TNI Bukan Penyedia Jasa Keamanan, Pengamat Ingatkan Batas Pelibatan dalam Urusan Sipil
Acos Abdul Qodir May 18, 2025 08:31 PM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Pelibatan prajurit TNI dalam pengamanan kantor Kejaksaan dinilai perlu dievaluasi agar tidak melampaui batas fungsi utama TNI sebagai garda pertahanan negara.

Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengingatkan bahwa TNI bukan penyedia jasa keamanan umum dan keterlibatannya dalam urusan sipil harus dibatasi secara ketat.

Pernyataan ini merespons terbitnya Surat Telegram KSAD Nomor ST/1192 yang menginstruksikan pengerahan personel TNI ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Indonesia untuk mendukung pengamanan. Instruksi tersebut memicu perdebatan publik mengenai peran TNI di luar fungsi pertahanan.

“TNI jelas bukan penyedia jasa keamanan umum. Perannya dirancang sangat spesifik: sebagai komponen utama pertahanan negara,” ujar Fahmi saat dihubungi pada Minggu (18/5/2025).

Fahmi menegaskan bahwa setiap bentuk pelibatan TNI dalam urusan non-militer harus berada dalam kerangka Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan dijalankan berdasarkan permintaan dari lembaga sipil dengan prinsip perbantuan.

“Perlu ada dasar hukum yang jelas, mekanisme kontrol yang ketat, dan tujuan yang terukur. Dan yang paling penting, sifatnya harus sementara. Bukan permanen, bukan struktural,” tegasnya.

Fahmi juga mengingatkan bahwa kerja sama antarlembaga, termasuk dengan Kejaksaan, umumnya bersifat administratif seperti pelatihan atau pengawalan terbatas. Namun, pengerahan pasukan dalam jumlah besar untuk pengamanan dinilainya sebagai langkah yang berbeda secara skala dan urgensitas.

Netralitas dan Profesionalisme TNI Harus Dijaga

Menurut Fahmi, pelibatan TNI dalam fungsi keamanan sipil berisiko merusak prinsip netralitas dan profesionalisme militer, dua hal yang menjadi aset strategis negara.

“Segala bentuk kerja sama yang berisiko menempatkan TNI di luar mandatnya harus dikendalikan dengan hati-hati dan disertai kehendak untuk tetap taat pada prinsip supremasi sipil dan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya.

Ia menambahkan, tanpa akuntabilitas yang memadai, publik dapat menafsirkan pelibatan militer secara politis, terlebih dalam konteks kasus hukum yang berdampak strategis antarpenegak hukum.

Fahmi menyarankan agar Kejaksaan meninjau ulang pendekatan keamanan dengan tetap menjadikan institusi penegak hukum sebagai ujung tombak penanganan gangguan keamanan sipil.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.