BANJARMASINPOST.CO.ID - Jarum jam menunjukkan pukul 13.42 Wita, ketika seorang pria sepuh perlahan muncul dari balik penyekat ruangan berbahan rotan. Abdul Syukur namanya.
Dengan tongkat stainless berkaki empat di tangan kiri, ia tertatih menyusuri ruang tamu rumahnya di Jalan Hasanuddin HM Gang Penatu Kota Banjarmasin, Minggu (18/5/2025) siang.
Tubuhnya membungkuk, napasnya terdengar pelan. Ia mengambil tempat di kursi yang berada di tengah ruangan.
Di pangkuannya, sebuah kalkulator kecil masih menyala. Tangannya bergetar menekan-nekan tombol, menghitung angka yang sudah lama melekat di ingatannya.
“Tujuh puluh delapan tahun,” gumam Abdul Syukur saat ditanya usianya.
Gang kecil tempat ia tinggal menyimpan kisah panjang yang tak banyak diketahui generasi baru. Di sepanjang gang yang tembus Jalan Pengeran Samudera itu, dulunya berderet rumah warga yang membuka jasa penatu yakni pencucian hingga penyetrikaan pakaian secara tradisional.
Pencucian dilakukan secara manual. Selanjutnya pakaian dirapikan dengan setrika arang. Nama penatu pun melekat sebagai identitas gang tersebut.
Saat aktivitas rumah tangga belum sepenuhnya dipenuhi mesin pada era 1960 hingga 1970-an, jasa penatu sangat dibutuhkan. Bahkan, menurut cerita Abdul Syukur, pada masa pendudukan Jepang, para tentara asing kerap membawa pakaian kotornya ke gang ini untuk dicuci dan disetrika.
Namun, Syukur memilih jalan berbeda. Sejak muda, ia menjadi loper koran. Kegiatan itu masih ia jalani, meski sekarang lebih banyak dibantu oleh anaknya.
Di rumahnya, tumpukan ratusan eksemplar koran dari berbagai penerbit mengisi sudut-sudut ruangan. Di bagian luar, sebuah papan kecil bertuliskan “Agen Harian Pagi Kompas” masih berdiri meski catnya mulai pudar.
“Dulu bisa ribuan eksemplar. Sekarang paling banyak 400 per hari,” ucapnya sambil menatap tumpukan koran.
Selain sebagai tempat jasa penatu, kawasan tersebut memang dikenal sebagai pusat penjualan buku dan percetakan.
Jejak kejayaan masa lalu Gang Penatu juga diingat oleh Ketua RT 07 Albar. Ia menyebut, hampir seluruh warga di kampung tersebut dulunya berprofesi sebagai tukang gosok.
“Makanya dinamakan Kampung Penatu,” ujar Albar.
Namun, seiring waktu, usaha penatu mulai memudar. Menjelang akhir 1990-an, hanya tersisa tiga orang yang masih bertahan. Memasuki tahun 2000, usaha itu benar-benar menghilang, tak lepas dari dampak kerusuhan besar pada Mei 1997 dan perkembangan zaman.
Kini, wajah Gang Penatu telah berubah. Beberapa warga beralih membuka usaha percetakan, toko buku, atau toko kelontong. Aktivitas penatu tak lagi terlihat.
“Sekarang sudah tidak ada, Penatu tinggal nama,” ucap Albar, sambil tersenyum. (muhammad syaiful riki)