Pada abad ke-18 badak jawa dianggap sebagai hama di Batavia. Karena itulah keberadaannya kerap diburu, pemerintahan bahkan menyediakan hadiah khusus untuk memburunya.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Sekitar abad ke-18, di Batavia (sekarang Jakarta) badak masih dianggap sebagai hama dan karena itulah sering diburu. Dan karena itu,pemerintah memberi hadiah kepada barangsiapa yang bisa menangkap badak.
Ketika itu badak jawa malah masih ditemukan di Aceh, Langkat dan Palembang, pada abad 18 ini. Berbeda dengan abad sekarang ini di mana keadaan badak sudah sedemikian parah.
Pada abad ke-18, di sekitar Jakarta masih terdapat badak berkeliaran bersama banteng dan satwa liar lainnya. Ini masih berlangsung seabad lamanya, ketika dalam abad ke-18 hadiah untuk membunuh seekor badak masih dibayarkan lebih dari 30 kali sebulan.
Jacob Bontius, dokter zaman Kompeni yang tinggal di Betawi dari tahun 1627 sampai meninggalnya dalam tahuri 1631, pernah bertemu dengan seekor badak muda waktu berjalan-jalan di luar kota. Dia menyebutkan pertemuan itu dengan cara yang menunjukkan bahwa hal itu bukan sesuatu yang luar biasa. Bahkan konon dia melihat lebih dari seratus ekor dalam keadaan tertangkap dan sering pula menjumpainya dalam hutan.
Pendeta Valentyn yang terkenal dengan tulisan-tulisannya dalam permulaan abad ke-18 mengisahkan tentang seekor badak muda yang jinak di Jakarta. Pada waktu keadaan kota terancam bahaya dari luar, badak itu digusur keluar kota sebelum pintu gerbang kota ditutup, tetapi hewan itu masuk kota kembali setelah keadaan aman dan pintu dibuka lagi.
Pembantaian badak
Rupanya pembantaian badak besar-besaran dimulai dalam pertengahan abad ke-18. Jumlah badak pada masa itu rupanya begitu besar sehingga mengganggu kegiatan manusia. Atau lebih tepat lagi, jumlah manusia meningkat cepat sehingga menjadi saingan badak.
Kompeni VOC menjanjikan hadiah sebesar 10 kroon (atau 25 gulden, suatu jumlah cukup besar untuk masa itu), untuk seekor badak yang dibunuh, seperti tercantum dalam Nederlandsch-Indisch Plakaatboek tertanggal 1 September 1747. Di situ juga tercatat bahwa antara Oktober 1746 dan Agustus 1747 terbunuh 60 ekor badak dan hadiah yang dibayarkan sebanyak 860 kroon!
Kemudian dalam Januari 1749 tercatat pula dalam buku ini bahwa hadiah itu ditarik kembali karena biayanya terlalu tinggi. Sejak diberlakukannya peraturan itu banyak uang yang telah dikeluarkan untuk hadiah pembantaian 526 ekor badak dan 80 ekor harimau.
Dalam abad ke-19 badak masih berkeliaran di hutan-hutan rimba Jawa Barat dan Jawa Tengah, ternyata dari banyaknya berita dari masa itu. Kebanyakan badak itu ditemukan di daerah pegunungan tinggi atau dataran yang tak berpenduduk atau yang sangat jarang penduduknya di bagian selatan pulau Jawa.
Dalam tahun 1827 G. van Raalte, pegawai Natuurkundige Commissie (Komisi Ilmu Pengetahuan Alam) diseruduk badak di Gunung Parang di daerah Priangan sehingga luka parah.
Laporan-laporan dari tahun 1866 dan 1867 menyatakan adanya badak yang hidup di lereng-lereng Gunung Slamet (Jawa Tengah). Ahli botani T. Horsfield melihat seekor badak muda di Surakarta tahun 1817, hewan ini konon diperangkap dua tahun sebelumnya di daerah Kedu.
Ada pula catatan tentang perburuan badak betina dan anaknya di sekitar Salatiga, dan penangkapan seekor badak muda dalam tahun 1833 dekat Wonosobo. Daerah paling timur tempat pemunculan badak dicatat oleh Junghuhn di sebelah selatan Kediri, tetapi ditambahkan bahwa rakyat di situ tercengang melihat satwa itu, sehingga peristiwa itu dianggap sebagai sesuatu yang langka. Diduga, bahwa keadaan hutan di Jawa Timur kurang cocok sebagai habitat badak.
Dalam abad ke duapuluh ini daerah penyebaran badak bercula satu masih cukup luas di Jawa dan Sumatera. Dilaporkan bahwa badak Jawa masih terdapat di Aceh (tahun 1900, 1905, 1.925), Langkat (Sumut), Palembang (antara 1928 dan 1933).
