MK Diskualifikasi Semua Paslon Pilkada Barito Utara, Pilkada Ulang Diperintahkan
Glery Lazuardi May 15, 2025 09:34 AM

TRIBUNNEWS.COM, BARITO UTARA - Mahkamah Konstitusi (MK) mendiskualifikasi semua pasangan calon (paslon) bupati dan wakil dalam pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024 di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. 

Dua paslon yang didiskualifikasi itu yakni pasangan nomor urut 1, H Gogo Purman Jaya-Hendro Nakalelo atau Gogo-Helo, serta paslon nomor urut 2, Akhmad Gunadi Nadalsyah-Sastra Jaya. Keduanya didiskualifikasi karena terbukti melakukan praktik politik uang.

"Menyatakan diskualifikasi pasangan calon bupati dan wakil bupati nomor urut 1 dan pasangan calon bupati dan wakil bupati nomor urut 2 dari kepesertaan dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati barito Utara Tahun 2024," ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK, Jakarta,  Rabu (14/5).

Dalam putusan poin ketiga, MK membatalkan Keputusan KPU Kabupaten Barito Utara Nomor 821 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Barito Utara Tahun 2024 tertanggal 4 Desember 2024 dan Keputusan KPU Kabupaten Barito Utara Nomor 16 Tahun 2025 tentang Perubahan Keputusan KPU Kabupaten Barito Utara Nomor 821 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Barito Utara Tahun 2024 tertanggal 24 Maret 2025.

Putusan ini berbuntut pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus melakukan pelaksanaan pilkada ulang dalam jangka waktu 90 hari dengan pasangan calon (paslon) yang baru. MK juga memerintahkan kepada KPU RI untuk melakukan supervisi dan koordinasi dengan KPU Provinsi Kalimantan Tengah dan KPU Kabupaten Barito Utara dalam rangka pelaksanaan amar putusan ini.

Selain itu MK juga memerintahkan kepada Bawaslu RI untuk melakukan supervisi dan koordinasi dengan Bawaslu Provinsi Kalimantan Tengah dan Bawaslu Kabupaten Barito Utara dalam rangka pelaksanaan amar putusan ini. 

"Memerintahkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia beserta jajarannya, khususnya Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah dan Kepolisian Resor Barito Utara untuk melakukan pengamanan proses Pemungutan Suara Ulang Bupati dan Wakil Bupati Barito Utara Tahun 2024 sesuai dengan kewenangannya," ucap hakim MK.

Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi Guntur Hamzah mengatakan bahwa Mahkamah menemukan bukti adanya praktik politik uang (money politics) yang masif pada kedua pasangan calon. 

“Berdasarkan rangkaian bukti dan fakta hukum persidangan, Mahkamah menemukan fakta adanya pembelian suara pemilih untuk memenangkan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Nomor Urut 2 dengan nilai sampai dengan Rp16.000.000 untuk satu pemilih," ucap Guntur dalam sidang yang teregistrasi dengan nomor 313/PHPU.BUP-XXIII/2025 ini. 

"Bahkan, Saksi Santi Parida Dewi menerangkan telah menerima total uang Rp64.000.000 untuk satu keluarga,” sambungnya. 

MK menyebut telah terjadi peristiwa penggerebekan praktik politik uang dalam bentuk pembelian suara (vote buying) di rumah yang beralamat di jalan Simpang Pramuka II pada tanggal 14 Maret 2025. Hal ini sebagaimana tergambar dengan jelas dalam bukti rekaman video [vide Bukti P-17c] yang disampaikan oleh pemohon. 

Peristiwa tersebut dikuatkan dengan keterangan saksi Lala Mariska sebagai salah seorang yang terlibat langsung dalam peristiwa tersebut dan bertugas untuk memeriksa barang bawaan calon pemilih yang akan menerima uang guna mengamankan handphone dan alat perekam. 

Dalam keterangannya, saksi Lala Mariska menerangkan melihat langsung orang yang keluar dengan membawa uang pecahan Rp100.000 dengan berlabel Rp10.000.000. Terhadap rangkaian bukti dan fakta terkait peristiwa penggerebekan tersebut, MK tidak menemukan ada bukti atau fakta lain yang membuktikan sebaliknya akan kebenaran peristiwa pembelian suara yang terjadi.

Tidak hanya paslon nomor urut 2, praktik serupa juga ditemukan pada pasangan calon nomor urut 1. Mahkamah menemukan bukti bahwa suara pemilih dibeli dengan nilai hingga Rp6.500.000 untuk satu pemilih disertai janji akan diberangkatkan umrah apabila menang. Fakta tersebut disampaikan oleh Saksi Edy Rakhman yang mengaku menerima total uang sebesar Rp19.500.000 untuk satu keluarga.

Praktik politik uang tersebut diketahui terjadi di TPS 01 Kelurahan Melayu, Kecamatan Teweh Tengah, dan TPS 04 Desa Malawaken, Kecamatan Teweh Baru. Menurut Mahkamah, tindakan tersebut memberikan dampak signifikan terhadap hasil perolehan suara dalam pemungutan suara ulang (PSU) yang dilakukan.

"Menimbang bahwa terhadap perbuatan money politics dalam kontestasi pemilihan kepala daerah, kerangka hukum positif telah melarang dengan tegas adanya money politics dalam bentuk/modus apapun dalam setiap tahapan pemilihan kepala daerah, termasuk kampanye, masa tenang, serta pemungutan dan penghitungan suara sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 73 dan Pasal 187A UU 10/2016," sambung hakim MK.

