Budaya Permisif Koruptor di Indonesia
GH News May 22, 2025 01:04 PM

TIMESINDONESIA, MALANG – Korupsi bukanlah istilah asing bagi masyarakat Indonesia. Setiap hari, berita tentang pejabat yang terlibat dalam praktik korupsi menghiasi media massa. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah perubahan perilaku para pelaku korupsi. 

Alih-alih menunjukkan penyesalan, banyak dari mereka justru tampil percaya diri, bahkan tersenyum saat digiring ke pengadilan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: mengapa para koruptor tampak tidak merasa bersalah?

Dalam beberapa tahun terakhir, publik dikejutkan oleh sikap para tersangka korupsi yang tampak santai dan percaya diri saat menghadapi proses hukum. 

Beberapa bahkan terlihat melambaikan tangan dan berpose di depan kamera. Sikap ini sangat kontras dengan harapan masyarakat akan adanya rasa malu dan penyesalan dari para pelaku korupsi.

Albert Bandura, seorang psikolog terkenal, mengemukakan Teori Pembelajaran Sosial yang menyatakan bahwa individu belajar melalui observasi terhadap perilaku orang lain. Dalam eksperimen "Bobo Doll", Bandura menunjukkan bahwa anak-anak meniru perilaku agresif yang mereka lihat dari orang dewasa. 

Fenomena ini relevan dalam konteks korupsi; ketika pelaku korupsi melihat rekan mereka tidak mendapatkan hukuman sosial yang signifikan, mereka mungkin merasa bahwa tindakan mereka dapat diterima dan tidak memalukan.

Kurangnya Sanksi Sosial dan Budaya Permisif

Salah satu faktor yang memperkuat perilaku tidak malu dari para koruptor adalah kurangnya sanksi sosial dari masyarakat. Dalam banyak kasus, pelaku korupsi masih diterima di lingkungan sosial mereka, bahkan setelah terbukti bersalah. 

Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), sanksi sosial seperti pengucilan atau penghancuran karakter dapat menjadi alat efektif untuk menimbulkan efek jera. Namun, budaya permisif yang menganggap korupsi sebagai hal biasa menghambat penerapan sanksi sosial ini.

Untuk mengatasi masalah ini, perlu adanya upaya kolektif dari masyarakat dan pemerintah:

Pertama, Edukasi Publik. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif korupsi melalui kampanye dan pendidikan antikorupsi.

Kedua, Penerapan Sanksi Sosial. Masyarakat dapat menerapkan sanksi sosial seperti pengucilan terhadap pelaku korupsi, sehingga menimbulkan rasa malu dan efek jera.

Ketiga, Reformasi Hukum. Pemerintah dapat mempertimbangkan penerapan hukuman tambahan seperti kerja sosial bagi koruptor, sebagaimana telah diterapkan di beberapa negara.

Keempat, Peran Media. Media massa dapat berperan dalam mengekspos perilaku koruptor dan mendorong opini publik yang menentang korupsi.

Perubahan perilaku koruptor yang tampak tidak malu menunjukkan perlunya pendekatan baru dalam pemberantasan korupsi. Dengan membangun budaya malu dan menerapkan sanksi sosial, masyarakat dapat berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang tidak toleran terhadap korupsi. Hanya dengan upaya bersama, kita dapat menekan angka korupsi dan membangun Indonesia yang lebih bersih. (*)

***

*) Oleh : Mahsun Arifandy, Mahasiswa Magister Psikologi, UMM.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.