Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chrysnha Pradipha
TRIBUNNEWS.COM, SOLO - Lorong sempit yang hanya muat satu sepeda motor di Kampung Makam Bergolo, Kecamatan Serengan, Solo, siang itu terasa lengang.
Rumah-rumah berdempetan, sebagian temboknya mulai kusam, tapi di balik kesederhanaan itu, ada suara-suara yang mencerminkan kehidupan, gesekan bulu ayam, suara jahitan, dan tawa ringan dari ba[ak-bapak yang bekerja sambil bercengkerama.
Di sinilah, industri rumahan shuttlecock tumbuh seperti akar pohon yang diam-diam menghidupi tanah, senyap, tapi kuat.
Sarno, pria 59 tahun yang dikenal ramah dan bersahaja oleh warga setempat, adalah penggerak utama denyut ekonomi kecil itu.
Ia bukan sekadar perajin, tapi juga pewaris tradisi yang sudah mengakar sejak 1988, meneruskan usaha yang dibangun orang tuanya.
Di rumahnya yang sederhana namun tertata rapi, Sarno menata lemari berisi kok berbagai jenis dengan merek andalan yaitu T3.
Merek ini bukan sekadar label dagang, melainkan simbol ketekunan, jatuh bangun, dan solidaritas warga kampungnya.
Dulu, lebih dari 60 orang ikut membantunya memproduksi kok.
Kini, sekitar 20-an pekerja tetap setia mengolah bulu ayam menjadi barang bernilai tinggi.
“Mereka ada yang kerja di sini, ada yang dibawa ke rumah. Fleksibel, yang penting beres,” kata Sarno ditemui Tribunnews pada Senin (21/4/2025).
Yang menarik, banyak dari para pekerja itu adalah ibu-ibu rumah tangga.
Tangan-tangan halus itu kini lihai menjahit kok, menyelesaikan tahapan finishing, dan memastikan hasil akhir tetap prima.
Satu buah kok melewati delapan tahapan, dikerjakan oleh delapan tangan berbeda.
Mulai dari memilah bulu ayam, yang harus dari ayam kampung jantan berkualitas tinggi hingga akhirnya siap dikemas.
Dalam seminggu, Sarno bisa memproduksi hingga 600 lusin kok.
Dalam sebulan, bisa tembus lebih dari 2.000 lusin, dengan harga jual bervariasi dari Rp50.000 hingga lebih dari Rp100.000 per lusin, tergantung kualitas.
Pasarnya bukan hanya Solo Raya, tapi juga merambah hingga Tasikmalaya, Purwokerto, dan kota-kota lain di Jawa.
Bulu ayam sebagai bahan baku banyak didatangkan dari Demak dan Surabaya.
“Kalau pas atlet Indonesia menang, permintaan naik tajam. Tapi kalau musim hujan atau puasa seperti sekarang, ya sepi,” tuturnya.
Namun dalam setiap musim, baik surut maupun banjir pesanan, Sarno tetap punya satu prinsip: berbagi rezeki dengan orang sekitar.
Upah yang ia berikan bahkan lebih tinggi dari UMK Kota Solo, dengan sistem kerja borongan.
“Namanya kerja rumahan, terserah mereka mau mulai jam berapa. Yang penting selesai dan kualitas bagus,” ujarnya.
Sarno tahu betul, keberhasilan usahanya tak hanya berdampak pada omzet pribadi, tapi juga pada perut banyak orang yang menggantungkan hidup dari shuttlecock.
Maka ketika ada mantan karyawan yang keluar dan membuka usaha kok sendiri, Sarno tak merasa tersaingi.
“Kalau ada pesanan banyak, ya saya gandeng lagi mereka. Kita saling bantu,” katanya ringan.
Kenaikan pesanan biasanya datang jelang 17 Agustus, saat masyarakat berlomba mengadakan turnamen bulutangkis tingkat RT hingga kecamatan.
Namun, lonjakan permintaan itu juga membuat harga bulu ayam meroket.
“Sekarang cari bulu itu susah, mahal, makanya kami produksi jauh hari sebelumnya,” katanya sambil menatap rak yang sudah dipenuhi stok produksi.
Di balik ceritanya yang inspiratif, ada satu nama yang terus ia sebut penuh rasa syukur yakni lewat Kredit Usaha Rakyat (KUR) BRI.
“Saya nasabah lama. Dulu pertama kali pinjam cuma Rp1,5 juta. Sekarang plafon pinjaman sudah bisa sampai Rp100 juta,” katanya.
Sarno mengaku sempat pindah ke bank lain, tapi segera balik karena merasa bunga di BRI lebih ringan dan prosesnya mudah.
