TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menteri Agama Nasaruddin Umar membagikan momen tak terlupakan saat berbicara langsung dengan Paus Fransiskus menggunakan Bahasa Arab. Percakapan intim itu terjadi saat kunjungan apostolik Paus ke Indonesia, meninggalkan kesan mendalam di hati Nasaruddin hingga kini.
Kenangan tersebut ia sampaikan di hadapan umat Katolik dalam acara Musyawarah Nasional III Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Pesparani Katolik (Munas III LP3K), di Gedung Kementerian Agama, Jakarta Pusat, Sabtu (10/5/2025).
Dalam suasana haru dan penuh kehangatan lintas iman, Nasaruddin mengungkap bahwa momen itu bukan sekadar diplomasi, melainkan pengalaman batin yang menyentuh.
“Saya menjelaskan terowongan itu ke dalam bahasa Indonesia terus diterjemahkan. Waktu kami kan hanya satu jam, ya sudah, saya coba bahasa Inggris. Rupanya tidak nyambung,” kata Nasaruddin di hadapan peserta Munas.
Namun kejutan datang saat staf kepausan memberi tahu bahwa Paus Fransiskus menguasai Bahasa Arab. Tanpa ragu, Nasaruddin pun langsung berbicara dalam Bahasa Arab, dan obrolan pun mengalir lancar tanpa hambatan bahasa.
“Jadi dibisik dari belakang ‘he can speak Arabic, you can speak Arabic’, pernah katanya tinggal lama di Timur Tengah. Begitu saya Bahasa Arab, nyambung,” ujarnya.
Translator yang awalnya bersiaga pun akhirnya tersenyum dan mundur.
“Akhirnya translator-nya ‘kalau begitu saya gak usah terjemahkan’, ‘ya enggak usah’,” lanjut Nasaruddin sambil tertawa kecil mengenang peristiwa itu.
Percakapan itu terjadi saat mereka membahas Terowongan Silaturahmi—sebuah simbol toleransi yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta.
Di mata Nasaruddin, momen tersebut adalah cermin keindahan persaudaraan lintas agama yang hakiki.
Di tengah suasana Munas yang khidmat, Menag juga mengajak seluruh peserta untuk menundukkan kepala dan mendoakan kepergian Paus Fransiskus.
“Izinkan saya mengajak kita semuanya untuk mendoakan Sri Paus Fransiskus, semoga mendiang diterima baik di sisinya. Dan kita pun juga bisa menyertai kepergian orang-orang baik dan dikenal oleh dunia,” ucapnya dengan suara bergetar.
“Dan tentu itu cita-cita hidup kita dalam menjalani kehidupan ini berakhir dengan sebuah keindahan kemudian,” pungkas Nasaruddin.
Kisah ini bukan sekadar nostalgia diplomatik, tapi juga menjadi potret kuat betapa dialog lintas keyakinan bisa menyentuh sisi paling manusiawi. Dengan Bahasa Arab sebagai jembatan, dua tokoh lintas agama ini menunjukkan bahwa rasa hormat dan cinta damai mampu menembus sekat budaya dan kepercayaan.