalahgunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk mengedit foto-foto perempuan menjadi konten asusila.
Sampai saat ini, jumlah korban yang melapor sebanyak 37 mahasiswi.
“Kasus ini sangat memprihatinkan. Ini membuktikan bahwa pelecehan seksual tidak lagi terbatas pada ruang fisik. Dunia digital kini menjadi medan baru kekerasan terhadap perempuan. Penyalahgunaan AI untuk merendahkan martabat perempuan bukan sekadar pelanggaran teknologi, tapi bentuk baru kejahatan seksual yang tidak bisa dibiarkan,” kata Farah kepada wartawan Rabu (30/4/2025).
Farah menyoroti bahwa kasus ini terjadi di tengah maraknya isu pelecehan seksual terhadap perempuan di Indonesia dalam beberapa pekan terakhir, yang menunjukkan bahwa perlindungan terhadap perempuan dari kekerasan seksual masih menjadi tantangan besar.
“Maraknya kasus pelecehan seksual menunjukkan bahwa perlindungan terhadap perempuan masih menghadapi tantangan besar, terutama di ruang-ruang yang seharusnya aman. Kita perlu memastikan bahwa setiap individu merasa terlindungi dan dihormati, baik di dunia nyata maupun digital,” ucapnya.
Farah mengungkapkan bahwa pelecehan seksual dapat meninggalkan luka yang mendalam bagi para korban, baik secara psikologis, fisik, sosial, maupun politik.
Menurutnya, dampak traumatis ini dapat menghambat korban untuk berpatisipasi penuh dalam kehidupan bermasyarakat.
“Kekerasan terhadap perempuan, termasuk pelecehan seksual, juga memiliki implikasi terhadap keamanan nasional, karena menciptakan ketidakstabilan sosial dan menghambat pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas,” ujar Farah.
Sebagai anggota Komisi I DPR RI yang membidangi urusan pertahanan, keamanan, luar negeri, komunikasi, dan informatika, Farah menegaskan bahwa Komisi I memiliki peran strategis dalam memastikan penyalahgunaan teknologi seperti AI tidak menjadi alat kejahatan, termasuk untuk pelecehan seksual.
“Penyalahgunaan teknologi, termasuk AI, untuk melakukan pelecehan seksual adalah bentuk kejahatan yang harus diperangi. Saya akan terus mendorong penguatan regulasi dan pengawasan terkait kejahatan siber dan perlindungan data pribadi, termasuk dalam konteks pencegahan pelecehan seksual berbasis teknologi,” ucap Farah.
Lebih lanjut, Farah menyampaikan dukungan terhadap berbagai program pemerintah dan inisiatif masyarakat sipil dalam meningkatkan literasi digital dan etika bermedia, termasuk Program Prioritas (PP) Tunas dari Kementerian Komunikasi dan Digitalisasi (Kemkomdigi), serta gerakan nasional literasi digital oleh Siberkreasi, Japelidi, Klinik Digital, dan berbagai komunitas warga lainnya.
“Kita tidak bisa hanya mengandalkan regulasi. Perlu ada gerakan bersama untuk membangun kesadaran kritis masyarakat agar mampu menggunakan teknologi secara etis, bijak, dan bertanggung jawab. Literasi digital harus menjadi benteng utama dalam melindungi masyarakat, terutama perempuan dan anak, dari kejahatan siber,” kata Farah.
Farah berharap kasus di Universitas Udayana ini menjadi momentum bagi seluruh pihak—pemerintah, institusi pendidikan, keluarga, media, dan masyarakat—untuk bekerja sama membangun ruang digital yang aman, inklusif, dan manusiawi bagi semua.