Grid.ID - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi kini tengah menjadi sorotan. Dedi Mulyadi disorot usai mengusulkan program pendidikan karakter ala militer.
Dalam program itu, Dedi Mulyadi mengusulkan agar siswa yang nakal dikirim ke barak militer. Program ini bertujuan untuk memperkuat karakter bela negara pada siswa, khususnya mereka yang terseret dalam pergaulan bebas atau terindikasi melakukan tindakan kriminal.
Selama 6 bulan, siswa yang terindikasi nakal akan dibina di barak TNI. Selama waktu itu, siswa juga tidak mengikuti sekolah formal.
“Selama enam bulan siswa akan dibina di barak dan tidak mengikuti sekolah formal. TNI yang akan menjemput langsung siswa ke rumah untuk dibina karakter dan perilakunya,” ujar Dedi, 27 April 2025 lalu dilansir Kompas.com.
Dedi mengatakan, selama banyak orangtua yang bersedih karena anaknya terlibat dalam pergaulan negatif, semisal masuk geng motor, tawuran, bahkan sampai mengonsumsi obat terlarang. Oleh karena itu, ia berharap pembinaan yang melibatkan unsur TNI dan Polri di dalamnya bisa menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah sosial tersebut.
"Anak-anak yang orangtuanya sudah tidak sanggup lagi mendidik, akan kami wajib militerkan," kata Dedi.
Hingga kini, ada 39 pelajar SMP yang dinilai “sulit diatur” oleh sekolah dan keluarga yang dikirim menjalani pendidikan di di Resimen Artileri Medan 1 Sthira Yudha, Batalyon Armed 9, Purwakarta. Sementara itu, sebanyak 30 pelajar yang dianggap nakal di Bandung, Jawa Barat, mengikuti sekolah militer di Rindam III Siliwangi, Bandung.
Program ini langsung menuai pro dan kontra dari publik. Bahkan, Komnas HAM ikut menyentil program yang dicanangkan pejabat yang akrab disapa KDM (Kang Dedi Mulyadi) ini.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Atnike Nova Sigiro berharap kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi ini bisa ditinjau lagi. Ia juga menyentil soal tujuan dari program tersebut.
“Sebetulnya itu bukan kewenangan TNI untuk melakukan civic education (pendidikan kewarganegaraan). Mungkin perlu ditinjau kembali rencana itu maksudnya apa,” katanya di Kantor Komnas HAM RI, Jakarta, Jumat (2/5/2025), dikutip Kompas.com dari Antara.
Menurutnya, apabila siswa diminta mengikuti pendidikan tertentu, termasuk yang berhubungan dengan militer, kebijakan tersebut menjadi tidak tepat dan keliru. Apalagi, pendidikan itu dilakukan sebagai bentuk hukuman.
“Oh, iya, dong (keliru). Itu proses di luar hukum kalau tidak berdasarkan hukum pidana bagi anak di bawah umur,” katanya.
Tak hanya itu, pengamat pendidikan juga memberi tanggapan senada dengan Komnas HAM. Pengamat pendidikan Doni Koesoema menilai, pembinaan karakter berbasis militer untuk siswa nakal dapat memberikan stigma bagi mereka yang akhirnya malah memperparah kondisi psikologis, bukan memberikan efek jera.
“Begitu mereka balik ke sekolah, mereka akan dicap. Relasi sosial akan berubah. Mereka bisa dikucilkan. Belum lagi dampak psikologis jangka panjang kalau tidak ada pendampingan,” kata Doni kepada Kompas.com, Jumat.
Ia juga berpendapat soal siswa nakal yang sudah tidak bisa dibina oleh orang tua dan sekolah. Menurutnya, orang tua dan sekolah yang berkewajiban memperhatikan pendidikan anak tak semestinya lepas tangan.
“Itu pendekatan pendidikan yang keliru. Kalau anak melakukan tindak kriminal, itu ranah hukum. Tapi kalau hanya membolos, malas, atau membuat onar, itu masih ranah pendidikan," kata Doni.
Doni menyarankan agar anak punya hak untuk mengungkapkan pendapatnya sebelum diikutsertakan dalam program tersebut. Ia khawatir ada banyak anak yang tidak setuju untuk dikirim ke barak militer, namun dipaksakan.
Mantan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan aktivis dari Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ) Retno Listyarti juga mempertanyakan dasar hukum yang digunakan untuk mengirim pelajar ke barak. Retno juga mengingatkan, Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur bahwa anak-anak yang berperilaku menyimpang seperti tawuran atau kekerasan justru masuk dalam kategori anak dengan perlindungan khusus.
"Memasukkan anak-anak 'nakal' ke barak, peraturan perundangan yang dipakai apa? Dasar hukumnya apa? Kalau mereka tetap siswa, bagaimana dengan hak akademiknya? Kalau dia tidak dapat nilai kelas 11, bagaimana bisa naik ke kelas 12?" kata dia.
"Ada beberapa kategori anak dengan perlindungan khusus, termasuk anak korban kekerasan dan anak pengguna narkoba. Penanganannya melibatkan Kemensos, KemenPPPA, dan dinas terkait, bukan militer," ujar dia.