TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Ekonomi Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam) Polri, Brigadir Jenderal Polisi Ratno Kuncoro, menegaskan bahwa kritik publik, termasuk dari kalangan aktivis dan mahasiswa, merupakan bagian sah dalam proses demokrasi.
Pernyataan ini disampaikan menanggapi isu yang ramai di media sosial terkait tagar #IndonesiaGelap yang digaungkan oleh aktivis hukum, Feri Amsari.
“Kami setuju dengan semangat Habis Gelap Terbitlah Terang. Namun, kondisi saat ini saya pandang sebagai bagian dari proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap pemimpin pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Yang terpenting adalah memastikan arah bangsa tetap pada jalur yang sesuai dengan harapan masyarakat,” ujar Ratno.
Menurutnya, tantangan utama bangsa saat ini adalah menjaga stabilitas ekonomi dan keamanan. Untuk itu, Polri terus menjalin kerja sama erat dengan TNI sebagai bagian dari pemerintahan.
“Polri harus memastikan tidak ada dinamika sosial dan politik yang mengganggu ketertiban masyarakat. Isu-isu seperti obstruction of justice pun akan kami dalami secara serius sesuai sistem peradilan pidana yang berlaku,” tegasnya.
Ratno juga mengungkapkan keterlibatan dirinya dalam penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru. KUHAP 2023 direncanakan akan mulai berlaku pada 1 Januari 2026, menggantikan KUHAP 1981 yang dinilai sudah tidak relevan.
“Sudah saatnya KUHAP diperbarui. Kami mohon dukungan dari seluruh masyarakat. DPR juga membuka ruang seluas-luasnya bagi publik untuk memberi masukan,” jelasnya, mengutip pernyataan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburrahman.
Ia juga menekankan pentingnya kebebasan pers sebagai elemen utama dalam demokrasi. Wartawan, menurutnya, tidak boleh ditekan atau diteror, dan semua sengketa pers semestinya diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers, bukan melalui kriminalisasi.
Pendekatan Restoratif dan Pemberantasan Korupsi
Ratno menekankan perlunya pendekatan Restorative Justice dalam penanganan perkara ringan, sebagai bagian dari reformasi hukum yang berpihak pada keadilan dan efisiensi.
“Hukum adat dan kearifan lokal bisa menjadi dasar penyelesaian masalah secara berkeadilan. Ini bagian dari reformasi hukum,” ujarnya.
Dalam hal pemberantasan korupsi, Ratno mengajak semua pihak untuk belajar dari negara-negara yang memiliki indeks persepsi korupsi rendah.
“Kita harus komitmen menurunkan tingkat korupsi, sejalan dengan harapan masyarakat dan Presiden Prabowo,” katanya.
Di tengah dinamika politik, Ratno menegaskan bahwa Polri tetap netral dan bertindak sebagai pengawal demokrasi.
“Kami tidak berpolitik. Silakan kritik, silakan demo. Polisi di lapangan tidak boleh menganggap massa aksi sebagai musuh,” tegasnya.
Ia memastikan bahwa pengamanan aksi dilakukan secara humanis dan profesional, sesuai standar operasional prosedur.
“Semua kritik yang konstruktif adalah booster bagi kami untuk mempercepat penyelesaian masalah bangsa dan menyukseskan program pemerintah,” pungkasnya.
Respons terhadap Isu Global dan Kritik Feri Amsari
Terkait kondisi global, Ratno menyebut bahwa Indonesia relatif lebih stabil dibanding negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara yang terdampak perang dagang dan tarif Amerika Serikat.
“Thailand, Vietnam, dan Filipina mengalami koreksi pertumbuhan karena ketergantungan terhadap ekspor ke Amerika. Kita lebih kuat karena sumber daya yang luar biasa. Koreksi dari IMF untuk Indonesia hanya dari 5,1 persen ke 4,7%, masih relatif baik,” paparnya.
Sementara itu, pengamat hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai tagar #IndonesiaGelap mencerminkan keresahan mendalam masyarakat terhadap arah kebijakan negara. Ia menyebut ada berbagai pelanggaran konstitusional dan kelemahan birokrasi di masa pemerintahan Prabowo-Gibran.
“Pembentukan undang-undang yang tertutup, kembalinya peran TNI-Polri di luar konstitusi, dan program Makan Bergizi Gratis yang masih bermasalah adalah bagian dari kegelisahan publik,” ujar Feri, Rabu (7/5/2025).
Ia juga menyoroti lemahnya sektor peradilan, dengan kasus suap yang melibatkan hakim hingga Rp60 miliar dan praktik obstruction of justice oleh aparat.
Menurutnya, TNI dan Polri seharusnya diprofesionalkan sesuai amanat konstitusi, bukan justru menambah beban kerja baru.
Feri juga menyoroti kekosongan posisi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat sejak 2023, yang menurutnya mengganggu komunikasi diplomatik.
“Presiden Prabowo sebaiknya segera mengisi posisi Dubes RI di AS. Selain itu, diplomasi luar negeri dan ruang-ruang strategis pemerintahan perlu diperbaiki,” tegasnya.
Feri mengingatkan pentingnya konsolidasi dalam sistem presidensial.
“Dalam sistem presidensial, presiden sebelumnya harus memberi ruang kepada presiden baru untuk bekerja secara transparan, bukan menciptakan matahari kembar,” tutupnya.