Direksi dan Komisaris BUMN Kebal KPK, Bagaimana Nasib Investasi Kita?
Edo Segara Gustanto May 05, 2025 06:40 PM
Pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah menimbulkan polemik besar di ruang publik. Salah satu pasal krusial yang menimbulkan kontroversi adalah Pasal 9G yang menyatakan bahwa Direksi, Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan termasuk penyelenggara negara.
Implikasi hukum dari perubahan status ini sangat signifikan. Dalam Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor 19 Tahun 2019, KPK hanya berwenang menyelidiki dan menindak kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara negara atau aparat penegak hukum. Artinya, petinggi BUMN kini tidak lagi berada dalam cakupan langsung pengawasan KPK.
Padahal, BUMN bukan sekadar entitas bisnis biasa. Mereka mengelola dana publik dalam jumlah sangat besar, menjalankan proyek-proyek strategis nasional, dan menjadi instrumen penting dalam pembangunan ekonomi. Mengeluarkan elite BUMN dari radar KPK berarti menciptakan celah hukum yang bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Mundurnya Standar Tata Kelola
Langkah yang diambil dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2025 ini secara nyata bertentangan dengan semangat penguatan tata kelola (governance) yang selama ini digaungkan pemerintah. Salah satu prinsip utama dalam good corporate governance adalah akuntabilitas dan transparansi, terutama dalam pengelolaan dana publik. Ketika direksi dan komisaris BUMN tidak lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara, maka otomatis pengawasan eksternal yang sebelumnya dilakukan oleh KPK kehilangan pijakan hukum. Dalam kondisi ini, pengawasan hanya bertumpu pada mekanisme internal BUMN dan aparat penegak hukum umum, yang efektivitasnya kerap kali dipertanyakan.
Padahal, sejarah menunjukkan bahwa KPK memainkan peran penting dalam membongkar berbagai kasus korupsi besar yang melibatkan BUMN. Skandal Jiwasraya dan Asabri, misalnya, menampilkan bagaimana kejahatan keuangan dalam skala besar kerap melibatkan jejaring kekuasaan dan kepentingan politik yang kompleks. Dalam kasus-kasus semacam itu, keberadaan lembaga independen seperti KPK menjadi kunci karena memiliki kapasitas dan keberanian untuk menembus lapisan kekuasaan yang sering kali sulit disentuh aparat hukum biasa. Tanpa kewenangan KPK, ruang pengawasan menjadi terbatas dan potensi pengaburan kasus semakin besar.
Akibatnya, efektivitas pengawasan menurun, dan prinsip akuntabilitas yang seharusnya menjadi roh dari tata kelola yang baik kehilangan taringnya. Kondisi ini bukan hanya mengancam transparansi pengelolaan dana publik, tetapi juga memperbesar ruang gelap (dark zone) dalam birokrasi BUMN. Di sinilah bahaya utamanya: ketika sistem pengawasan melemah, penyalahgunaan wewenang justru berpotensi menjadi norma yang sulit diberantas. Maka, bukan hanya tata kelola yang mundur, tetapi juga kepercayaan publik terhadap integritas institusi negara ikut tergerus.
Pukulan terhadap Iklim Investasi
Dampak lainnya adalah pada persepsi investor, baik domestik maupun internasional. Investor selalu menjadikan kepastian hukum dan efektivitas sistem antikorupsi sebagai indikator utama dalam menilai iklim investasi sebuah negara. Jika transparansi dan pengawasan hukum terhadap BUMN yang merupakan mitra utama dalam berbagai proyek investasi dikendurkan, maka kepercayaan investor pun ikut terkikis.
Sinyal negatif ini bisa memengaruhi peringkat indeks persepsi korupsi (CPI) Indonesia yang diterbitkan oleh Transparency International. Peringkat tersebut adalah rujukan penting bagi lembaga pemeringkat, lembaga keuangan internasional, dan perusahaan multinasional sebelum memutuskan ekspansi ke suatu negara. Ketika Indonesia terlihat memperlemah pengawasan terhadap institusi strategisnya, maka risiko investasi dipersepsikan lebih tinggi.
Terlebih lagi, keengganan investor dapat berimbas langsung terhadap realisasi proyek-proyek besar yang membutuhkan pembiayaan jangka panjang, seperti pembangunan infrastruktur, transisi energi, atau digitalisasi sektor publik—semuanya tak lepas dari peran BUMN.
Mempertaruhkan Reputasi Negara
Menteri BUMN Erick Thohir menyebut bahwa regulasi turunan akan disiapkan untuk menegaskan kembali komitmen terhadap transparansi. Namun tanpa kepastian bahwa KPK bisa tetap mengawasi praktik korupsi di tubuh BUMN, publik akan terus mempertanyakan arah reformasi birokrasi yang selama ini digembar-gemborkan.
Lebih jauh, perubahan status hukum ini bisa memberi kesan bahwa BUMN menjadi zona abu-abu dalam pengawasan hukum. Jika hal ini tidak segera ditanggulangi dengan regulasi yang tegas dan transparan, Indonesia akan dicap sedang mundur dari agenda reformasi dan pemberantasan korupsi.
Reputasi Indonesia sebagai negara demokratis dengan semangat antikorupsi yang kuat akan dipertaruhkan. Ini bukan hanya soal teknis hukum, melainkan menyangkut wajah moral dan politik negara di mata dunia internasional.
Penutup
Pemerintah dan DPR perlu meninjau kembali ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 2025 ini. Jika tidak, maka dibutuhkan peraturan turunan yang jelas, tegas, dan menjamin bahwa petinggi BUMN tetap berada dalam lingkup pengawasan ketat lembaga-lembaga independen seperti KPK. Negara tidak boleh terlihat melindungi elite BUMN dari jeratan hukum.
Kepercayaan publik dan investor dibangun melalui konsistensi. Dalam hal ini, konsistensi terhadap prinsip antikorupsi dan tata kelola yang bersih dan transparan. Jika pemerintah serius ingin menjaga pertumbuhan ekonomi dan kepercayaan global, maka penguatan lembaga pengawasan harus ditempatkan kembali sebagai prioritas utama, bukan justru dikebiri secara sistematis melalui regulasi.[]