Berdasarkan ketentuan di atas, terdapat dua mekanisme penyelesaian hukum terhadap perbuatan politik uang dalam pemilihan kepala daerah yang saling melengkapi, yaitu mekanisme perkara pidana dan administratif. Dalam hal penyelesaian melalui mekanisme perkara pidana, berlaku sebagaimana tindak pidana lainnya, yaitu dimulai dari penyelidikan sampai dengan putusan pengadilan, dengan beberapa kekhususan terkait dengan jangka waktu penyelesaian, upaya hukum, dan adanya lembaga sentra penegakan hukum terpadu (Sentra Gakkumdu). Sedangkan untuk penyelesaian melalui mekanisme administrasi, ketentuan Pasal 135A juncto Pasal 73 ayat (2) UU 10/2016 memberikan kewenangan khusus kepada Bawaslu Provinsi untuk menyelesaikannya.

Lebih lanjut, ketentuan Pasal 135A ayat (1) menentukan pelanggaran administrasi pemilihan terkait dengan politik uang tersebut adalah pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Berpijak pada ketentuan tersebut, kemudian secara lebih teknis, Pasal 15 ayat (3) huruf b angka 2 Peraturan Badan Pengawas Pemilu Nomor 9 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang Terjadi secara TSM (Perbawaslu 9/2020) mensyaratkan adanya bukti yang menunjukkan terjadinya pelanggaran di paling sedikit 50 persen kecamatan dalam satu kabupaten/kota.

"Menimbang bahwa dalam yurisprudensi Mahkamah terkait dengan pelanggaran money politics pada kontestasi pemilihan kepala daerah yang terbukti dan telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah, instrumen yang digunakan Mahkamah dalam mengukur pelanggaran manipulasi suara pemilih akibat money politics, sekaligus untuk menentukan jenis treatment pemurnian suara di suatu pemilihan kepala daerah adalah dengan menggunakan parameter TSM," ucap hakim MK.

"Dalam perkembangannya, terdapat pilihan treatment yang diperintahkan oleh Mahkamah, yaitu melakukan diskualifikasi calon, atau dengan memerintahkan PSU dengan menggunakan pendekatan yang lebih kuantitatif, yaitu tergantung pada luasnya sebaran terbuktinya suatu pelanggaran money politics," lanjutnya.

Terpisah, KPU RI menyatakan akan segera mempersiapkan kebijakan teknis untuk melakukan pemilihan kepala daerah (Pilkada) ulang di Kabupaten Barito Utara.

“Tentunya KPU RI segera mempersiapkan kebijakan teknis lanjut dari putusan tersebut dan nanti kami akan coba menggunakan pola yang sama terhadap pelaksanaan PSU yang 90 hari kemarin,” kata Anggota KPU RI, Idham Holik saat dihubungi, Rabu (14/5). 

Berkaitan dengan kampanye dan persiapan logistik, KPU akan menerapkan pola yang sama seperti yang telah dilakukan pada pelaksanaan PSU sebelumnya.

Sementara untuk anggaran yang bersumber dari dana daerah untuk proses pelaksanaan pilkada, Idham optimis tidak akan ada kendala.  

“Terkait kebutuhan anggaran, tentunya KPU Kalimantan Tengah bersama KPU Barito Utara akan segera melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah," ujar Idham.

Idham juga mengatakan tindak politik uang yang dilakukan oleh semua pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) di Kabupaten Barito Utara terjadi bukan karena kesalahan teknis mereka selalu penyelenggara.

“Berkenaan dengan putusan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan Barito Utara dalam fakta persidangan ini terungkap ini bukan karena faktor teknis penyelenggaran Pilkada tapi ini di luar hal tersebut,” kata Idham. 

Sementara itu Sekjen Partai Golkar, Sarmuji menilai keputusan MK tersebut harus menjadi momentum untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pemilihan kepala daerah. “Ya, kita nggak bisa berkata lain kecuali menerima keputusan MK karena bersifat final dan mengikat,” ujar Sarmuji saat dihubungi, Rabu (14/5).

Namun, menurutnya, keputusan tersebut juga menjadi sinyal bahwa sistem pilkada saat ini perlu dikoreksi secara total. Di antaranya, mekanisme pencalonan hingga peran penyelenggara pemilu. “Ini sekaligus juga harus dilakukan evaluasi total terhadap sistem pilkada saat ini, termasuk terhadap penyelenggara pemilu dan kriteria pencalonan kepala daerah,” jelasnya.

Meski belum merinci apakah Partai Golkar akan kembali mengusung pasangan calon yang sama dalam pilkada ulang, Sarmuji memastikan partainya akan mengambil langkah sesuai aturan hukum dan aspirasi masyarakat. Sarmuji menyampaikan bahwa partainya akan mengevaluasi proses internal, termasuk penjaringan calon kepala daerah agar ke depan tidak terjadi kekeliruan serupa. “Yang pasti semua pihak harus bercermin. Kalau sampai semua calon didiskualifikasi, berarti ada hal yang sangat mendasar yang perlu diperbaiki dalam sistem pilkada kita,” pungkasnya.(tribun network/mar/igm/dod)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.