Di Jawa sendiri agaknya wilayah badak sudah mulai menciut sampai Jawa Barat bagian selatan, meskipun pada 1912 Museum Zoologi Bogor menerima hadiah berupa dua kepala badak yang berasal dari daerah Karawang dan ada kulit yang berasal dari daerah yang sama (1910).
Daerah terakhir yang masih dihuni badak di luar banteng rupanya Garut. Pada 1926 seorang bupati memastikan bahwa di daerahnya masih hidup sekitar 13 ekor. Pada 1931 di Garut Selatan (Cilauteureun) seorang peneliti menemukan tapak kaki dua ekor badak dan menurut laporan masih ada sekitar enam ekor.
Usaha perlindungan satwa
Usaha untuk melindungi satwa liar dari kepunahan sudah dimulai agak dini juga, yakni sejak dikeluarkannya larangan berburu dari Maret sampai Oktober pada 1 Januari 1751. Tetapi babi hutan, harimau dan “hewan pemangsa lainnya" dikecualikan, jadi boleh diburu semaunya.
Karena waktu itu badak termasuk dalam golongan terakhir, maka dia tak terlindung sama sekali oleh peraturan itu. Bahkan sebaliknya dalam tahun 1832 masih ada hadiah sebesar 16 gulden untuk membunuh seekor badak di kabupaten Priangan. Kemudian, pada tahun-tahun 1864-1870 badak dianggap merugikan bagi perkebunan-perkebunan kina di dekat Tangkuban Perahu.
Baru pada permulaan abad 20 orang mulai sadar bahwa satwa liar lama-lama akan punah jika tidak diambil tindakan. Permulaan tindakan itu berupa pembatasan berburu dan membawa senjata api dalam Hutan Negara yang diundangkan pada tahun 1908.
Mula-mula peraturan ini hanya menyangkut sebagian.kecil pulau Jawa. Setahun kemudian perlindungan ini diberlakukan untuk semua burung dan satwa liar, kecuali beberapa jenis yang masih dianggap merugikan manusia.
Setelah berlakunya undang-undang ini bukan hanya menjerat atau berburu saja yang dilarang, tetapi juga memiliki bagian-bagian atau tubuh hewan seutuhnya. Peraturannya memang cukup baik, tetapi dalam kenyataannya tidak dilaksanakan dengan baik. Antara lain, denda yang dikenakan atas pelanggaran terlampau rendah.
Seorang pemburu, Hazewinkel, antara 1925-1926 berhasil menembak mati tujuh ekor Rhinoceros sondaicus di Sumatera Selatan. Hazewinkel berhasil mendapat uang f2000 untuk cula terbesar dan katanya dia bisa menjual kulit badak dari 1000 sampai 1500 gulden. Sedangkan denda maksimum untuk membunuh hewan itu hanya f100.
Tidak terlalu mengherankan bahwa populasi badak Jawa semakin menipis dan wilayah penyebarannya makin rhenyempit. Dalam tahun 1931 badak cula satu ini masih didapati di Cibaliung, Banten Selatan.
Tetapi badak terakhir, yang hidup di luar Ujung Kulon ditemui di daerah Karangnunggal, Tasikmalaya Selatan, pada 1934. Jelas bahwa perlindungan yang diberikan oleh undang-undang terhadap satwa lindungan ini tidak efektif di samping faktor-faktor lain seperti rendahnya perkembangan biaknya maupun makin sempitnya hutan yang sesuai sebagai habitatnya.
Diburu karena takhayul
Daerah Ujung Kulon, merupakan tempat pengungsian terakhir bagi badak Jawa dinyatakan sebagai cagar alam oleh pemerintah Hindia Belanda sedini tahun 1921. Ini berarti bahwa dalam kawasan itu dilarang memburu atau memerangkap hewan apa pun, membuka hutan atau tindakan-tindakan lain yang berakibat perubahan keadaan alamnya. Tetapi nyatanya tidak ada pengawasan.
Sepuluh tahun pertama setelah itu tak banyak yang diketahui tentang keadaan dalam suaka alam itu, kecuali laporan orang-orang yang mengunjunginya. Dalam tahun 1934 ada laporan tentang perburuan gelap atas badak yang mengejutkan banyak kalangan. Tetapi baru tahun 1937 keluar keputusan Gubernur Jenderal yang mengukuhkan daerah Ujung, Kulon , sebagai suaka margasatwa.
Dengan perubahan status itu keamanan margasatwanya lebih terjamin dengan tatalaksana penjagaan lebih efektif. Pada tahun 1937 diperkirakan populasi badak di Ujungkulon ada sekitar 25 ekor.
