“Nasi Rasi” Konsep Ketahanan Pangan Lokal dari Kampung Adat Cireundeu
Binov Handitya May 12, 2025 05:20 PM
Kampung adat Cireundeu merupakan salah satu kampung unik yang terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan. Keunikan itu terletak pada budaya masyarakat yang masih kental mengikuti aturan leluhur mereka. Sebagian besar warga memegang teguh kepercayaan sunda wiwitan sebagai topangan spiritualitasnya dan beberapa ada yang memeluk ajaran Islam. Mereka sangat konsisten melestarikan adat istiadat yang diturunkan dari nenek moyang mereka. Walaupun demikian, mereka tetap dinamis karena terdapat prinsip “Mibapa Ka Jaman” dimana masyarakat Kampung Adat Cireundeu tidak melawan akan perubahan zaman selama tidak bertentangan dengan norma adat. Salah satu budaya mereka ialah mengkonsumsi nasi Rasi sebagai makanan pokok pengganti beras. Beras Rasi terbuat dari bahan singkong yang diolah melalui beberapa tahapan sehingga dapat memiliki daya simpan yang cukup lama. Rasi menjadi contoh praktik diversifikasi pangan dan ketahanan pangan, menunjukkan potensi singkong sebagai pengganti beras.
Perbesar
Bersama Ayah Widiya Tokoh Adat
Penasaran saya bersama tim peneliti akhirnya terjawab ketika kami dapat mengunjungi kampung Adat Cireundeu. Pertama kali kami datang, kami menemui Abah Asep sebagai Panitren (bagian humas). Beliau adalah tokoh adat yang ditunjuk oleh masyarakat sebagai wakil dalam hal hubungan diplomasi dengan pihak luar. Setelah kami meminta ijin dan mendapatkan petunjuk mengenai apa saja hal-hal yang boleh dilakukan dan pantangan apa saja yang harus kita hindari kami diperbolehkan masuk di dalam kampung adat Cireundeu. Perjalanan kami masuk ke dalam wilayah kampung adat melalui rumah warga, ditemani senyum ramah warga sekitar. Sesekali, kami berhenti untuk menyapa dan berdialog kecil dengan mereka. Setelah berjalan kaki sekitar 15 menit, kami sampai di wilayah Kampung Adat Cireundeu dan disambut oleh Kang Ogie (warga kampung adat). Lalu, kami diajak untuk beristirahat di Saung Baraya. Pembicaraan kami semakin hangat karena dialog kami ditemani secangkir kopi khas dari kampung ini. Kami lebih banyak mendengarkan cerita dari Kang Ogie terkait perkembangan masyarakat Kampung Adat Cireundeu. Cerita yang disampaikannya sangat runtut dan mudah kami pahami, walaupun beliau menyampaikan bahwa beliau bukan orang asli dari Kampung Adat, namun istrinyalah yang merupakan orang asli Kampung Adat Cireundeu. Karena kecintaan beliau kepada Kampung Adat Cireundeu, beliau rela kembali ke kampung adat setelah merantau lebih dari 15 tahun di kota.
Tak selang begitu lama, Abah Widiya (tokoh adat) datang bergabung dan membuat dialog semakin mendalam. Abah Widiya lebih banyak menceritakan nilai filosofis kampung adat Cireundeu dalam membangun budaya agar tetap dapat bertahan menghadapi perkembangan zaman. Selain itu, beliau menjelaskan tentang pemikiran progresif nenek moyang mereka, yang di masa depan beras Rasi akan menyelamatkan generasi mereka karena adanya kesulitan mencukupi kebutuhan pangan pokok (beras). Setelah lebih dari satu jam berdiskusi di saung, kami diantar untuk melihat UMKM oleh warga kampung. Saat ini, UMKM di Kampung Cireundeu telah mengalami perkembangan yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh adanya dukungan dari pemerintah daerah setempat serta kampus yang secara rutin mengadakan pelatihan (Maranatha news, 2025). Setelah melihat beberapa hasil UMKM kita melanjutkan untuk mengunjungi Bale Saresehan yang masih berada di dekat lokasi saung Baraya. Kami melihat beberapa peninggalan nenek moyang (harta pusaka) yang beberapa diantara harta pusaka berupa alat kesenian tradisional: kesenian gondang, karinding, dan angklung buncis yang sering ditampilkan dalam upacara adat.
Apakah Nasi Rasi Dapat Bertahan menggantikan Posisi Beras?
Rasi ini merupakan perasan singkong yang dikeringkan sehingga memiliki tekstur mirip beras. Setelah melalui beberapa tahapan hingga dimasak, rasi ini baru bisa dikonsumsi dengan lauk pauk seperti nasi pada umumnya (tribun jabar, 2023). Awal mula masyarakat Kampung Cireundeu dalam mengkonsumsi singkong dapat ditelusuri pada masa penjajahan Belanda, di mana masyarakat dipaksa untuk memproduksi padi yang kemudian diambil oleh pemerintah kolonial. Sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan tersebut, mereka beralih ke singkong yang selanjutnya menjadi simbol ketahanan dan kemandirian masyarakat Cireundeu.