Dari situlah kemudian terbentuk klaster UMKM shuttlecock T3.
Kini, dia juga menjadi koordinator kredit kelompok lewat program Kredit Cepat (Kece) tanpa agunan dari BRI.
“Kalau karyawan butuh modal, saya bantu ajukan. Angsuran dipotong dari gaji, jadi aman,” jelas Sarno.
Salah satu pekerjanya, Lasiman, adalah contoh nyata bagaimana usaha kecil bisa mengubah nasib seseorang.
Sejak usia 17 tahun, ia ikut membuat kok bersama Sarno.
Sempat merantau, akhirnya ia kembali ke Solo dan menetap.
“Saya ini orang kecil, rumah dulu masih tanah lantainya. Tapi dari kerja dan kredit BRI, saya bisa benahi rumah, bikin kamar mandi, sekolahkan anak,” ucap Lasiman lirih.
Kini, di usia 54 tahun, Lasiman tinggal di rumah layak huni, hasil dari perjuangan panjang dan kerja keras yang tak pernah henti.
Penyaluran KUR di BRI Cabang Solo Slamet Riyadi tercatat telah mencapai Rp736,86 miliar hingga 2 Maret 2025.
Pimpinan Cabang BRI Solo Slamet Riyadi, Eko Hary Wijayanto, menyebutkan total penyaluran tersebut disalurkan kepada 29.273 debitur.
Menurut Eko, mayoritas penerima KUR merupakan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang memiliki karakteristik usaha layak namun belum sepenuhnya bankable.
“Pelaku UMKM ini menggunakan KUR untuk memenuhi kebutuhan modal kerja, pembelian inventaris, peralatan, renovasi usaha, hingga pengembangan produk,” jelasnya.
Ia menambahkan, penggunaan dana KUR di wilayah Solo sebagian besar digunakan sebagai tambahan modal usaha.
KUR dinilai tidak termasuk dalam kategori kredit bermasalah yang dapat dihapusbukukan atau dihapustagihkan, serta memiliki fleksibilitas dan kemudahan akses yang tinggi.
Dengan sistem tersebut, KUR BRI diyakini turut mendorong pertumbuhan ekonomi daerah melalui dukungan terhadap sektor UMKM yang terus berkembang.
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk mempertegas komitmennya dalam memperkuat ekonomi kerakyatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penyaluran KUR.
Hingga akhir Triwulan I tahun 2025, BRI telah menyalurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) senilai Rp42,23 triliun atau setara 24,13 persen dari alokasi tahun 2025 sebesar Rp175 triliun yang ditetapkan Pemerintah. Selama periode tersebut, sebanyak 975 ribu debitur pengusaha UMKM telah memperoleh manfaat KUR yang disalurkan BRI.
Tak hanya dari sisi nilai kredit yang disalurkan dan jumlah debitur, BRI juga memastikan penyaluran KUR diarahkan ke sektor-sektor strategis yang berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, yang tercermin dari penyaluran KUR sebesar 62,43 persen ke sektor produksi. Sektor pertanian menjadi sektor ekonomi dengan jumlah penyaluran terbesar, mencapai Rp18,09 triliun. Capaian ini mencerminkan komitmen BRI dalam memperkuat ketahanan pangan nasional.
BRI konsisten menerapkan manajemen risiko yang prudent dalam penyaluran KUR. Per Maret 2025, rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) tercatat sebesar 2,29 persen, mencerminkan portofolio yang sehat dan pengelolaan risiko yang optimal.
Corporate Secretary BRI Agustya Hendy Bernadi menyampaikan bahwa penyaluran KUR merupakan bagian dari strategi perusahaan dalam memperluas akses pembiayaan yang inklusif dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
“Penyaluran KUR yang berfokus pada sektor produktif merupakan bentuk keberpihakan nyata BRI terhadap pembangunan ekonomi nasional. BRI meyakini bahwa pembiayaan yang tepat sasaran dapat menciptakan multiplier effect yang signifikan, khususnya dalam mendorong kemandirian usaha dan membuka lapangan pekerjaan,” ujarnya.
Hendy menambahkan bahwa fokus pada sektor pertanian merupakan bagian dari strategi BRI dalam mendukung ketahanan pangan nasional. “Dukungan terhadap sektor pertanian tidak hanya berdampak pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan, serta mendukung upaya pemerintah untuk mewujudkan swasembada pangan. Hal ini sekaligus menunjukkan peran BRI dalam membangun fondasi ekonomi nasional yang tangguh dan inklusif,” pungkas Hendy.
(*)