Burhanuddin Muhtadi: Praktik Politik Uang Marak karena Sistemnya Mendukung
Malvyandie Haryadi May 19, 2025 09:36 PM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta, Burhanuddin Muhtadi mengatakan praktik politik uang yang marak terjadi di Indonesia tidak lepas dari penggunaan sistem pemilu proporsional terbuka. 

Ia menyebut, praktik politik uang di Indonesia saat pesta demokrasi punya angka 2,5 kali lipat lebih tinggi dibanding rata-rata praktiknya di negara-negara lain, sekalipun efektivitasnya menarik pemilih hanya 11 persen.

“Ini tidak bisa dilepaskan dari faktor sistem pemilu. Lain kalau misalnya pakai sistem proporsional tertutup, insentif melakukan politik uang turun,” kata Burhanudin dalam diskusi publik ‘Revisi Paket RUU Pemilu’ di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta Pusat, Senin (19/5/2025).

Burhanudin menjelaskan, walaupun praktik ini masif namun efektivitasnya cuma di angka 11 persen. Dengan kata lain, masih jauh lebih banyak masyarakat yang memilih sosok bukan karena faktor uang.

Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah apakah angka efektivitas 11 persen itu berpengaruh terhadap keterpilihan caleg tersebut?

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia ini mengatakan, angka 11 persen memang terlihat kecil. Tapi dalam konteks sistem proporsional tertutup, angka ini menjadi sangat penting dalam menentukan siapa caleg yang mewakili kursi partai di lembaga legislatif.

Terlebih dalam satu dapil kerap terjadi persaingan kursi antar caleg satu partai. Sehingga selisih yang sedikit tetap menjadi krusial. Hal ini yang membuat angka 11 persen dalam efektivitas praktik politik uang ikut menjadi penting.

“11 persen ini terlihat kecil tapi dalam konteks sistem proporsional terbuka itu menjadi sangat penting untuk menentukan siapa yang mewakili kursi yang diperoleh partai. Efek politik uang terlihat kecil, tapi karena selisih caleg dalam satu partai untuk memperebutkan kursi itu sangat tipis, maka 11 persen itu lebih dari pada cukup untuk mengalahkan teman calegnya,” jelas dia.

Ia kemudian mengambil contoh data pemilu 2014 dari Partai Demokrat di mana antar caleg dalam satu dapil hanya berselisih 1,4 persen.

“Jadi meskipun efek politik uang cuma 11 persen, tapi karena hanya perlu 1,4 persen mengalahkan teman separtainya, maka politik uang jadi penting,” ujarnya.

Namun Burhanudin menyebut jika sistem proporsional terbuka ini diubah menjadi proporsional tertutup di mana masyarakat hanya mencoblos partai dan caleg dipilih secara internal, maka ada kekhawatiran publik karena merasa hak satu-satunya akan diambil dan dikontrol elite politik.

Kekhawatiran publik ini tercermin ketika Badan Legislasi (Baleg) DPR hendak mengakali putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat umur pencalonan kepala daerah di Pilkada.

Publik muncul dengan amarahnya lewat tagar ‘Peringatan Darurat’.

“Masyarakat merasa satu-satunya hak mereka adalah mencoblos, kalau itu diambil oleh elite politik, mungkin reaksi masyarakat akan jauh lebih besar. Karena cuma itu yang mereka punya. Ini terjadi waktu Baleg periode lalu yang hampir memblokade keputusan MK yang menurunkan syarat umur, masyarakat turun melalui tagline peringatan darurat,” pungkas dia.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.