TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat jumlah tenaga kerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mencapai 40.000 orang sepanjang Januari-Februari 2025.
Dalam beberapa waktu terakhir, tren Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia menunjukkan peningkatan dan menjadi cerminan tekanan berat yang dihadapi dunia usaha.
Data BPJS Ketenagakerjaan mencatat sepanjang 2024, sebanyak 257.471 peserta berhenti terdaftar sebagai peserta akibat PHK, di mana 154.010 orang mengajukan klaim Jaminan Hari Tua (JHT) sebagai bentuk kompensasi kehilangan pekerjaan.
Sementara pada periode 1 Januari hingga 10 Maret 2025, 73.992 peserta keluar dari kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan karena PHK dan 40.683 diantaranya telah mencairkan dana JHT.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Shinta W Kamdani mengatakan, PHK menjadi sesuatu yang perlu diperhatikan.
"Makanya sekarang kita perlu revitalisasi industri padat karya, karena PHK ini menjadi satu perhatian yang sangat mengkhawatirkan buat kita," ungkap Shinta dalam Media Briefing Apindo Indonesia Quarterly Update di Jakarta Selatan, Selasa (13/5/2025).
Shinta menambahkan, Apindo saat ini telah memberikan usulan kepada pemerintah untuk membentuk satgas peningkatan ekspor nasional, satgas peningkatan daya saing serta kemudahan dan percepatan perizinan berusaha dan satgas perluasan kesempatan kerja dan mitigasi PHK.
Di luar PHK seluruh stakeholder baik pemerintah maupun industri juga harus menyiapkan hingga 4 juta lapangan kerja baru untuk para calon pekerja.
"Kita mesti menyadari bahwa di luar daripada PHK kita juga harus menyiapkan 3-4 juta pekerjaan baru setiap tahunnya. Jadi walaupun sudah ada pekerjaan baru dari investasi yang masuk, ini tidak bisa memadai dengan kondisi yang ada," ungkapnya.
Sementara itu, hasil survei Apindo pada 17-21 Maret 2025 terhadap lebih dari 350 perusahaan anggota juga memperkuat gambaran penyebab PHK.
Tekanan utama yang mendorong PHK antara lain adalah penurunan permintaan 69,4 persen, kenaikan biaya produksi 43,3 persen, perubahan regulasi ketenagakerjaan terutama terkait upah minimum 33,2 persen, tekanan dari produk impor 21,4 persen, serta dampak dari adopsi teknologi dan otomatisasi 20,9 persen.