Kesultanan Langkat, kerajaan Islam di Sumatera Utara yang kaya raya karena ditemukannya cadangan minyak bumi. Runtuh karena Revolusi Sosial.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Tiap-tiap kerajaan di Indonesia punya sumber kekayaannya sendiri-sendiri. Berbicara tentang Kesultanan Langkatan, kerajaan Islam yang pernah berkuasa di Sumatera Utara, tak bisa dilepaskan dari keberadaan cadangan minyak bumi yang ditemukan di Pangkalan Brandan.
Menurut beberapa sumber, Kesultanan Langkat adalah monarki yang berusia paling tua di antara monarki-monarki Melayu di Sumatra Timur. Ibukotanya berada di Tanjung Pura
Karena dua hal itulah Kesultanan Langkat mendapatkan derajat kemakmurannya. Bagaimana sejarahnya?
Sejarah kesultanan Langkat
Asal-usul Kesultanan Langkat adalah Kerajaan Aru yang hancur setelah diserang oleh Kesultanan Aceh. Salah satu yang selamat dari serangan itu adalah seorang panglima Deli bernama Dewa Shahdan.
Pada 1568, dia kemudian mendirikan sebuah komunitas yang menjadi cikal-bakal Kesultanan Langkat. Nama Langkat diambil dari sebuah pohon yang menyerupai pohon langsat. Dewa Shahdan memerintah Kesultanan Langkat dari 1568 hingga 1580.
Raja ketiga Langkat, yaitu Raja Kahar (1612-1673), merupakan penguasa yang merintis perpindahan ibu kota ke Langkat. Sehingga pada masa pemerintahan Raja Kahar inilah Kesultanan Langkat mulai menunjukkan kedaulatannya.
Setelah Raja Kahar meninggal pada 1673, takhta kerajaan jatuh kentangan putranya yang bernama Badiuzzaman.
Pada masa inilah Kesultanan Langkat mulai melakukan penaklukkan daerah-daerah sekitarnya dengan cara-cara damai. Raja Badiuzzaman kemudian meninggal pada 1750 digantikan oleh Raja Hitam, yang pemerintahannya diwarnai oleh serangan Kerajaan Siak.
Raja Hitam yang mengungsi terpaksa mengungsi ke Deli, melakukan konsolidasi untuk mencari bantuan guna menyerang kembali Kerajaan Siak. Namun, ketika perjalanan hendak menyerang Siak, Raja Hitam meninggal pada 1818.
Penderitaan sepertinya belum berakhir. Setelah Kerajaan Siak, kini giliran Kesultanan Aceh yang menyerang Langkat, persisnya pada1855. Pasukan Aceh ketika itu dipimpin oleh Tuanku Sulan Haji Musa di mana peperangan dimenangkan oleh Aceh.
Kemenangan itu ditandai dengan pengakuanTuanku Haji Musa atas gelar Pangeran Indra Diraja Amir sebagai pahlawan Aceh.
Kaya raya karena kilang minyak
Pada1883, seorang administrator Belanda bernama Aeilko Zijlker Yohanes Groninger menemukan konsesi minyak bumi di Telaga Said, Pangkalan Brandan. Dengan temuan itu, Tuanku Sultan Haji Musa kemudian memanfaatkannya untuk mengisi perekonomian Langkat.
Namun pada 1892 kilang minyak Royal Dutch yang menjalankan usaha eksploitasi mulai melakukan produksi massal.
Berkat ditemukannya ladang minyak tersebut, pihak Kesultanan Langkat menjadi kaya raya akibat pemberian royalti hasil produksi minyak dalam jumlah besar. Bersama Kesultanan Siak, Kesultanan Kutai Kartanegara, dan Kesultanan Bulungan, Langkat menjadi salah satu negeri terkaya di Hindia Belanda saat itu.
Ketika Kesultanan Langkat pada masa jayanya, Tuanku Haji Musa meninggal pada 1893, dan takhta kerajaan jatuh ke tangan Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmat Shah. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmat Shah (1893-1927) Langkat menjalin kontrak politik dengan Belanda pada 1907.
Dalam perjanjian itu, batas wilayah Kesultanan Langkat ditetapkan meliputi Pulau Kumpei, Pulau Sembilan, Tapak Kuda, Pulau Masjid dan pulau-pulau kecil di dekatnya, Kejuruan Stabat, Kejuruan Bingei (Binjai), Kejuruan Selesei, Kejuruan Bahorok, daerah dari Datu Lepan, dan daerah dari Datu Besitang.
Pengganti Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmat Shah adalah Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah (1927-1948). Pada masa pemerintahannya, tentara Kekaisaran Jepang masuk dan membuat Belanda mundur.
Sejumlah catatan menunjukkan penderitaan rakyat Langkat saat itu. Rakyat diperas dan diperbudak untuk mengerjakan proyek-proyek Jepang hingga kemerdekaan Indonesia.
Ketika proklamasi dibacakan di Jakarta pada 17 Agustus 1945, kabar bahagia itu belum sampai ke Kesultanan Langkat. Baru pada Oktober, kabar kemerdekaan sampai ke Kesultanan Langkat dan rajanya, Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah, segera menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia.
Setahun kemudian, bersamaan dengan meletusnya Revolusi Sosial yang didukung pihak komunis pada 1946, Kesultanan Langkat terguncang kedaulatannya. Keadaan itu semakin diperparah setelah Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah wafat pada 1948.
Setelah era Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah, sultan di Langkat praktis kehilangan kekuasaan politiknya dan hanya bertahta sebagai Pemangku Adat dan Kepala Keluarga Kerajaan hingga sekarang.
Amir Hamzah tumbal Revolusi Sosial
Salah satu korban Revolusi Sosial yang melanda wilayah Sumatera Utara adalah Tengku Amir Hamzah yang mendapat label sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Dia adalah pangeran dari Kesultanan Langkat.
Pascakemerdekaan, tepatnya pada 29 Oktober 1945, Amir Hamzah diangkat oleh Gubernur Sumatera, Teuku Muhammad Hasan, sebagai wakil pemerintah Republik Indonesia di Langkat. Dia mulai menangani berbaga tugas yang sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Salah satunya adalah meresmikan divisi lokal pertama, yaitu Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dalam membuka pertemuan cabang lokal dari partai politik nasional.
Pada awal 1946, terdapat rumor yang tersebar di Langkat bahwa Hamzah telah terlihat sedang bersantap bersama perwakilan pemerintah Belanda yang pulang ke Sumatera. Sejak saat itu mulailah tumbuh benih-benih kerusuhan.
Pada 7 Maret 1946, terjadilah Revolusi Sosial di Langkat. Pada peristiwa ini, Sultan Langkat pun ditangkap, termasuk Hamzah.
Mereka kemudian dibawa ke sebuah perkebunan di Kuala Begumit, sekitar 10 kilometer di luar Binjai. Sejak penculikan tersebut, diketahui bahwa Hamzah tidak pernah kembali lagi.
Pada 20 Maret 1946 pagi, Hamzah ditemukan tewas bersama 26 tahanan lainnya. Hamzah bersama jenazah lain disemayamkan secara massal. Atas jasa-jasanya, Hamzah pun diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Surat Keppres RI No. 106/Tahun 1975, pada 3 November 1975.