Salah satu penyebab berkurangnya populasi badak ialah perburuan liar. Perburuan itu disebabkan oleh karena harga tinggi yang berani dibayarkan orang untuk bagian-bagian tubuh badak, terutama culanya.
Hal ini disebabkan pula karena pelbagai bangsa Asia mempunyai kepercayaan bahwa bagian-bagian badan badak mempunyai khasiat-khasiat tertentu.
Khasiat-khasiat ini konon ada tiga jenis: 1) menyembuhkan gigitan hewan berbisa, seperti ular dan sebagainya, jika cula itu ditempatkan pada bekas gigitan; 2) jika ada minuman beracun ditaruhkan ke dalam bejana terbuat dari cula badak, cairan itu akan berbusa; 3) sebagai afrodisiak (obat kuat, seks), dimakan dalam bentuk serbuk.
Kepercayaan yang pertama dan kedua umum dari Arabia sampai Cina dan Jepang. Salah sebuah pasaran penting untuk cula badak adalah Mumbai (dulu Bombay). Penelitian ilmiah atas cula badak tidak mengungkapkan apa pun mengenai ketiga khasiat tadi. Jadi semua anggapan itu hanya berdasar pada takhayul turun temurun saja.
Alergi terhadap manusia
Badak termasuk hewan yang tidak menyukai manusia. Kalau kebanyakan binatang lari menghindari manusia, badak malah menyerang. Beberapa orang pengamat pernah mengalami diserang badak.
Misalnya pengalaman Hoogerwerf, salah seorang pengenal badak yang terkenal dalam bukunya Udjung Kulon, The Land of the last Javan Rhinoceros (1970). Dalam penelitiannya di Ujung Kulon pada tanggal 2 Oktober 1937 dia bertemu dengan seekor badak jantan yang sedang berkubang.
Rupanya badak itu terkejut oleh kedatangan Hoogerwerf, mula-mula dia lari ke jurusan yang berlawanan, kemudian menyerbu kembali. Waktu itu orang Belanda itu sedang mengukur tapak kaki badak di dekat kubangan, dia mendengar kembalinya hewan itu yang mengeluarkan suara "enggah-enggah".
Dia segera berlindung di belakang sebatang pohon setebal 50 cm. Badak itu berlari sejauh 10 m melewati pohon itu lalu terhenti tanpa bergerak kurang lebih dalam jarak 3 m dari ransel yang jatuh dengan hidungnya tertuju ke tanah seakan ia hendak mencium jejak manusia. Kemudian ia menegakkan kepalanya dan berdiri beberapa saat tanpa bergerak lalu lari menuju ke semak-semak melewati kubangan.
Pada tanggal 30 Desember 1939 seekor badak jantan ditemukan di tengah semak cente (Lantana). Kehadirannya ditandai dengan suara rahangnya yang mengunyah makanan. Setelah Hoogerwerf dan anak buahnya mencari perlindungan dengan memanjat pohon, satwa itu muncul tak jauh dari tempat mereka bersembunyi.
Badak itu tak bergerak selama kira-kira dua menit, dengan sikap sangat waspada. Kemudian ia berjalan mundur beberapa tindak. Setelah itu mencapai jarak 10 meter dengan cara itu, tiba-tiba ia berbalik lalu lari sambil mendengus kuat-kuat. Menurut Hoogerwerf badak itu akan menyerang jika ia mengetahui ada gerak-gerik manusia.
Kecerdasannya tak berkembang
Permulaan tahun 1941 terjadi serangan yang sungguh-sungguh di tempat yang jaraknya sekitar setengah km dari pantai. Tempat itu yang ditumbuhi semak-semak lebat menjadi gelanggang pertempuran dua ekor badak. Hoogerwerf tertarik oleh suara gaduh dan gemuruh mengerikan yang belum pernah didengarnya sebelumnya.
Setelah kedua hewan besar itu pergi untuk meneruskan berlaga di tempat lain, ia meninggalkan persembunyiannya di atas pohon untuk mengukur tapak kaki dan memeriksa medan laga. Tiba-tiba dia mendengar seekor badak menyerbu ke arahnya.
Dia berhasil menyelamatkan diri dengan buru-buru memanjat batu karang yang ada di tengah-tengah semak lebat. Seekor badak betina muncul dari jarak 5 sampai 10 meter dari karang itu lalu menyeruduknya berkali-kali, nampaknya atas dasar indera penciumannya saja, karena ia lari berputar-putar seperti gila sambil mendengus dan menghembus-hembus.
Ia menyeruduk sekuat tenaganya di antara semak-semak belukar, seakan-akan menghadapi musuh sungguh-sungguh. Sekali-sekali makhluk raksasa itu berhenti sambil menggerak-gerakkan kepalanya kian kemari seperti mengamati sekelilingnya, bertindak mundur lalu menyerbu maju lagi. Segera setelah serangan ini yang berlangsung tidak lebih dari satu menit, ia menghilang ke dalam semak-semak.
