TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Umat Buddha di seluruh Indonesia dan dunia akan memperingati Hari Raya Waisak 2025, pada Senin 12 Mei besok.
Peringatan Trisuci Waisak 2569 BE ini tak hanya diisi dengan doa dan bermeditasi, tetapi juga saat yang tepat untuk menyebarkan cinta kasih, kedamaian, dan welas asih, sebagaimana dipraktikkan Siddhattha Gotama.
Terlebih, Hari Waisak 2025, juga bertepatan dengan Hari Ibu Internasional dan Hari Tzu Chi Sedunia.
"Tiap-tiap kita memperingati peristiwa Tri Suci Waisak. Kita diingatkan pada saat Guru Agung Buddha Gotama pada waktu masih sebagai Pangeran Siddhartha. Pada saat Pangeran Siddhartha melihat penderitaan di luar istana. Penderitaan di luar istana, itulah yang membangkitkan kepedulian besar Pangeran Siddhartha. Memikirkan tentang penderitaan yang real yang berada di luar istana," kata Dewan Sangha Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) Bhante Sri Pannavaro Mahathera, pada Peringatan Waisak 2025 digelar oleh Yayasan Buddha Tzu Chi, Jakarta, Minggu (11/5/2025).
Adapun umat Buddha menyebut Waisak sebagai Hari Raya Trisuci Waisak.
Karena untuk memperingati tiga peristiwa penting, yaitu kelahiran Bodhisattva (calon Buddha) Siddharta Gautama di Taman Lumbini pada tahun 623 SM, Petapa Gotama mencapai Penerangan Sempurna di Bodh pada tahun 588 SM, dan wafatnya Buddha Gotama (Maha Parinibbana) di Kusinara.
Banthe menceritakan ketika Siddhattha melihat penderitaan manusia di luar Istana, terguncang hatinya, dan mencari jalan untuk membebaskan mereka.
Hal itu merupakan cinta kasih sejati yang muncul pada pribadi Siddhattha. Setelah berjuang (struggling) selama enam tahun, kemudian mencapai pencerahan, Siddhattha langsung mengajak menuju jalan pencerahan. Kemudian memberikan bimbingan selama 45 tahun untuk membebaskan makhluk-makhluk dari penderitaan.
"Kasih sayang yang besar itulah yang juga membebaskan diri beliau dari bermacam-macam kotoran batin. Tidak ada pamrih sama sekali. Justru keinginan atau misi agung Guru Agung kita untuk membebaskan makhluk-makhluk dari penderitaan itu, yang kita teladani sekarang ini," tuturnya.
Menurut Banthe, keteladanan Siddhartha tersebut yang ingin umat Buddha angkat pada peringatan Waisak 2025 ini.
Karena, jika tidak berhati-hati, sikap kepedulian, kasih sayang, bisa memicu timbulnya keangkuan dan pamrih yang lebih besar.
"Rame ing gawe, sepi ing pamrih pada awalnya. Tapi kalau tidak ada kasih sayang atau cinta kasih yang kuat, rame ing gawe sepi ing pamrih itu, lama-lama menjadi rame ing gawe, rame ing pamrih. Itulah yang ingin kami sampaikan, kami ingatkan kepada segenap umat Buddha, tetap mendasarkan kepeduliannya dengan kasih sayang yang sejati. Rame ing gawe sepi ing pamreh. Dan itu yang kita butuhkan sekarang ini," ujar Banthe.
Di lokasi yang sama, Direktur Jenderal Bimas Budha Kementerian Agama (Kemenag) RI, Supriyadi menambahkan, pemerintah menyambut baik atas kegiatan, yang merupakan bagian dari gerakan bersama selama satu bulan penuh menyambut Hari Raya Trisuci Waisak.
"Kami dari pemerintah memberikan sebuah tema Wesakha Sananda. Di mana kami mengajak semua umat Buddha untuk bergembira, bersuka cita, menyemarakan bulan Waisak ini," ujar Supriyadi.
Supriyadi berharap, dalam menyongsong Hari Waisak bukan hanya mempersiapkan diri dalam rangka berpesta pora atau bersuka ria, tapi setiap umat Buddha selama satu bulan penuh itu, mulai melakukan introspeksi, refleksi, dan aktualisasi dari ajaran Buddha.
"Kita berharap selama sebulan teman-teman sekalian melatih diri untuk mengendalikan dirinya, melatih diri untuk menjadi orang bijaksana. Karena kita berharap apa yang kita tuju adalah mewujudkan sebuah kehidupan yang damai, yang harmonis," katanya.
Damai dalam dirinya, damai dengan alam semesta, dan damai dengan keyakinannya. Dengan antara itu, maka ada pelatihan-pelatihan yang biasa dilakukan umat Buddha seperti berlatih atas sila, berlatih Wikala Pujana, membaca Parita, mengendalami kitab suci, dan juga mengkaji kitab suci.
"Nah, inilah kegiatan yang sifatnya pemahaman dan aktualisasi dari nilai ajaran agama," ucapnya.
Selain itu, Supriyadi juga mengajak umat Buddha untuk berbagi kepada sesama dan lingkungan. Karena, berbagi kepada sesama, merupakan kebahagiaan sosial, bentuknya berupa prosesi Pindah Patah (Pengumpulan makanan yang dilakukan para biksu di sekitar wilayah perayaan Waisak), dan berbagi dengan lingkungan bisa dengan cara menanam pohon.
Oleh karenanya, Ditjen Budha mengajak semua umat, baik di satuan pendidikan maupun di rumah ibadah, untuk menanam setidaknya satu pohon. Setidaknya satu pohon di rumah ibadah.
Hal ini akan mensupport dan mensupply kebutuhan oksigen masyarakat.
"Kita berharap, kita cinta lingkungan, kita jaga lingkungan, dengan cara tadi, dari perumah Buddha menggerakkan dengan penuhan Eco Vihara, baik itu di sungai maupun di tempat-tempat sungai air agar kita terjaga lingkungan kita. Dan juga mulai mengajak memilah sampah di rumah ibadah karena harapan kami, kita semua peduli atas pemanasan global dan juga masalah-masalah perkenaan lingkungan," ujar Supriyadi.
Sementara itu, Ketua Umum PP Permabudhi, Prof. Philip Kuntjoro Widjaja menjelaskan, mengenai keberadaan organisasi yang dipimpinnya. Permabudhi merupakan satu organisasi Buddhis yang menghimpun berbagai majelis, mastab dari agama Buddha di Indonesia.
Philip menyampaikan, kegiatan Permabudhi tak hanya menyelenggarakan acara Trisuci Waisak, tapi juga melakukan serangkaian tugas dari ajaran Sang Buddha. Dimana, dinaungkan dalam bulan bakti Permabudhi untuk Waisak.
"Kita coba kita juga melanjutkan dalam sepanjang bulan dan kalau bisa sepanjang tahun. Kita selalu melarutkan diri dalam tugas-tugas bagaimana kita menjalin hubungan satu sama yang lain. Baik internal dalam Permabhudi berbagai majelis maupun eksternal dengan agama-agama lain, dengan pemerintah dan hubungan jalinan internasional pun kita bangun," tutur dia.
"Coba kita bersama-sama menuangkan ajaran Sang Buddha Gautama, Sang Guru Agung kita ke dalam praktek sehari-hari agar membawa manfaat yang lebih nyata bagi kita bersama," ucapnya.