TIMESINDONESIA, TASIKMALAYA – Puluhan anggota Forum Komunikasi Taruna Siaga Bencana (FK Tagana) tampak penuh semangat beraktivitas di bantaran Sungai Ciwulan, tepatnya di Kampung Leuwibilik, Kelurahan Leuwiliang, Kecamatan Kawalu, Kota Tasikmalaya.
Dengan helm keselamatan dan pelampung terpasang, sebagian dari mereka memompa lima perahu karet, sementara yang lainnya dengan seksama mendengarkan arahan dari para pelatih di bidang penyelamatan air (water rescue).
Ketua FK Tagana Kota Tasikmalaya Saleh (tengah) didampingi Dimas Wakil Ketua FK Tagana Ciamis (kanan) dan Ahmad Hidayat FK Tagana Kabupaten Tasikmalaya saat memberikan keterangan kepada TIMES Indonesia. Sabtu (17/5/2025) (FOTO: Harniwan Obech/TIMES Indonesia)
Kegiatan tersebut bukan sekadar simulasi biasa. Ini adalah bagian dari pelatihan strategis mitigasi bencana hidrometeorologi yang digagas oleh FK Tagana dari tiga wilayah Kota Tasikmalaya, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Ciamis.
Kolaborasi ini juga melibatkan Federasi Arung Jeram Indonesia (FAJI), Komunitas Republik Aer Tasikmalaya, dan Kamapala STIA Tasikmalaya. Sinergi antar lembaga ini bertujuan membangun kapasitas dan ketangguhan para relawan kebencanaan di lapangan.
Tasikmalaya dan Ciamis merupakan dua wilayah yang masuk dalam kawasan rawan bencana banjir, terutama akibat luapan Sungai Ciwulan dan Citanduy. Curah hujan yang tinggi serta kontur geografis yang kompleks menjadi faktor utama penyebab bencana hidrometeorologi di wilayah ini.
Sejumlah peserta FK Tagana saat simulasi menata tali lempar di Sungai Ciwulan, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Sabtu (17/5/2025) (FOTO: Harniwan Obech/TIMES Indonesia)
Ketua FK Tagana Kota Tasikmalaya, Saleh (37), menegaskan bahwa pelatihan ini merupakan langkah strategis untuk membekali para relawan, terutama anggota muda, dengan kemampuan teknis penyelamatan di perairan deras.
“Ini sebagai realisasi program peningkatan skill water rescue anggota Tagana, khususnya anggota muda. Kita tahu, Sungai Ciwulan dan Citanduy sering menjadi lokasi bencana, jadi kami harus siap,” ujar Saleh.
Menurut data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Tasikmalaya, dari Januari hingga April 2025 tercatat 13 kejadian banjir dan genangan. Rinciannya, 4 titik banjir genangan, 3 titik banjir akibat drainase tersumbat, dan 6 titik banjir akibat luapan sungai.
"Data kebencanaan yang telah terjadi menjadi satu rujukan urgensi pelatihan teknis bagi para relawan di daerah rawan banjir."tandas Saleh
Irwan Somantri, fasilitator dari Republik Aer Tasikmalaya yang akrab disapa Cimot, mengungkapkan bahwa jumlah relawan kebencanaan dengan keahlian penyelamatan air masih sangat terbatas.
“Saya sangat mendukung pelatihan ini. Relawan dengan keahlian khusus seperti ini masih minim. Ketika ada dua bencana bersamaan, misalnya banjir dan orang hanyut, kita kewalahan karena kekurangan SDM yang kompeten,” kata Cimot.
Oleh karena itu, kegiatan ini menjadi ajang penting untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya relawan kebencanaan.
Pelatihan water rescue ini dirancang tidak hanya untuk mengenali karakteristik morfologi sungai, tetapi juga mengajarkan berbagai teknik penyelamatan korban di aliran sungai deras. Materi pelatihan meliputi Navigasi perahu karet, Teknik membawa korban, Sistem komando lapangan, Simulasi evakuasi darurat dan Analisis risiko sungai.
Kegiatan ini menurut Saleh sekaligus menjadi media koordinasi antar FK Tagana lintas daerah agar lebih sigap saat menghadapi bencana nyata di kemudian hari.
“Tagana itu tidak hanya hadir saat bencana terjadi. Kami juga harus bisa melakukan edukasi, logistik, hingga pemulihan sosial pascabencana. Kemampuan teknis seperti ini adalah kebutuhan utama,” tegas Saleh.
Semetara itu Asep (29), salah satu peserta pelatihan asal Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya, mengungkapkan bahwa ia sangat antusias mengikuti kegiatan ini. Menurutnya, pelatihan ini memberikan bekal nyata sebagai relawan yang siap bertindak.
“Pelatihan ini sangat penting. Minimal kami tahu bagaimana kondisi sungai, arusnya, dan teknik penyelamatan yang benar. Jangan sampai saat ada musibah, kami malah hanya jadi penonton,” ujar Asep.
Peserta lainnya pun menunjukkan semangat yang sama. Mereka menyadari, menjadi relawan bukan hanya sekadar simbol kepedulian, melainkan tanggung jawab moral dalam membantu sesama.
Sebagai bagian dari tiga pilar sosial di bawah naungan Kementerian Sosial Republik Indonesia, Tagana memiliki peran strategis dalam sistem penanggulangan bencana nasional. Peran mereka mencakup edukasi, pemetaan risiko, pendampingan korban, hingga logistik bencana.
Pelatihan seperti ini menjadi cerminan komitmen Tagana dalam membangun masyarakat yang tangguh bencana. Langkah ini juga sejalan dengan program nasional dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Sosial RI untuk menciptakan masyarakat siaga dan adaptif terhadap perubahan iklim serta potensi bencana hidrometeorologi.
Pelatihan water rescue FK Tagana ini menjadi bukti bahwa mitigasi bencana adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya pemerintah. Peran masyarakat sipil dan komunitas relawan sangat vital dalam menyelamatkan nyawa dan mengurangi dampak bencana.
Dengan semakin banyaknya relawan Tagana yang memiliki keterampilan teknis penyelamatan air, diharapkan respons terhadap bencana di lapangan akan semakin cepat, tepat sasaran, dan mampu meminimalisir risiko jatuhnya korban jiwa. (*)