TIMESINDONESIA, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan bahwa defisit APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) per 31 Maret 2025 sebesar Rp104,2 triliun atau setara 0,43 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), masih sejalan dengan skenario fiskal yang telah disusun sejak awal.
"Defisit ini tidak perlu dikhawatirkan karena masih dalam koridor desain APBN 2025," ujar Sri Mulyani dalam paparan APBN KiTa edisi April 2025 yang digelar di Jakarta, Rabu (30/4/2025).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 2024 tentang APBN Tahun Anggaran 2025, Pemerintah bersama DPR telah menetapkan target defisit fiskal mencapai Rp616,2 triliun atau 2,53 persen dari PDB. Kebijakan ini dirancang sebagai bagian dari strategi counter-cyclical untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional dan mendukung agenda pembangunan yang dijalankan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
“Semua sudah dihitung dan disepakati secara hati-hati bersama DPR,” tambahnya.
Jika dibandingkan dengan target tahunan, defisit pada akhir kuartal I 2025 ini setara 16,9 persen dari total target defisit tahun ini. Defisit tersebut berasal dari total pendapatan negara sebesar Rp516,1 triliun (17,2 persen dari target Rp3.005,1 triliun) dan belanja negara yang mencapai Rp620,3 triliun (17,1 persen dari pagu Rp3.621,3 triliun).
"Postur APBN menunjukkan proporsi yang seimbang. Pendapatan, belanja, hingga defisit semuanya berada pada kisaran 16–17 persen dari total target," jelas Sri Mulyani.
Secara lebih rinci, pendapatan negara didominasi oleh sektor perpajakan yang menyumbang Rp400,1 triliun atau 16,1 persen dari target. Angka tersebut terdiri dari penerimaan pajak sebesar Rp322,6 triliun (14,7 persen dari target) dan penerimaan dari kepabeanan serta cukai sebesar Rp77,5 triliun (25,7 persen dari target). Selain itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp115,9 triliun atau 22,6 persen dari target.
Dari sisi belanja, pemerintah telah mengalokasikan Rp413,2 triliun untuk belanja pemerintah pusat (15,3 persen dari pagu), serta Rp207,1 triliun dalam bentuk transfer ke daerah (22,5 persen dari target).
Belanja pemerintah pusat tersebut terdiri dari belanja kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp196,1 triliun (16,9 persen dari pagu) dan belanja non-K/L senilai Rp217,1 triliun (14,1 persen dari pagu).
Menariknya, hingga akhir Maret 2025, posisi keseimbangan primer — indikator penting yang menggambarkan kemampuan pemerintah membiayai pengeluaran tanpa utang — masih mencatatkan surplus sebesar Rp17,5 triliun. Ini menunjukkan bahwa kondisi fiskal Indonesia tetap terjaga dan dikelola secara pruden di tengah berbagai tantangan ekonomi global dan domestik. (*)