Menurut para pengamat, tidak semua badak cenderung untuk menyerang manusia. Konon yang paling berbahaya adalah musim kawin dan kalau badak betina sedang mempunyai anak. Menurut pengamat lain yang suka menyerang ialah jantan atau betina tua, yang muda-muda biasanya menghindari manusia.
Dari pengalaman-pengalaman penyerangan itu dapat disimpulkan bahwa penglihatan badak sangat buruk. Mereka tidak dapat melihat jelas dalam jarak kurang lebih 10 m.
Dalam usaha menghadapi musuh atau apa saja yang dianggapnya sebagai musuh, mereka sangat bergantung pada indera penciuman dan pendengaran. Hoogerwerf juga menduga bahwa kecerdasan badak sangat terbatas, dia beranggapan kecerdasan yang kurang itu merupakan salah satu sebab semakin berkurangnya jenis badak.
Juga kebiasaan untuk melewati rintisan yang sama, kubangan, tempat minum atau tempat mencari garam yang sama membuat badak mudah jatuh menjadi korban pemburu liar.
Urung jadi Singapura
Daerah Ujung Kulon mulai disebut-sebut sejak tahun 1807, sejak Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal dan Panglima Angkatan Bersenjata Kerajaan di Hindia Belanda. Dia ingin membuat sebuah pangkalan Angkatan Laut di daerah yang berhadapan dengan Pulau Peucang dan untuk tujuan itu dia membangun sebuah benteng.
Tetapi pembangunan itu tersendat-sendat karena sejumlah besar pekerja jatuh sakit karena "uap jahat yang timbul dari tanah yang baru dibuka". Sejumlah besar buruh melarikan diri sehingga pekerjaan terbengkalai.
Pangkalan itu merupakan suatu kegagalan. Dalam bulan November 1853 sebuah ekspedisi yang diprakarsai Perhimpunan Penelitian Ilmiah yang akan menyelidiki daerah Muara Cikuya, mendarat di situ.
Mereka menemui Kampung Jungkulon (atau jungkulan) sebagai "satu-satunya tempat yang berpenghuni di ujung Barat pulau Jawa". Tujuan ekspedisi ialah meneliti kemungkinan mengeksplorasi batu bara di sana. Ini merupakan kedua kalinya orang mengharapkan sesuatu yang besar dari ujung barat Jawa ini.
Laporan yang terbit dalam tahun berikutnya berbunyi antara lain: "Sudut terbarat Jawa sesungguhnya nampaknya akan menjadi suatu tempat yang penting, bukan hanya sebab adanya lapisan, yang mengandung batu bara, tetapi juga teluknya yang aman dan indah, tanahnya yang subur, tempat tumbuhnya ribuan batang kelapa dan karet, mau dan lilin tawon melimpah. Juga banyak kayu pertukangan yang baik, air minum tak pernah kekurangan dan penduduknya yang tersebar tak pernah mengenal penyakit.
Juga karena letaknya sangat sesuai untuk perdagangan pada gapura Selat Sunda, di tepi jalan pelayaran dagang yang utama di timur, yang belakangan makin penting dengan adanya koloni-koloni berpenduduk banyak pada tambang-tambang emas di Belanda Baru (Australia?). Jungkulon mungkin menjadi bibit sebuah Singapura baru, dan demikianlah jadinya jika sudut barat, pulau Jawa ini diserahkan pengembangannya pada pengusaha-pengusaha swasta.”
Laporan pertama mengenai badak dibuat oleh seorang kapten kapal bernama Adams, yang menyebutkan bahwa sejumlah awak kapalnya menjumpai seekor badak waktu mencari air, Adams yang menulis laporannya dalam tahun 1861 juga menjumpai sendiri tapak-tapak kaki- badak di situ.
Ekspedisi-ekspedisi maupun suatu survei yang dilakukan dalam bulan April 1855 akhirnya berakibat tidak dibukanya sudut terpencil pulau Jawa ini dan eksploitasi batu bara juga tak jadi dikerjakan. Dengan itu berakhirlah cita-cita pembangunan "Singapura baru" seperti awan yang diembus angin deras.
Pada letusan Gunung Krakatau dalam tahun 1883 seluruh kampung Jungkulon, bersama dengan kedua kampung Cikuya dan Rumah Tiga yang agaknya baru timbul kemudian, habis disapu gelombang pasang. Sebagian besar penduduknya dapat menyelamatkan diri ke Tanjung Layar, batu yang agak tinggi letaknya, atau yang dikenal sebagai Ujung Pertama Pulau Jawa.