Tiga Tahun Menikah tapi Belum Punya Anak, Pengakuan Sang Istri Bikin Pria Ini Tercengang
Randy P.F Hutagaol May 10, 2025 12:32 AM

TRIBUN-MEDAN.com - Setelah tiga tahun membina rumah tangga, seorang pria berusia 32 tahun mengungkapkan kisah mengejutkan terkait perjalanan pernikahannya yang hingga kini belum juga dikaruniai anak.

Dalam curahan hati yang menjadi perhatian warganet, ia menceritakan betapa tekanan sosial dan harapan keluarga besar memengaruhi kehidupan pribadinya, hingga sebuah pengakuan jujur dari sang istri mengubah segalanya.

Dikutip dari Eva.vn Jumat (9/5/2025), pria yang tidak disebutkan namanya ini mengatakan bahwa sejak awal pernikahan, ia dan sang istri tidak terlalu memusingkan soal kehadiran anak.

Keduanya percaya, selama mereka menjaga kesehatan dan kualitas hubungan, anak akan hadir pada waktu yang tepat.

Namun seiring berjalannya waktu, tekanan mulai datang dari berbagai arah.

“Keluarga kami terus bertanya, teman-teman satu per satu sudah memiliki anak, bahkan ada yang sudah dua. Sementara kami masih berdua,” ungkapnya.

Situasi ini menjadi lebih rumit ketika pria tersebut, yang sangat menyukai anak-anak, merasa semakin rindu menjadi seorang ayah.

Ia mengaku sering merasa terharu saat melihat orang tua lain bersama anak mereka.

 Perasaan itu membuatnya semakin tidak sabar, sementara ia merasa istrinya tetap tenang dan tidak menunjukkan keinginan serupa.

Setelah beberapa kali mencoba membuka percakapan, akhirnya sang istri mengungkapkan sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan.

Dengan jujur, istrinya mengakui bahwa ia belum ingin memiliki anak karena belum siap secara emosional dan ingin menikmati hidup tanpa beban sebagai seorang ibu.

“Sebelum menikah, aku sempat ragu apakah aku benar-benar ingin menjadi ibu. Tapi aku takut ditolak, takut keluarga dan kamu tidak bisa menerima itu,” ujar sang istri dalam percakapan mereka yang emosional.

Menurut pengakuan istrinya, ia berharap pernikahan dan cinta akan perlahan mengubah pandangannya.

Namun setelah tiga tahun, ia belum juga merasa ada dorongan atau kesiapan menjadi orang tua.

Ia bahkan merasa tidak bahagia ketika memikirkan harus mengorbankan kebebasan pribadinya demi tanggung jawab sebagai ibu.

Hal ini menjadi pukulan berat bagi sang suami. Ia merasa telah menaruh harapan besar pada kehidupan keluarga yang ideal, namun ternyata keduanya tidak berada pada tujuan yang sama sejak awal.

“Saya merasa ditinggalkan dalam harapan. Tiga tahun saya menunggu, tapi ternyata sejak awal dia tidak yakin,” ungkapnya sedih.

Kini, pasangan ini menghadapi dilema besar, melanjutkan pernikahan dengan konsekuensi mengesampingkan keinginan memiliki anak, atau berpisah dan mencari pasangan dengan visi yang sejalan.

Psikolog pernikahan menilai bahwa kasus ini mencerminkan pentingnya komunikasi jujur sejak awal hubungan.

“Keputusan memiliki anak bukanlah hal kecil. Itu bukan hanya soal tekanan keluarga atau norma sosial, tapi soal kesiapan dua individu menjalani tanggung jawab besar bersama,” ujar psikolog keluarga, Dina Rachmawati, M.Psi.

Bagi pasangan yang menghadapi ketidaksepahaman serupa, pendekatan yang penuh empati dan dialog terbuka menjadi kunci.

Menurut para ahli, memaksakan salah satu pihak untuk mengalah dalam hal prinsip hidup justru dapat menimbulkan ketegangan jangka panjang.

Kini, sang suami mengaku sedang merenung dan mempertimbangkan masa depan pernikahannya. Ia menyadari bahwa tak ada pilihan yang benar-benar mudah.

Namun, ia juga percaya bahwa keputusan sulit seperti ini adalah bagian dari kehidupan dan kedewasaan dalam berumah tangga.

(cr31/tribun-medan.com)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.