Mujiburrahman
BANJARMASINPOST.CO.ID - “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Konon, ini adalah pernyataan Presiden Soekarno dalam salah satu pidatonya yang berapi-api. Baginya, anak muda 100 kali lebih dahsyat daripada yang sudah tua. Para pelajar dan mahasiswa tentu terpukau dengan retorika ini. Mereka sangat bersemangat ingin mengguncang bahkan mengubah dunia. Namun, bagaimanakah kenyataannya?
Tak usah menguncang dunia, mendapatkan pekerjaan saja susah. Pada 15 Mei 2025 lalu, Kompas menulis berita utama dengan judul “Pekerja Terdidik Makin Rentan Menganggur”. Menurut laporan BPS, pada Februari 2025 lalu, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia sudah mencapai 7,28 juta orang. Jika dilihat dari tingkat pendidikan, penganggur yang berpendidikan SMA mencapai 28,02 persen, SMK sebanyak 22,37 persen, SMP sebanyak 16,20 persen, dan tamatan SD sebanyak 17,09 persen, sementara penganggur yang berpendidikan D-IV, S1, S2 dan S3, total mencapai 13,89.
Para ahli ekonomi mengatakan, tingginya angka pengangguran terbuka itu antara lain disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang lamban, yang pada triwulan pertama 2025 hanya mencapai 4,89 persen. Pertumbuhan ini tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang layak, terutama di sektor formal yang mempekerjakan orang-orang berpendidikan menengah ke atas. Lebih buruk lagi, setelah dipecat dari pekerjaan, mereka kesulitan mendapatkan kembali pekerjaan yang setara. Penyerapan tenaga kerja di pemerintahan dan swasta, termasuk sektor jasa, sedang menurun.
Apa yang salah? Banyak jawaban yang mungkin bisa diberikan. Salah satunya adalah menuding kegagalan dunia pendidikan. Tugas utama lembaga pendidikan adalah mendidik orang agar siap menghadapi hidup setelah tamat. Siap menghadapi hidup itu salah satu buktinya adalah mampu menghidupi diri sendiri dan keluarga. Artinya dengan kemampuan yang dimilikinya, dia bisa mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang dapat membuatnya hidup sejahtera. Untuk itu, dia harus membekali diri dengan ilmu, keterampilan, dan karakter/akhlak yang kuat.
Belum lama ini, World Economic Forum (WEF) merilis Future of Jobs Report 2025, yang memaparkan prospek dunia kerja lima tahun ke depan. Laporan ini antara lain menyebutkan aneka keterampilan (skill) yang dituntut dunia kerja. Ia menyebutkan 26 keterampilan secara berurutan. Sepuluh teratas adalah (1) berpikir analitis; (2) daya tahan dan kelenturan; (3) kepemimpinan dan pengaruh sosial; (4) berpikir kreatif; (5) motivasi dan kesadaran diri; (6) literasi teknologi; (7) empati dan peduli; (8) rasa ingin tahu dan belajar sepanjang hayat; (9) manajemen bakat; (10) orientasi melayani.
Jika kita perhatikan sepuluh keterampilan tersebut, maka tampaklah bahwa semua itu merupakan perpaduan antara keterampilan dan akhlak. Keterampilan berpikir analitis dan kreatif adalah hasil latihan menalar dan berargumen secara runtut, membanding, memahami, dan memecahkan masalah. Keterampilan ini, sebagaimana keterampilan teknis, tidak mungkin dimiliki tanpa latihan terus-menerus dan sungguh-sungguh. Ibarat pisau, nalar kita harus senantiasa diasah agar tajam. Seperti pisau, nalar juga harus seringkali dipakai karena jika tidak maka ia akan berkarat dan tumpul.
Apakah pendidikan kita sudah melatih berpikir? Tentu saja. Namun, kecenderungan kita pada soal pilihan ganda dalam ujian, terutama di bidang ilmu sosial dan humaniora, mendorong anak untuk menghafal ketimbang menalar. Selain itu, di zaman ponsel ini, orang makin malas membaca buku dan artikel serius. Waktu habis berjam-jam hanya untuk berselancar di media sosial. Jika membaca saja malas, apalagi menulis. Padahal, menulis adalah latihan berpikir paling baik. Lebih buruk lagi, bukan hanya siswa dan mahasiswa, sebagian guru dan dosen juga malas membaca dan menulis!
Selain keterampilan berbasis olah pikir, sejumlah keterampilan yang disebut WEF di atas adalah menyangkut akhlak atau karakter seseorang. Daya tahan yang tinggi dan lentur dalam menghadapi perubahan, motivasi dan kesadaran diri, empati dan peduli, cinta ilmu dan selalu ingin belajar, mampu mengelola bakat, memimpin dan memengaruhi orang, serta suka melayani, semua ini adalah karakter. Karakter tidak tercipta otomatis. Karakter tumbuh berdasarkan nilai-nilai yang dipelajari, contoh yang diberikan oleh lingkungan, dan pembiasaan dalam mengamalkannya.
Jika anak-anak kita selalu diberi kemudahan, nilainya dipermudah, berbagai pelanggaran ditoleransi, disiplin hanya di atas kertas, maka jangan harap mereka nanti menjadi pribadi-pribadi yang tangguh. Jika mereka tidak dilatih bertanggungjawab memimpin dan bekerjasama, maka jangan harap mereka akan jadi pemimpin yang baik. Jika kita terus-menerus menekankan persaingan, kompetisi, dan peringkat, maka sulit bagi mereka memiliki empati dan peduli serta suka melayani orang lain. Jika mereka tidak paham manfaat dan mudarat teknologi, maka mereka akan menjadi budak teknologi.
Demikianlah, tantangan dunia kerja menuntut kita untuk lebih meningkatkan kualitas pendidikan. Yang disebutkan WEF itu baru masalah keterampilan berpikir dan beberapa karakter. Belum lagi mengenai bagaimana kita harus bisa menguasai dan mengembangkan ilmu dan teknologi. Lebih berat lagi, hidup tidak cukup sekadar mendapatkan pekerjaan yang memberi penghasilan. Hidup lebih luas dari itu. Hidup menuntut makna. Apa tujuan hidup ini? Apa yang harus dilakukan di dunia ini? Apa pula yang akan dihadapi kelak setelah mati? Ini semua hanya bisa dijawab oleh agama!
Seolah menyindir ungkapan Soekarno di awal tulisan ini, seorang kawan berkata, “Dulu waktu muda, saya ingin mengubah dunia. Sekarang, mengubah saluran televisi saja saya tidak sanggup. Saya harus mengalah pada anak saya.” Mungkin dia hanya bercanda, tetapi mungkin pula serius. Ia serius jika dikaitkan dengan berbagai masalah pendidikan di atas. Apakah solusinya adalah ganti menteri, ganti kurikulum? Saya kira, yang utama adalah kesungguhan kita dalam praktik mendidik, di rumah, sekolah, madrasah, pesantren, dan perguruan tinggi. Lain dari itu hanya aksesoris saja!
"Jika anak-anak kita selalu diberi kemudahan, nilainya dipermudah, berbagai pelanggaran ditoleransi, disiplin hanya di atas kertas, maka jangan harap mereka nanti menjadi pribadi-pribadi yang tangguh. “