TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komite Pemilih Indonesia (TePI Indonesia) menilai DPR RI abai dalam mempercepat revisi Undang-Undang Pemilu.
Kemandekan pembahasan revisi tersebut dianggap menghambat upaya memperbaiki sistem demokrasi elektoral di Indonesia.
Koordinator TePI Indonesia, Jeirry Sumampow, mengatakan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 masih menyimpan banyak persoalan, seperti sistem proporsional terbuka yang rawan jual beli suara, lemahnya pengawasan dana kampanye, serta tumpang tindih aturan teknis yang menyulitkan kerja penyelenggara pemilu.
"Kemandekan ini menimbulkan dugaan bahwa ada kepentingan politik tertentu yang merasa diuntungkan oleh sistem yang berlaku sekarang,” ujar Jeirry dalam keterangannya, Rabu (7/5/2025).
“Bagi partai-partai yang tergabung dalam koalisi besar pendukung pemerintah, status quo mungkin terasa nyaman dan karena itu tetap mau dipertahankan," sambungnya.
Jeirry menilai DPR tidak menunjukkan kesungguhan dalam memperbaiki sistem pemilu, meskipun banyak masukan dari akademisi, pegiat pemilu, masyarakat sipil, dan penyelenggara pemilu.
Ia menambahkan, jika DPR terus menunda revisi UU Pemilu, publik wajar mencurigai bahwa proses tersebut sengaja diperlambat demi mempertahankan status quo.
"Pimpinan DPR RI tidak boleh terus membiarkan tarik-menarik antara Baleg dan Komisi II berlarut-larut. Jika DPR terus abai, maka publik berhak curiga bahwa kemandekan ini disengaja demi kepentingan status quo dan kekuasaan," ujarnya.
TePI Indonesia mendesak DPR segera menyelesaikan revisi UU Pemilu sebelum tahapan Pemilu 2029 dimulai, untuk menghindari risiko instabilitas hukum dan ketidakpastian teknis di lapangan.
"Kita perlu memastikan proses revisi berjalan sebelum tahapan Pemilu dimulai. Jika dibiarkan, dampaknya akan merugikan demokrasi dan kepercayaan publik terhadap proses pemilu," kata Jeirry.