TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat menggelar sidang lanjutan perkara dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) Covid-19 yang merugikan negara Rp 319 miliar.
Adapun agenda sidang hari ini mendengarkan tuntutan untuk terdakwa mantan pejabat Kementerian Kesehatan Budi Sylvana, Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo dan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM) Ahmad Taufik.
Dalam persidangan jaksa menyatakan tiga terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dalam perkara tersebut.
"Terdakwa diancam pidana Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP," kata jaksa di persidangan, Jumat (16/5/2025) malam.
Dalam pertimbangan hal yang memberatkan tuntutan, jaksa menilai perbuatan para terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Serta perbuatan terdakwa dilakukan saat kondisi darurat bencana.
Atas perbuatannya jaksa menuntut terdakwa Budi Sylvana pidana penjara 4 tahun dan pidana denda Rp 200 juta.
Kemudian terdakwa Ahmad Taufik dituntut pidana penjara 14 tahun dan 4 bulan, pidana denda Rp 1 miliar. Serta pidana tambahan uang pengganti Rp 224,18 miliar.
Terakhir Terdakwa Satrio Wibowo dituntut pidana 14 tahun dan 10 bulan penjara, pidana denda Rp 1 miliar dan pidana tambahan uang pengganti Rp 59,98 miliar.
Diketahui Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa mantan pejabat Kementerian Kesehatan Budi Sylvana merugikan negara sebesar Rp 319,6 miliar terkait korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) Covid-19.
Selain mantan pejabat Kemenkes, jaksa juga mendakwa dua pihak swasta terkait perkara tersebut yakni Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo dan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM) Ahmad Taufik.
Jaksa menilai, bahwa kerugian negara yang diakibatkan dari proyek tersebut berdasarkan hasil penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 319.691.374.183,06," ucap Jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (4/2/2025).
Dalam dakwaannya, jaksa KPK menyatakan, pengadaan APD itu dilakukan ketiga terdakwa bersama-sama dengan Komisaris Utama PT PPM Siti Fatimah Az-Zahra, legal PT EKI Isda Yusuf dan Sekertaris Utama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Harmenysah pada tahun 2019 hingga Mei 2020.
Saat peristiwa itu, Budi diketahui bertindak sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dan Harmensyah sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
"Melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum, yaitu melakukan negosiasi harga APD sejumlah 170 ribu seluruhnya tanpa menggunakan surat pesanan," kata jaksa.
Dalam dakwaannya, ketiga terdakwa menurut Jaksa juga melakukan negosiasi harga dan menandatangani surat pesanan APD sebanyak 5 juta set.
Selain itu mereka juga menerima pinjaman uang dari BNPB sebesar Rp 10 miliar untuk pembayaran 170 ribu set APD kepada PT PPM dan PT EKI dengan tanpa adanya surat pesanan dan dokumen pembayaran.
Tak hanya itu, tiga terdakwa juga telah melakukan pembayaran untuk 1,1 juta set APD merek BOHO sebesar Rp 711,2 miliar untuk PT PPM dan PT EKI.
Padahal PT EKI tidak mempunyai kualifikasi sebagai penyedia barang dan jasa sejenis di instansi pemerintah, dan tidak punya izin penyalur alat kesehatan (IPAK).
Bahkan, kedua perusahaan itu pun tidak menyiapkan dan menyerahkan bukti pendukung kewajaran harga kepada PPK.
Atas dasar itu, Jaksa menilai mereka telah melanggar prinsip pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam penanganan keadaan darurat.
"Padahal PT Eki tidak mempunyai kualifikasi sebagai penyedia barang jasa sejenis di instansi pemerintah serta tidak memiliki izin penyalur alat kesehatan (IPAK), serta PT EKI dan PT PPM tidak menyiapkan dan menyerahkan bukti pendukung kewajaran harga kepada PPK sehingga melanggar prinsip pengadaan barang jasa pemerintah dalam keadaan darurat yaitu efektif, transparan, dan akuntabel," ujar jaksa.
Akibat perbuatannya, ketiga terdakwa dianggap telah melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
"Terdakwa diancam pidana Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP," kata jaksa.