3 Catatan Hakim Konstitusi Saat Gugatan UU TNI Cetak Sejarah
GH News May 10, 2025 10:03 AM
-

Undang-Undang TNI hasil revisi mencetak sejarah lantaran digugat 14 kali di Mahkamah Konstitusi (MK). Hakim MK bahkan sampai memberikan sorotan terkait UU TNI tersebut.

Untuk diketahui, sampai hari ini ada 14 gugatan yang diterima MK terhadap UU TNI. Sidang terkait UU TNI pun sudah dimulai pada Jumat (9/5) kemarin.

Sidang tersebut dipimpin langsung oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra. Ia memimpin sidang panel 2 pengujian UU TNI di gedung MK, Jakarta Pusat.

Dia awalnya menyampaikan pengajuan gugatan itu rata-rata ialah terkait uji formil. Total ada 14 gugatan yang diterima MK.

"Jadi semua permohonan yang terkait UU TNI ini ada sekitar 14 dan sebagian besarnya uji formil," kata Saldi.

Cetak Sejarah

Saldi Isra (dok. YouTube MK)
Saldi Isra lantas menyampaikan 14 gugatan terhadap suatu UU ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah berdirinya MK. Menurutnya, banyaknya gugatan itu merupakan bentuk antusiasme masyarakat terhadap UU TNI yang baru disahkan.

"Jadi ini baru pertama dalam sejarah Mahkamah Konstitusi isu yang sama itu disidangkan serentak dalam tiga panel yang berbeda. Ini pertama baru sejarah Mahkamah Konstitusi karena banyak sekali permohonan. Jadi memang antusiasme untuk mengajukan permohonan tinggi," ujar Saldi.

Saldi lantas mengusulkan agar para mahasiswa yang mengajukan gugatan untuk menggabungkan permohonannya. Menurutnya, hal itu bisa menunjukkan kekompakan mahasiswa dalam menyikapi satu isu yang sama.

"Oleh karena itu, sebetulnya karena nanti akan ada waktu perbaikan permohonan, akan jauh lebih baik teman-teman mahasiswa gabung saja dalam satu permohonan," jelasnya.

"Coba dipikirkan itu supaya kelihatan itu mahasiswa Indonesia kompak satu permohonan, jangan-jangan di panel lain ada yang mahasiswa juga supaya nanti bisa saling melengkapi argumentasi, dalil-dalil, bukti-bukti dan segala macamnya. Karena bukan soal mewakili universitasnya yang penting, tapi soal substansi yang diperjuangkan itu," lanjut Saldi.

Gugatan UU TNI Disusun Jangan Pakai Emosi

Presiden Joko Widodo melantik Ridwan Mansyur sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi, di Istana Negara, Jakarta, Jumat (08/12/2023).
Sementara itu, hakim MK lainnya, Ridwan Mansyur, meminta para pemohon yang mengajukan gugatan UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI untuk menyusun dengan benar permohonan gugatannya. Ridwan mengingatkan para pemohon untuk tidak menggunakan emosi saat menyusun permohonan.

"Kedudukan hukum pemohon ini yang kadang-kadang paling sungguh, Saudara harus hati-hati, saya lihat di keempat permohonan ini masih ada yang kurang menggigit, sehingga harus dijelaskan betul antara kerugian konstitusional," kata Ridwan Mansyur.

"Sekali lagi kerugian konstitusional itu adalah nanti dikontestasikan antara norma atau pasal, ataupun keseluruhan, kalau itu formil itu yang bertentangan dengan UUD," sambungnya.

Menurutnya, pemohon harus menjelaskan dengan rinci terkait kerugian konstitusional dengan pengesahan UU TNI. Ridwan mengatakan dari penjelasan para pemohon, belum terlihat kerugian konstitusional yang dimaksud.

"Ini saudara harus kontestasikan, ini belum nampak baru disebut bertentangan dengan ini, banyak kali yang menyebutkan di mana pasal yang diuji atau keseluruhan, kalau itu formil itu dengan batu ujinya dengan dasar pengujiannya, itu disebutkan saja, tapi tidak diuraikan," ujarnya.

"Padahal diuraian itu nanti yang memberikan keyakinan kepada Mahkamah bahwa betul-betul memohon itu, atau bahkan bukan hanya pemohon, karena ini kan kalau berhasil bukan hanya untuk kepentingan pemohon sendiri, tapi untuk seluruh rakyat Indonesia," sambung dia.

Selain itu, Ridwan mengingatkan pemohon agar menjelaskan dengan rinci terkait asas keterbukaan yang dilanggar pemerintah dan DPR. Dia mengatakan pemohon juga harus melampirkan bukti-bukti untuk menunjang pernyataan-pernyataan tersebut.

