Sejarawan Khawatirkan Penulisan Ulang Sejarah Jadi Alat Cuci Dosa Rezim
Bobby Wiratama May 20, 2025 03:31 AM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menyatakan penolakan terhadap proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang digagas Kementerian Kebudayaan. 

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi X DPR RI, Senin (19/5/2025), AKSI menyampaikan kekhawatiran bahwa proyek tersebut berpotensi menutup ruang demokrasi dalam penafsiran sejarah nasional.

Aliansi yang terdiri dari sejarawan, akademisi lintas disiplin, aktivis HAM, dan tokoh masyarakat itu menilai proyek yang digagas Menteri Kebudayaan Fadli Zon berisiko menjadi alat legitimasi kekuasaan. 

Ketua AKSI, Marzuki Darusman mengatakan, proyek ini dapat menciptakan tafsir tunggal sejarah dan mengabaikan berbagai peristiwa penting serta pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Marzuki menilai bahwa penulisan ulang sejarah tersebut berpotensi menciptakan tafsir tunggal terhadap sejarah Indonesia.

“Yang paling berbahaya adalah proyek ini bisa digunakan untuk mencuci dosa rezim baik yang berjalan saat ini maupun yang terjadi selama masa Orba di mana pelanggaran HAM berat masif terjadi," kata Marzuki di Kompleks Parlemen, Senayan.

Sementara itu, Sejarawan Asvi Warman Adam menilai proyek penulisan ulang sejarah nasional ini cacat secara metodologis. 

Dia menyoroti kecenderungan penyusunan narasi yang mengabaikan prinsip-prinsip ilmiah dalam historiografi.

Asvi khawatir penulisan ulang sejarah tersebut hanya menghasilkan penggelapan sejarah bangsa. 

Selain itu, penyebarluasannya akan berdampak luas bagi kesalahan berpikir generasi muda dan merugikan kelanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan.

“Sejarah bukanlah monumen tunggal yang bisa dipahat oleh satu kekuasaan, dihasilkan dari suatu proyek politik, yang diragukan akuntabilitas dan kredibilitas metodenya,” kata Asvi.

Asvi juga mengingatkan bahwa pada era Orde Baru, pemerintah juga pernah mengeluarkan sejarah resmi untuk menggambarkan pandangan positif terhadap rezim, sementara menghilangkan sisi-sisi yang dianggap merugikan.

Selain itu, dia juga menyesalkan tidak adanya pembahasan mendalam terkait 12 pelanggaran HAM berat yang sudah diakui oleh negara. 

Lebih lanjut, Asvi menilai bahwa proyek ini juga mengabaikan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde Baru dan Reformasi. 

“Ke-12 pelanggaran HAM berat yang sudah diakui negara dan disesalkan oleh Presiden Joko Widodo, itu juga tidak dibahas secara tuntas dalam buku ini. Ini sebuah penghindaran terhadap kenyataan sejarah yang harusnya dijelaskan dengan jelas,” tegasnya.

Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyatakan bahwa sejarah adalah milik publik. 

Dia mengingatkan bahwa korban pelanggaran HAM memiliki hak untuk menafsirkan dan menyuarakan sejarah mereka.

Menurut Usman, label ‘sejarah resmi’ hanya akan melahirkan  ideologi dogmatisme dan menutup pintu bagi interpretasi yang beragam dan dinamis di masyarakat.

Penulisan ulang sejarah, kata dia, merupakan upaya rekonstruksi dengan tujuan kultus individu dan glorifikasi masa lalu yang berlebihan. 

Usman menilai bahwa kebijakan semacam ini berpotensi menghilangkan peristiwa dan ketokohan yang tidak cocok dengan kepentingan kekuasaan.

“Tindakan semacam ini adalah manipulasi sejarah. Betapapun gelapnya sejarah, ia harus tetap ditulis meski berdampak terhadap tragedi kemanusiaan dan mengungkapkan kesalahan kebijakan negara di masa lalu,” ucap Usman.

RDPU dipimpin oleh Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian (F-Golkar), hadir sejumlah anggota Komisi X DPR antara lain: Bonny Triyana (F-PDIP), Nilam Sari (F-NasDem), MY Esti Wijayanti, Mercy Chriesty (F-PDIP) dan anggota Komisi X lainnya.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.