Pada abad ke-18, sesepuh Cirendeu atau Mamak Haji Ali merasa memiliki kesadaran untuk tidak terjajah. Kemudian, beliau mencari sebuah jawaban dengan bertemu Pangeran Madrais di wilayah Kesultanan Cirebon. Jawaban yang diberikan berupa petuah, “Teu nanaon teu boga huma ge asal boga pare. Teu nanaon teu boga pare ge asal boga beas. Teu nanaon teu boga beas ge asal bisa ngejo. Teu nanaon teu bisa ngejo ge asal bisa nyatu. Teu nanaon teu bisa nyatu ge asal bisa hirup” (Tidak apa-apa tidak punya huma/ladang, asal punya padi, tidak apa-apa tidak punya padi, asal punya beras, tidak apa-apa tidak punya beras, asal dapat menanak nasi, tidak apa-apa tidak dapat menanak nasi, asal makan, tidak apa-apa tidak makan, asal dapat bertahan hidup).
Bermodalkan semangat warga Cireundeu yang ingin merdeka lahir batin, yaitu untuk tidak mengkonsumsi nasi beras dari padi, para leluhur menyarankan dan berpesan untuk menanam ketela sebagai pengganti padi. Tanaman ketela dapat ditanam pada musim kering maupun musim hujan, terutama mengingat ketersediaan lahan untuk menanam padi semakin sempit.
Perbesar
Proses Pengolahan Tepung Rasi
Pengolahan singkong menjadi rasi telah dilakukan oleh masyarakat Kampung Adat Cireundeu sejak tahun 1924. Melalui rasi, masyarakat Cireundeu menilai bahwa ajaran leluhur yang mereka anut merupakan suatu berkah, karena dengan mengonsumsi rasi, warga Kampung Cireundeu mendapatkan kemerdekaan lahir dan batin. Selain itu, rasa saling menghargai, tolong-menolong, dan gotong royong di kalangan masyarakat Cireundeu sangat tinggi (budaya kita, 2021). Hal tersebut yang membuat mereka mempunyai kemandirian pangan dan tak terpengaruh gejolak ekonomi-sosial, terutama soal fluktuasi harga beras.
Apakah Masyarakat Cireundeu Bisa Swasembada Pangan melalui Rasi?
Kampung adat Cireundeu memiliki luas wilayah sebesar 64 hektar yang terdiri dari 60 hektar untuk pertanian dan 4 hektar untuk pemukiman. Pemerintah adat membagi wilayah pertanian menjadi tiga bagian: pertama, Leuweung Larangan (hutan terlarang), yang merupakan hutan yang tidak boleh ditebang pepohonannya karena berfungsi sebagai sumber penyimpanan air. Kedua, Leuweung Tutupan (hutan reboisasi), yaitu hutan yang digunakan untuk kegiatan reboisasi. Hutan ini memiliki luas antara 2 hingga 3 hektar, dapat dimanfaatkan masyarakat namun diwajibkan untuk menanam kembali pohon-pohon baru sebagai pengganti. Ketiga, Leuweung Baladahan (hutan pertanian), yaitu hutan yang dapat digunakan untuk berkebun oleh masyarakat adat Cireundeu (cimahikota.go.id, 2019).
Swasembada pangan kampung adat Cireundeu dapat tercapai jika didukung oleh beberapa faktor, di antaranya: lahan, teknologi, dan diversifikasi pangan. Lahan yang dimiliki oleh kampung Cireundeu saat ini dapat dibilang cukup, mengingat luas serta jumlah warga yang tidak begitu banyak. Lahan pertanian menjadi permasalahan terpenting saat ini, yang biasanya disebabkan oleh alih fungsi lahan. Selama masyarakat adat Cireundeu masih kuat menjaga lahan melalui aturan adatnya maka permasalahan alih fungsi lahan tidak akan terjadi. Perkembangan global terus terjadi, maka komunitas masyarakat jika ingin tetap bertahan dituntut untuk menghadapi dan beradaptasi. Masyarakat Kampung Cireundeu harus menggunakan teknologi yang dapat membantu kehidupan sehari-hari dalam bidang pertanian, komunikasi, dan lain-lain. Teknologi akan lebih mudah membantu dalam menciptakan diversifikasi pangan, terutama dari pangan pokok yang terbuat dari olahan singkong. Persediaan sumber pangan untuk beberapa tahun ke depan perlu diperhatikan; hal ini berkaitan dengan siapa yang bersedia menanam singkong, mengolah singkong menjadi berbagai macam olahan untuk konsumsi sehari-hari, serta mendatangkan nilai ekonomi yang lebih melalui panganan yang dapat dijual melalui UMKM.
Swasembada Pangan di Cireundeu dapat di capai mengingat pemerintah Kota Cimahi memberikan banyak dukungan. Dukungan yang diberikan dari Pemkot melalui berbagai kegiatan antara lain diadakannya upacara tahunan Cireundeu Festival, pelatihan dan pembinaan UMKM. Selain itu pada akhir tahun 2024 Pemkot menerbitkan menerbitkan Surat Keputusan (SK) untuk Kampung Adat Cireundeu (RRI.co.id, 2024). Dengan terbitnya SK Pengakuan ini, maka Kampung Adat Cireundeu memperoleh legalitas sebagai entitas masyarakat hukum adat yang memiliki hak-hak adat yang melekat dan dilindungi oleh hukum.