"Tidak hanya disebut bahwa itu memang suatu keharusan, antara lain asas keterbukaan, seperti apa asas keterbukaan yang dimaksud saudara, jelaskan itu, tidak hanya sekedar menulis. Terdapat kerugian konstitusional, tapi tidak disebut siapa yang dirugikan, apakah aktual, apakah ini bersifat potensial, setidak-tidaknya di masa yang akan datang atau pada saat tertentu," paparnya.

Ridwan lantas mengingatkan pemohon untuk tidak menggunakan emosi saat menyusun gugatan. Dia meminta pemohon sungguh-sungguh menyusun permohonan dengan benar dan melampirkan bukti-bukti.

"Betul bahwa saya senang dengan apa yang sudah Saudara sampaikan, tapi memang kadang-kadang belum kena. Ya bolehlah berapi-api generasi muda namanya, tapi harus benar yang disampaikan itu, jangan dengan emosi, sekali lagi jangan dengan emosi," tuturnya.

"Karena ini betul, karena kadang-kadang kalau emosi kita lupa kadang membuat bukti di belakang cuma dengan tanda kurung, ada berapa huruf saja tidak dimasukkan, walaupun saya paham kekhawatirannya nanti bisa atau takut salah penempatan, nggak apa-apa karena nanti ada tambahan bukti, kalau itu memang perlu, tapi tidak setidaknya ada beberapa bukti, karena kita harus membuktikan apakah itu betul-betul, apalagi pengujian harus dengan bukti tidak hanya dengan tulisan-tulisan," imbuh dia.

Jangan Ikut-ikutan Gugat UU TNI demi Populer

Hakim MK Arsul Sani

Selain itu, hakim Konstitusi lainnya, Arsul Sani, berbicara terkait legal standing atau kedudukan hukum pemohon yang mengajukan gugatan UU TNI. Arsul mengingatkan masyarakat tak ikut-ikutan mengajukan gugatan UU TNI hanya untuk populer.

"Baiknya para pemohon ini supaya punya keyakinan bahwa saya ini memiliki kedudukan hukum atau kami ini memiliki kedudukan hukum sebagai pemohon, sebaiknya juga dilihat putusan-putusan sebelumnya," kata Arsul Sani.

Arsul meminta para pemohon memperhatikan putusan-putusan MK terkait uji formil. Dia pun mencontohkan putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait pengujian formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Saat itu, kata Arsul, terdapat enam pemohon. Namun, dia mengatakan dalam putusan tersebut tak semua pemohon memiliki legal standing atau kedudukan hukum.

"Itu dipelajari juga apa kata Mahkamah terkait dengan kedudukan pemohon yang kebetulan di putusan 91, itu ada pemohon yang tidak diberi legal standing atau kedudukan hukum, ada yang diberi legal standing," ujarnya.

Diketahui, gugatan UU TNI banyak diajukan oleh mahasiswa. Arsul mengatakan setiap mahasiswa berhak mengajukan gugatan. Namun, kata dia, Mahkamah belum tentu dapat memberikan legal standing kepada para mahasiswa itu.

"Gimana kalau selama proses pembentukan itu (UU TNI), diskusi aja nggak, apalagi menulis surat pendapat atau usulan kepada DPR, demo juga nggak ke DPR, maksudnya agar didengar. (Dia) kuliah dan kemudian ngobrol-ngobrol di kantin gitu, terus setelah undang-undangnya jadi, mengajukan uji formil, apa harus juga diberikan kemudian kedudukan hukum yang mahasiswa seperti ini?" ujar Arsul.

"Berbeda kalau mahasiswa itu begitu mau ada proses, bikin diskusi, FGD, seminar, hasilnya disampaikan, kok ditutup pintu pagar DPR nya, terus demo. Nah beda dengan mahasiswa yang kuliah, abis kuliah terus ngobrol-ngobrol, yang diobrolin tentang cewek atau apa segala macem, tiba-tiba undang-undangnya disahkan, kemudian mengajukan permohonan formil, balapan lagi, kayak racing itu dulu duluan," sambungnya.

Arsul mengatakan para pemohon harus bisa meyakinkan MK jika memiliki legal standing. Hal itu, kata dia, juga harus disertai bukti-bukti yang kuat.

Menurutnya, hal itu juga berlaku kepada pemohon yang berstatus karyawan. Dia mengingatkan agar para pemohon tak ikut-ikutan mengajukan gugatan hanya untuk populer.

"Sama saja kayak pemohon karyawan. Anda harus tunjukkan concern-nya itu, pada saat RUU-nya dalam persiapan pembahasan, atau dalam proses pembahasan, anda sudah tunjukkan," jelasnya.

"Jangan juga selama ini asyik kerja, nggak pernah hadir, nggak pernah ngikutin, nggak pernah nulis artikel itu kan, bahkan sekedar nulis di medsos aja nggak, tiba-tiba ini mohon maaf ini kalau ada ya biar populer gitu ya, saya ajukan permohonan formil pengujian undang-undang," imbuh dia.


© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.