Apa Setelah Gibran?
Isma Maulana Ihsan May 05, 2025 03:40 PM
Demokrasi kita memang belum membaik. Terutamanya setelah putusan MK tentang syarat usia pencalonan Presiden/Wakil Presiden dengan ketua Anwar Usman yang begitu memilukan dan mengkerdilkan semangat demokrasi yang coba dihidupkan di tanah pertiwi.
Meskipun, belakangan nampaknya keborokan Mahkamah yang mematikan demokrasi coba ditebus. Anggap saja, sebagai hutang moral sejarah bahwa MK ternyata ingin berbenah. Sederet putusan yang menyegarkan hawa demokrasi yang sempat tercemar polusi "keluarga Solo" mulai menemui titik baliknya.
Sebut saja keputusan Mahkamah tentang pemaknaan hinaan di Media sosial yang kerap dijadikan alat oleh segelintir elit penguasa untuk membungkam rakyat. Frase "mengkritik" di media sosial tak bisa lagi dijadikan alasan pencemaran nama baik jika yang dimaksud adalah pemerintahan. Suatu keputusan yang revolusioner ditengah pikuknya kondisi kritisisme yang coba dibungkam.
Di sisi lain, beberapa waktu Mahkamah juga berani untuk menurunkan electoral treshold pemilihan legislatif hingga menurunkan Presidential Treshold yang sebelum-sebelumnya ditolak Mahkamah. Perubahan ini, tentunya ada dasar kuat; saya menduganya, karena Mahkamah ingin bersih-bersih nama dalam sejarah panjang Indonesia.
Namun, Bisakah Ini Karena Ada Dua Matahari?
Tetapi, mari kita berpikir lebih jauh, lebih radikal dan ngaco. Tidak berdasarkan pada pengetahuan ilmiah, hanya asumsi dan penuh fiktif belaka tentang perubahan gaya Mahkamah Konstitusi akhir-akhir yang mengharukan dan membahagiakan.
Mungkinkah perubahan itu dikarenakan adanya dua matahari dalam tubuh pemerintahan Prabowo dan Gibran?. Dua matahari yang mencoba lebih terang dan bersinar satu sama lain, mungkin cahayanya ada yang lebih sedikit terang dibanding yang lain.
Istilah dua matahari kembar ini sejatinya bukanlahs sesuatu yang luar biasa, dalam masa transisi pemerintahan memang kerap pengaruh lama masih ada, selayaknya mantan yang masih membayang-bayangi ingatan dan bau parfumnya yang menempel disela-sela rindu jamanku toh?.
Saya berkhayal, dan tentunya khayalan tidak salah. Dan saya tidak sedang menuduh, jika Mahkamah Konstitusi mungkinkah terpengaruh juga oleh dua matahari ini? dan seperti di organisasi-organisasi mahasiswa, mereka pula terpecah-pecah pandangan dan kongsinya?.
Kongsi pertama menyetujui perbaikan demokrasi tetapi bukan untuk demokrasi itu sendiri, melainkan untuk menyusahkan perjalanan seorang ksatria di periode depan? sebut saja misalnya penurunan PT 0% karena diupayakan sesiapapun boleh maju tanpa dukungan partai yang banyak?.
Jika sebelumnya memerlukan modal awal sebesar 20% suara nasional, di pilpres depan tidak lagi membutuhkan itu. Dalam makna lain, sang Pemotong Kayu akan leluasa pula untuk mengorbitkan putra mahkota yang hari ini gaya politiknya sedang turun seturun-turunnya.
Pengaruh sang wakil memang tidak sebesar pemimpin utamanya nampaknya, terlebih dirasa-rasa masih ada kekecewaan perihal fufubaba yang menghina secara personal kepribadian sang Presiden. Putusan mahkamah tentang penurunan Presidential Treshold adalah langkah kuda dalam catur untuk mematikan peran raja.
Setelah Gibran Lalu Apa?
Dan mungkinkah ini semua hanya karena demi seorang anak? segala fenomena politik hari ini yang kita temui dipermaksudkan agar sang putra mahkota bisa berlanggeng ditampuk kekuasaan dan meneruskan trah Solo hingga anak cucu yang lainnya? Siapa yang tahu, bukan?.
Namun, tentunya saya hanya berasumsi, bermimpi dan ini tidak berdasar. Anggap saja tulisan ini sebagai bagian dari cerita fiksi politik negeri dongeng dan orang-orang di dalamnya hanyalah anomali seperti Ber Ber Pathapim, Tung Tung Sahur dan lain semacamnya.
Sebelum saya menuliskan hal-hal yang barusan dihapus untuk menjaga agar kumparan baik-baik saja. Saya mengajak, agar persoalan kebangsaan ini kita tanggapi dengan santai dan riang gembira saja.
Mengingat kita pernah gontok-gontokan, terpolarisasi satu sama lain, berkubu-kubu dan saling menjatuhkan. Tetapi, berakhir dengan begitu aneh dan menjemukan. Keduanya bersatu, berangkulan dan bersengkongkol menghancurkan demokrasi.
Rakyat banyak musti melihat itu lebih jauh, mendalaminya dan mengambil hikmah. Karena sebaik-sebaik sebuah negara adalah sebaik-baik rakyatnya. Ketika rakyatnya baik maka pemimpin yang lahir pun berasal dari rahim yang baik-baik. Tidak mungkin segerombolan domba dipimpin serigala, dan tak elok serigala memimpin domba-domba. (*)
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.