Agen AI semakin dilirik perusahaan, termasuk di Indonesia. Buktinya, 79% organisasi di Indonesia telah mengadopsi agen AI dalam dua tahun terakhir, menurut hasil survei global terbaru Cloudera.
Sementara itu, 95% perusahaan atau organisasi lainnya akan mengadopsi agen AI dalam 12 bulan ke depan.
Secara global, 96% organisasi berencana memperluas penggunaan agen AI dalam 12 bulan ke depan. Dan setengah dari organisasi-organisasi tersebut menargetkan ekspansi agen AI secara signifikan di seluruh organisasi.
Menurut survei yang bertajuk “The Future of Enterprise AI Agents,” itu, agen AI telah diterapkan perusahaan untuk beberapa use case seperti bot pengoptimalan kinerja (66%), agen pemantau keamanan (63%), dan asisten pengembangan (62%).
Lebih spesifik, penggunaan agen AI di beberapa sektor industri di Indonesia cukup bervariasi. Misalnya di sektor keuangan, sebanyak 88% responden menggunakan agen AI sebagai penasihat investasi. Penggunaan terbesar (67%) di sektor manufaktur adalah untuk optimalisasi rantai pasokan. Di sektor retail/e-commerce, agen AI dimanfaatkan untuk optimalisasi harga dan rantai pasokan (100%); di sektor kesehatan untuk koordinasi perawatan (67%); dan di sektor telekomunikasi untuk pemantauan keamanan dan pengalaman pelanggan (60%).
Survei yang melibatkan hampir 1.500 pemimpin IT dari perusahaan di 14 negara, termasuk di Indonesia ini juga mengungkapkan alasan perusahaan mengadopsi agen AI. Sebanyak 83% organisasi menganggap investasi AI berperan penting dalam menjaga perusahaan tetap kompetitif. Dan agen AI menjadi sumber utama keunggulan kompetitif. Selain itu, penggunaan agen AI dapat membantu perusahaan menghemat biaya dan meningkatkan kelincahan bisnis serta engagement dengan pelanggan.
Dalam survei global ini, Cloudera juga mendapati bahwa hampir semuanya antusias dengan agen AI, tapi ada sejumlah kekhawatiran terkait privasi data, integrasi, dan kualitas data yang berpotensi menghambat adopsi.
Secara global, tiga hambatan utama yang diutarakan para responden adalah privasi data (53%), integrasi dengan sistem yang lama (40%) dan biaya implementasi yang tinggi (39%).
Sedangkan bagi perusahaan dan organisasi di Indonesia, hambatannya adalah kebingungan (100%), masalah privasi (56%), biaya (44%), tata kelola (41%) dan bias dan keadilan (fairness) AI (32%).
Terkait strategi implementasi, survei Cloudera mengungkapkan bahwa sebagian besar perusahaan menggunakan pendekatan hybrid, baik membangun agen AI sendiri (66%) di platform AI enterprise, maupun mengintegrasikannya ke aplikasi inti yang sudah ada (60%).
Sementara itu, Cloudera menyarankan perusahaan dan organisasi untuk memulai dari proyek kecil yang berdampak besar. Contohnya penerapan agen AI untuk mendukung tim IT internal.
Menurut Abhas Ricky (Chief Strategy Officer, Cloudera), agen AI kini menjadi alat transformasi utama bagi perusahaan, bukan lagi sekadar eksperimen. Abhas juga memprediksi bahwa di tahun 2025, agen AI akan menjadi pusat perhatian, membangun momentum dari AI generatif tapi dengan dampak operasional yang lebih besar.
“Cloudera memungkinkan transformasi ini melalui ekosistem Enterprise AI yang kuat, membantu organisasi global mendesain alur kerja AI yang aman, scalable, dan terintegrasi, yang mengubah data menjadi aksi,” ujarnya.