TIMESINDONESIA, MALANG – Di tengah jadwal kuliah yang padat dan pekerjaan sambilan sebagai peracik teh keliling, Dewa Ruci, mahasiswa seni rupa Universitas Negeri Malang (UM), terus menyulam mimpinya dengan cara yang tak biasa.
Kontributor TIMES Indonesia, Sri Yunida Sitio, mahasiswa Ilmu Komunikasi Unmer Malang, melaporkan setiap hari, ia membagi waktu antara ruang kelas, pelanggan teh yang datang silih berganti, dan layar tablet yang menyimpan sketsa-sketsta penuh makna. Hidup baginya adalah percampuran antara realitas dan imajinasi—dan ia memilih untuk tidak menyerah.
Sejak kecil, Dewa telah jatuh cinta pada seni. Tapi tidak ada yang memberitahunya bahwa cinta ini akan menuntut pengorbanan besar.
“Seni bagi saya lebih dari sekadar ekspresi. Ini adalah bahasa hati saya ketika kata-kata tidak cukup,” ucapnya.
Suaranya tenang, tapi sorot matanya penuh semangat. Ia sadar, jalan yang ia pilih bukan jalan yang mudah, tapi justru karena itu ia merasa terpanggil untuk terus melangkah.
Kini, melalui usaha desain kaos yang ia kelola sendiri, Dewa mencoba menghidupkan narasi-narasi pribadi menjadi karya visual. Ia tak hanya menciptakan kaos yang menarik dari sisi estetika, tetapi juga menyisipkan cerita, emosi, dan refleksi di setiap desain.
“Begitu desain saya dipakai orang, rasanya seperti melihat cerita saya berjalan di jalanan,” katanya sambil menatap layar tablet tempat desainnya lahir.
Tentu, semua ini tidak datang tanpa tantangan. Untuk mendanai kuliah dan usaha kecilnya, Dewa menjalani pekerjaan keliling menyeduh teh di sela-sela waktu kosong. Pekerjaan itu mungkin terlihat sepele bagi sebagian orang, tetapi baginya adalah laboratorium kehidupan yang memberi pelajaran penting tentang kesabaran, kedisiplinan, dan arti menghargai waktu.
“Pelanggan saya mengajarkan tentang keikhlasan. Kadang dari obrolan singkat dengan mereka, saya mendapatkan inspirasi yang tak bisa saya temukan di bangku kuliah,” ungkapnya.
Pekerjaan itu juga membuatnya makin sadar bahwa mimpi besar tak selalu dibangun dari hal-hal megah, tetapi dari konsistensi, keringat, dan keberanian untuk gagal.
Di saat lelah datang, Dewa tak menyangkal bahwa kadang ada keinginan untuk berhenti. Namun, hasratnya pada seni dan keinginannya untuk terus tumbuh membuatnya bertahan.
“Saya percaya setiap langkah kecil membawa saya lebih dekat ke tujuan. Tak apa jatuh, karena dari situ saya belajar untuk bangkit lebih kuat,” katanya dengan yakin.
Apa yang dilakukan Dewa Ruci bukan sekadar berkarya. Ia tengah merajut narasi keberanian, membuktikan bahwa siapa pun bisa mengejar mimpi—meski dari titik nol.
Baginya, hidup adalah tentang percaya pada diri sendiri dan berani mengambil resiko. Kalimat terakhirnya menyiratkan pesan bagi siapa saja yang sedang ragu melangkah “Yang besar bukan hanya mimpi kita, tapi juga nyali untuk mengejarnya.” (*)