TIMESINDONESIA, PALEMBANG – Belakangan ini publik dihebohkan dengan wacana Gubernur Jawa Barat untuk mengirim para siswa ‘nakal’ ke barak militer. Gubernur Jawa Barat memilih cara ini dengan tujuan untuk menggebleng para pelajar yang bermasalah seperti terlibat tawuran, pergaulan bebas dan tindakan kriminal lainnya.
Di barak tersebut para siswa akan dibina karakter dan perilakunya. Program Kang Dedi ini tentu saja melalui musyawarah dan kesepakatan antara pihak orang tua dan sekolah.
Meski demikian, wacana mengirim para siswa bermasalah ke barak militer menuai polemik di tengah masyarakat. Program ini dianggap sebagai terobosan dalam menangani para siswa yang bermasalah. Namun, tidak sedikit pula yang mengkritik wacana tersebut karena dinilai sangat berisiko terhadap mental siswa yang dikirim ke barak militer.
Yang perlu kita pahami, bahwa dibalik setiap kebijakan baru pasti akan menuai pro dan kontra. Terlebih, bagi pihak yang menggunakan pendekatan hukum, maka mengirim siswa 'nakal' ke barak militer bisa dianggap sebagai tindakan ekstrem dan tidak populer.
Bahwa saya secara pribadi mendukung mengirim anak 'nakal' ke barak militer perlu diapresiasi sebagai kebijakan out of the box. Namun, langkah ini khusus untuk kenakalan siswa yang sudah tidak mampu diatasi oleh para guru di sekolah dan orang tuanya sendiri.
Karena selama ini memang ada sebagian siswa yang kenakalannya sudah masuk kategori luar biasa, mulai tawuran, judi online, narkoba hingga menghilangkan nyawa. Dengan begitu, bisa kita katakan mengirim anak ke barak militer perlu dipandang sebagai solusi terakhir. Sebab secara normatif, pendidikan siswa masih dalam wewenang sekolah dan orang tua.
Kita sudah mafhum bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh tantangan yang memang kompleks, lebih-lebih di tengah kemajuan teknologi digital saat ini. Karena itu, anak-anak yang dianggap bermasalah tak semestinya dikirim ke barak militer. Yang mereka butuhkan adalah bimbingan dengan penuh kasih sayang dari orang-orang terdekat.
Di tengah krisis karakter yang menimpa para siswa, maka salah satu cara yang dapat ditempuh adalah penguatan pendidikan karakter. Upaya ini penting dilakukan agar para pelajar tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif yang ditimbulkan oleh globalisasi dan kemajuan teknologi digital.
Rabi Yati (2022) menyatakan, pendidikan karakter adalah penanaman nilai karakter terhadap peserta didik yang meliputi kemauan dan tindakan dalam mengimplementasikan nilai, budi pekerti, dan karakter yang bertujuan untuk membentuk kepribadian yang baik pada peserta didik seperti jujur, menghormati orang lain, maupun berperilaku baik dalam kehidupan sehari-hari.
Krisis karakter pelajar sudah berada dalam tahap yang mengkhatirkan. Tawuran pelajar, pengeroyokan guru, penggunaan obat-obatan terlarang, seks bebas, balapan liar, pencurian, dan hilangnya rasa hormat kepada yang lebih tua adalah sederet bukti miskinnya karakter generasi muda saat ini. Kondisi ini perlu menjadi perhatian bersama agar kemerosotan moral di kalangan pelajar tidak semakin parah.
Orang tua memiliki peran strategis dalam membentuk karakter anak. Penanaman karakter ini sangat penting, bahkan lebih penting dari kemampuan akademik. Setinggi apa pun ilmu yang dimiliki tak akan mendatangkan manfaat bila tak didasari dengan akhlakul karimah.
Guru juga memiliki tanggung jawab dalam mencetak generasi muda yang cerdas sekaligus berakhlak mulia. Yanuarius dkk (2021) menegaskan, guru bagi siswa adalah model, idola, figur atau teladan.
Identifikasi siswa terhadap guru bukan saja pada karakter kepribadian yang sederhana, jujur, adil, disiplin tetapi juga pada penampilan fisik seperti cara berjalan dan berpakaian. Guru merupakan model dan teladan bagi anak didik, oleh karena itu pribadi dan apa yang dilakukan oleh guru mendapat sorotan bagi anak didik.
Itu artinya, guru tidak hanya mendorong para siswa agar berprestasi secara akademik, tetapi juga perlu menanamkan nilai-nilai akhlak kepada diri mereka. Penanaman karakter bisa melalui kegiatan ekstrakurikuler yang berfokus pada pengembangan kepemimpinan, meningkatkan keterampilan dan memiliki karakter luhur seperti kejujuran, tanggung jawab, dan saling menghormati.
Upaya kerja sama antara orang tua dan pihak sekolah perlu terus dibangun secara lebih maksimal sebagai langkah untuk memperkuat pendidikan karakter para siswa. Hal lain yang dapat dilakukan adalah kampanye positif terkait nilai-nilai moral kepada generasi muda melalui platform media sosial. Jika upaya ini dapat dilakukan terus-menerus secara berjamaah, maka kita tidak perlu mengirim anak bermasalah ke barak militer.
Meski pilihan terakhir yang ditempuh adalah barak militer karena pihak sekolah dan orang tua sudah tidak mampu lagi mendidik dan membimbing para siswa yang bermasalah, maka pemerintah daerah perlu menyelenggarakan diskusi bersama dengan para pemangku kepentingan dari berbagai disiplin, seperti Kemendikdasmen, para guru, para psikolog, dan pakar pendidikan.
***
*) Oleh : Arie Muhyiddin, S.H., M.H., Ketua GP Al-Washliyah Kota Palembang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.